Satgas Natuna (dok TNI AL)
Komisi I Bidang Pertahanan DPR mengungkapkan rencana Tentara Nasional Indonesia membangun pangkalan militer di Natuna. Sebagai gerbang Indonesia di barat laut Kalimantan, Natuna selama ini dianggap rawan karena berhadapan dengan Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara di Asia.
“Panglima TNI berencana membuat Natuna jadi pangkalan militer,” kata Wakil Ketua Komisi I Hanafi Rais usai rapat tertutup dengan Kementerian Pertahanan dan Panglima TNI di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, semalam.
Anggaran untuk membangun pangkalan militer di Natuna, ujar Hanafi, sesungguhnya telah dialokasikan sejak tahun lalu. Namun ia mengaku lupa besarannya.
Akhir Maret, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu sempat mengemukakan niatnya mengirim armada dari tiga matra TNI ke Natuna. Ia mengaku jengkel melihat kondisi Natuna yang minim penjagaan. Padahal 83 ribu kilometer persegi perairan Indonesia di wilayah itu bersinggungan langsung dengan kawasan sengketa Laut China Selatan.
Saat itu Ryamizard berkata akan menempatkan satu kompi Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara di Natuna. Satu kompi terdiri dari 150 sampai 200 personel. Satuan ini memiliki kemampuan tempur darat, laut, dan udara sekaligus.
Kekuatan AU di Natuna juga akan dilengkapi radar, penangkis udara, drone, dan pesawat tempur. Namun sebelum pesawat tempur dikirim ke Natuna, landasan pacu di sana akan diperbaiki lebih dulu.
“Karena kalau untuk pesawat tempur tidak layak, bisa rusak pesawat itu," ujar Ryamizard.
Untuk armada Angkatan Laut di Natuna, akan dibangun dermaga untuk kapal patroli yang dilengkapi satu kompi marinir. Selain itu, Ryamizard mengatakan Natuna perlu dijaga kapal selam.
Sementara Angkatan Darat akan dilengkapi satu Batalyon Raider yang merupakan salah satu pasukan elite TNI.
Posisi Natuna di barat laut Kalimantan berhadapan langsung dengan wilayah sengketa Laut China Selatan. (Wikimedia Commons/Hobe/Holger Behr)
Selama ini Natuna dipantau dari Pangkalan Utama TNI AL Pontianak di Kalimantan Barat; serta Pangkalan Udara AU Ranai di Natuna Besar –pulau terbesar di Kepulauan Natuna. Lantamal Pontianak direncanakan memiliki seribu prajurit lebih.
Sementara fasilitas di Lanud Ranai akan ditingkatkan bertahap, termasuk memperpanjang landasan pacunya agar bisa didarati pesawat tempur kelas berat. Lanud Ranai juga secara bertahap akan menerima distribusi kekuatan tempur TNI AU yang selama ini diparkir di Lanud Supadio, Pontianak.
Natuna sejak dulu menjadi perhatian TNI. Jenderal Moeldoko yang kala itu menjabat Panglima TNI berkata, persebaran pasukan TNI di sekeliling perairan Natuna penting untuk mengantisipasi kemungkinan infiltrasi akibat instabilitas Laut China Selatan.
Kepala Staf TNI AL Laksamana Ade Supandi akhir tahun lalu mengatakan, armadanya sehari-hari selalu berpatroli di wilayah barat maupun timur Indonesia dengan jumlah kapal perang sekitar 40 unit.
Selat Malaka dan Laut Natuna di barat Indonesia dijaga 20 kapal perang. Demikian pula Ambalat dan Laut Arafuru di timur Indonesia dijaga 20 kapal.
Terlepas dari rencana pembangunan pangkalan militer besar di Natuna itu, Komisi I menyatakan anggaran Kementerian Pertahanan justru turun. Anggaran semula berkisar Rp 180 triliun hingga Rp 200 triliun, namun yang diajukan hanya Rp 104 triliun sampai Rp 107 triliun.
“Yang diajukan jauh dari harapan kami (Komisi I). Lebih banyak untuk alokasi alat utama sisten senjata, kesejahteraan TNI, perumahan, dan lain-lain,” kata Hanafi.
Anggaran Terbatas, Pangkalan Militer Natuna Dibangun Bertahap
Rencana Pangkalan Militer di Natuna [def.pk]
Wakil Ketua Komisi I Bidang Pertahanan DPR Hanafi Rais menyatakan pembangunan pangkalan militer di Natuna telah disetujui parlemen sejak tahun lalu. Pangkalan itu dianggap penting karena perairan Natuna yang berhadapan dengan wilayah sengketa Laut China Selatan, kerap disusupi kapal asing.
“Tahun lalu sudah mulai perpanjangan landasan pacu untuk pesawat. Kemudian akan dibahas lagi dan dilakukan bertahap secara terus-menerus,” ujar Hanafi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (22/6).
Pembangunan bertahap itu akan berlangsung hingga mencapai wujud pangkalan militer yang komplet, meski ada persoalan keterbatasan anggaran pada kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Pertahanan dan TNI.
Anggaran Kemhan kini mengalami penurunan. Anggaran yang semula berkisar Rp 180 triliun hingga Rp 200 triliun, kini diajukan hanya Rp 104 triliun sampai Rp 107 triliun.
Dari total anggaran tersebut, menurut Hanafi, 40 persen akan digunakan untuk kebutuhan rutin, 20 persen untuk belanja barang alias alutsista, dan sisanya untuk belanja modal.
Hanafi mengatakan, pangkalan militer di Natuna dibangun untuk memperkuat penegakan hukum dalam menyelesaikan persoalan pelanggaran di sekitar Laut China Selatan.
Selain membangun pangkalan militer, ujar Hanafi, perundingan dengan China juga harus terus dilakukan demi menjaga kedaulatan negara.
Pascainsiden terbaru antara Indonesia dan China di Laut China Selatan, pemerintah RI membentuk tim dengan pakar hukum laut internasional Hasyim Djalal sebagai ketua. Tim ini akan mencari solusi atas persoalan di Laut China Selatan.
Natuna sejak lama masuk radar pantauan pemerintah karena posisinya yang rawan di tepian Laut China Selatan. Kepulauan di barat laut Kalimantan itu pun kaya minyak bumi dan gas.
September 2014 misal, Komisi I menyetujui usul realokasi anggaran Rp 450 miliar untuk memperkuat pangkalan TNI di Natuna. Relokasi anggaran itu diajukan Kemhan melihat intensitas ketegangan di Laut China Selatan yang kerap meningkat.
Pangkalan TNI di Natuna, menurut mantan Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq, memang tak layak. Fasilitas di sana mesti dikembangkan, dari mulai landasan pacu, hanggar, hingga dermaga kapal perang. (agk)
Komisi I Bidang Pertahanan DPR mengungkapkan rencana Tentara Nasional Indonesia membangun pangkalan militer di Natuna. Sebagai gerbang Indonesia di barat laut Kalimantan, Natuna selama ini dianggap rawan karena berhadapan dengan Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara di Asia.
“Panglima TNI berencana membuat Natuna jadi pangkalan militer,” kata Wakil Ketua Komisi I Hanafi Rais usai rapat tertutup dengan Kementerian Pertahanan dan Panglima TNI di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, semalam.
Anggaran untuk membangun pangkalan militer di Natuna, ujar Hanafi, sesungguhnya telah dialokasikan sejak tahun lalu. Namun ia mengaku lupa besarannya.
Akhir Maret, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu sempat mengemukakan niatnya mengirim armada dari tiga matra TNI ke Natuna. Ia mengaku jengkel melihat kondisi Natuna yang minim penjagaan. Padahal 83 ribu kilometer persegi perairan Indonesia di wilayah itu bersinggungan langsung dengan kawasan sengketa Laut China Selatan.
Saat itu Ryamizard berkata akan menempatkan satu kompi Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara di Natuna. Satu kompi terdiri dari 150 sampai 200 personel. Satuan ini memiliki kemampuan tempur darat, laut, dan udara sekaligus.
Kekuatan AU di Natuna juga akan dilengkapi radar, penangkis udara, drone, dan pesawat tempur. Namun sebelum pesawat tempur dikirim ke Natuna, landasan pacu di sana akan diperbaiki lebih dulu.
“Karena kalau untuk pesawat tempur tidak layak, bisa rusak pesawat itu," ujar Ryamizard.
Untuk armada Angkatan Laut di Natuna, akan dibangun dermaga untuk kapal patroli yang dilengkapi satu kompi marinir. Selain itu, Ryamizard mengatakan Natuna perlu dijaga kapal selam.
Sementara Angkatan Darat akan dilengkapi satu Batalyon Raider yang merupakan salah satu pasukan elite TNI.
Posisi Natuna di barat laut Kalimantan berhadapan langsung dengan wilayah sengketa Laut China Selatan. (Wikimedia Commons/Hobe/Holger Behr)
Selama ini Natuna dipantau dari Pangkalan Utama TNI AL Pontianak di Kalimantan Barat; serta Pangkalan Udara AU Ranai di Natuna Besar –pulau terbesar di Kepulauan Natuna. Lantamal Pontianak direncanakan memiliki seribu prajurit lebih.
Sementara fasilitas di Lanud Ranai akan ditingkatkan bertahap, termasuk memperpanjang landasan pacunya agar bisa didarati pesawat tempur kelas berat. Lanud Ranai juga secara bertahap akan menerima distribusi kekuatan tempur TNI AU yang selama ini diparkir di Lanud Supadio, Pontianak.
Natuna sejak dulu menjadi perhatian TNI. Jenderal Moeldoko yang kala itu menjabat Panglima TNI berkata, persebaran pasukan TNI di sekeliling perairan Natuna penting untuk mengantisipasi kemungkinan infiltrasi akibat instabilitas Laut China Selatan.
Kepala Staf TNI AL Laksamana Ade Supandi akhir tahun lalu mengatakan, armadanya sehari-hari selalu berpatroli di wilayah barat maupun timur Indonesia dengan jumlah kapal perang sekitar 40 unit.
Selat Malaka dan Laut Natuna di barat Indonesia dijaga 20 kapal perang. Demikian pula Ambalat dan Laut Arafuru di timur Indonesia dijaga 20 kapal.
Terlepas dari rencana pembangunan pangkalan militer besar di Natuna itu, Komisi I menyatakan anggaran Kementerian Pertahanan justru turun. Anggaran semula berkisar Rp 180 triliun hingga Rp 200 triliun, namun yang diajukan hanya Rp 104 triliun sampai Rp 107 triliun.
“Yang diajukan jauh dari harapan kami (Komisi I). Lebih banyak untuk alokasi alat utama sisten senjata, kesejahteraan TNI, perumahan, dan lain-lain,” kata Hanafi.
Anggaran Terbatas, Pangkalan Militer Natuna Dibangun Bertahap
Rencana Pangkalan Militer di Natuna [def.pk]
Wakil Ketua Komisi I Bidang Pertahanan DPR Hanafi Rais menyatakan pembangunan pangkalan militer di Natuna telah disetujui parlemen sejak tahun lalu. Pangkalan itu dianggap penting karena perairan Natuna yang berhadapan dengan wilayah sengketa Laut China Selatan, kerap disusupi kapal asing.
“Tahun lalu sudah mulai perpanjangan landasan pacu untuk pesawat. Kemudian akan dibahas lagi dan dilakukan bertahap secara terus-menerus,” ujar Hanafi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (22/6).
Pembangunan bertahap itu akan berlangsung hingga mencapai wujud pangkalan militer yang komplet, meski ada persoalan keterbatasan anggaran pada kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Pertahanan dan TNI.
Anggaran Kemhan kini mengalami penurunan. Anggaran yang semula berkisar Rp 180 triliun hingga Rp 200 triliun, kini diajukan hanya Rp 104 triliun sampai Rp 107 triliun.
Dari total anggaran tersebut, menurut Hanafi, 40 persen akan digunakan untuk kebutuhan rutin, 20 persen untuk belanja barang alias alutsista, dan sisanya untuk belanja modal.
Hanafi mengatakan, pangkalan militer di Natuna dibangun untuk memperkuat penegakan hukum dalam menyelesaikan persoalan pelanggaran di sekitar Laut China Selatan.
Selain membangun pangkalan militer, ujar Hanafi, perundingan dengan China juga harus terus dilakukan demi menjaga kedaulatan negara.
Pascainsiden terbaru antara Indonesia dan China di Laut China Selatan, pemerintah RI membentuk tim dengan pakar hukum laut internasional Hasyim Djalal sebagai ketua. Tim ini akan mencari solusi atas persoalan di Laut China Selatan.
Natuna sejak lama masuk radar pantauan pemerintah karena posisinya yang rawan di tepian Laut China Selatan. Kepulauan di barat laut Kalimantan itu pun kaya minyak bumi dan gas.
September 2014 misal, Komisi I menyetujui usul realokasi anggaran Rp 450 miliar untuk memperkuat pangkalan TNI di Natuna. Relokasi anggaran itu diajukan Kemhan melihat intensitas ketegangan di Laut China Selatan yang kerap meningkat.
Pangkalan TNI di Natuna, menurut mantan Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq, memang tak layak. Fasilitas di sana mesti dikembangkan, dari mulai landasan pacu, hanggar, hingga dermaga kapal perang. (agk)
♖ CNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.