Citra Satelit penghancuran kampung Rohingya
Myanmar tengah melakukan pembersihan etnis minorita Muslim Rohingya dari wilayahnya. Hal itu diungkapkan oleh seorang pejabat senior PBB.
"Angkatan bersenjata telah membunuh etnis Rohingya di negara bagian Rakhine, memaksa banyak dari mereka melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh," kata John McKissick dari badan pengungsi PBB seperti dikutip dari BBC, Jumat (25/11/2016).
McKissick mengatakan bahwa militer Myanmar dan polisi penjaga perbatasan telah terlibat dalam hukuman kolektif terhadap minoritas Rohingya. Aksi itu dilakukan setelah pembunuhan sembilan penjaga perbatasan pada 9 Oktober lalu dimana beberapa politisi menyalahkannya kepada kelompok militan Rohingya.
"Pasukan keamanan telah membunuh, menembak mereka, membunuh anak-anak, memperkosa wanita, membakar dan menjarah rumah-rumah mereka, memaksa orang-orang untuk menyeberangi sungai ke Bangladesh," ungkap McKissick.
"Sekarangan sangat sulit bagi pemeirntah Bangladesh untuk mengatakan perbatasan terbuka karena ini lebih lanjut akan mendorong pemerintah Myanmar untuk melanjutkan kekejaman dan mendorong mereka keluar sampai mereka telah mencapai tujuan akhir mereka yaitu pembersihan etnis minoritas Muslim di Myanmar," katanya.
Menanggapi pernyataan McKissick, juru bicara presiden Myanmar Zaw Htay mengatakan pejabat PBB tersebut harus menjaga profesionalisme dan etika sebagai seorang pejabat karena komentarnya hanya tuduhan belaka. "Dia seharusnya hanya berbicara berdasarkan bukti konkret dan kuat di lapangan," katanya. (ian)
Suu Kyi Dicap Bukan Pejuang HAM
Pemerintah Myanmar disebut tengah melakukan pembersihan etnis Muslim Rohingya. [Istimewa]
Para aktivis hak asasi manusia (HAM) internasional mengkritik keras Aung San Suu Kyi, sosok peraib nobel perdamaian yang sebelumnya dianggap sebagai pejuang HAM saat ditindas junta militer. Suu Kyi dikiritik karena masih diam melihat penganiayaan militer terhadap komunitas Muslim Rohingya di Rakhine.
Aktivis HAM dari Human Rights Watch, David Scott Mathieson, mempertanykan kredibilitas Suu Kyi dalam mempromosikan HAM karena bungkam melihat penindasan di negaranya sendiri. Suu Kyi, pemimpin faksi politik yang berkuasa di Myanmar saat ini sejatinya punya kekuatan untuk bertindak lebih dalam mencegah kekerasan terhadap komunitas Rohingya.
”Suu Kyi berisiko merobek-robek apa yang tersisa dari kredibilitasnya untuk mempromosikan HAM jika dia gagal untuk berbicara,” kritik Mathieson, seperti dikutip ABC, Jumat (25/11/2016).
”Dia telah membuat jelas bahwa dia adalah seorang politisi, bukan pembela HAM atau kemanusiaan, ketika situasi putus asa di Rakhine membutuhkan pemimpin politik untuk memprioritaskan isu-isu tersebut,” ujarnya.
Pejabat PBB, Yanghee Lee, menyesalkan sikap pemerintah Myanmar yang mengunci akses bantuan kemanusiaan dan media di Rakhine utara yang kini jadi zona operasi militer. ”Hal ini tidak dapat diterima bahwa selama enam minggu telah terjadi penguncian lengkap, tanpa akses (kemanusiaan) ke daerah yang terkena (operasi militer),” ujar Lee.
PBB memperkirakan hingga 30 ribu orang telah mengungsi, yang hampir semuanya berasal dari warga minoritas Muslim Rohingya. Lebih dari 70 ribu jiwa segera membutuhkan makanan.
Masih menurut PBB, dengan pemutusan akses bantuan kemanusiaan, diperkirakan 30-50 persen dari 3.000 anak-anak berisiko menderita gizi buruk akut.
Suu Kyi Marah
Aung San Suu Kyi, pemimpin partai berkuasa di Myanmar kesal setelah krisis Muslim Rohingya di Rakhine disorot masyarakat dunia. [REUTERS / Soe Zeya Tun]
Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara di dunia ikut menyoroti kekerasan militer Myanmar terhadap komunitas Muslim Rohingya di Rakhine dalam forum PBB di New York. Namun, pemimpin faksi politik yang berkuasa di Myanmar, Aung San Suu Kyi, bereaksi marah dengan merasa Myanmar diperlakukan tidak adil.
Duta AS untuk PBB, Samantha Power menyampaikan peringatan kepada pada diplomat Barat lainnya bahwa Myanmar tidak bisa menangani krisis Rohingya sendiri. Tindakan keras militer Myanmar—seperti yang dilaporkan kelompok HAM—seperti pembakaran desa, eksekusi hingga pemerkosaan, telah membuat ratusan warga Rohingya di Rakhine melakukan eksodus ke perbatasan Bangladesh.
”Antusiasme awal masyarakat internasional atas pembiaran Myanmar terus di jalan ini, reformasi sendiri tampaknya berbahaya pada tahap ini,” kata Samantha Power dalam forum tertutup di markas PBB, pekan lalu, yang dilansir Reuters, Kamis (24/11/2016).
Samantha kembali menuntut Washington agar membuka kembali kantor OHCHR, badan hak asasi manusia PBB, di Myanmar. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Nicole Thompson, menolak mengomentari apa yang dibahas dalam forum tertutup di markas PBB tanggal 17 November 2016 lalu.
”Kami tetap prihatin dengan laporan kekerasan yang sedang berlangsung dan eksodus di utara negara bagian Rakhine,” kata Thompson. ”Kami terus mendesak pemerintah untuk melakukan penyelidikan kredibel dan independen terhadap peristiwa di negara bagian Rakhine, dan memperbarui permintaan kami untuk membuka akses pada media,” lanjut Thompson.
Para diplomat Barat mengatakan, Inggris juga menyatakan keprihatinan pada pertemuan tersebut. Malaysia dan Mesir juga menyuarkan hal serupa.
Sementara itu, Suu Kyi menjawab di hari berikutnya dalam pertemuan dengan para diplomat dari PBB, AS, Inggris, Uni Eropa dan Denmark, di Ibu Kota Naypyitaw, Myanmar. Suu Kyi meluapkan kemarahannya. Menurut sumber-sumber diplomat, Suu Kyi menekankan bahwa Myanmar juga telah berkomitmen untuk memulihkan akses bantuan dan meluncurkan penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine.
Masih menurut sumber diplomat, Suu Kyi menuduh masyarakat internasional hanya fokus pada sisi konflik tanpa “memiliki informasi yang nyata”.
Suu Kyi yang meraih Hadiah Nobel Perdamaian selama ini dipuji Barat dengan pejuang demokrasi dan HAM. Suu Kyi selama bertahun-tahun berada di dalam tahanan rumah akibat penindasan junta militer. Namun, pujian untuk Suu Kyi kini berubah menjadi kecaman karena dia dianggap nyaris tak berbuat apa-apa untuk meringankan penderitaan kelompok minoritas Rohingya, meski faksi politiknya telah berkuasa di Myanmar.
Kekerasan terbaru militer Myanmar terhadap komunitas Muslim Rohingya mulai terjadi menyusul serangan orang-orang bersenjata tak dikenal terhadap tiga pos polisi perbatasan pada 9 Oktober 2016 yang menewaskan sembilan polisi Myanmar.
Militer Myanmar dan pemerintah telah menolak tuduhan oleh warga Rohingya dan kelompok-kelompok HAM, bahwa tentara telah memperkosa wanita Rohingya, membakar rumah dan mengeksekusi puluhan warga sipil selama operasi militer di Rakhine sebagai respons atas serangan di tiga pos polisi tersebut.
Juru bicara Kepresidenan Myanmar, Zaw Htay, mengatakan Myanmar telah merilis berita yang benar untuk mencegah penyebaran informasi yang salah.
”Masyarakat internasional salah paham pada kami, karena pelobi Rohingya mendistribusikan berita palsu,” katanya. ”Tidak ada seorang pun di dunia akan menerima serangan terhadap pasukan keamanan, pembunuhan dan penjarahan senjata,” katanya lagi. (mas)
Myanmar tengah melakukan pembersihan etnis minorita Muslim Rohingya dari wilayahnya. Hal itu diungkapkan oleh seorang pejabat senior PBB.
"Angkatan bersenjata telah membunuh etnis Rohingya di negara bagian Rakhine, memaksa banyak dari mereka melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh," kata John McKissick dari badan pengungsi PBB seperti dikutip dari BBC, Jumat (25/11/2016).
McKissick mengatakan bahwa militer Myanmar dan polisi penjaga perbatasan telah terlibat dalam hukuman kolektif terhadap minoritas Rohingya. Aksi itu dilakukan setelah pembunuhan sembilan penjaga perbatasan pada 9 Oktober lalu dimana beberapa politisi menyalahkannya kepada kelompok militan Rohingya.
"Pasukan keamanan telah membunuh, menembak mereka, membunuh anak-anak, memperkosa wanita, membakar dan menjarah rumah-rumah mereka, memaksa orang-orang untuk menyeberangi sungai ke Bangladesh," ungkap McKissick.
"Sekarangan sangat sulit bagi pemeirntah Bangladesh untuk mengatakan perbatasan terbuka karena ini lebih lanjut akan mendorong pemerintah Myanmar untuk melanjutkan kekejaman dan mendorong mereka keluar sampai mereka telah mencapai tujuan akhir mereka yaitu pembersihan etnis minoritas Muslim di Myanmar," katanya.
Menanggapi pernyataan McKissick, juru bicara presiden Myanmar Zaw Htay mengatakan pejabat PBB tersebut harus menjaga profesionalisme dan etika sebagai seorang pejabat karena komentarnya hanya tuduhan belaka. "Dia seharusnya hanya berbicara berdasarkan bukti konkret dan kuat di lapangan," katanya. (ian)
Suu Kyi Dicap Bukan Pejuang HAM
Pemerintah Myanmar disebut tengah melakukan pembersihan etnis Muslim Rohingya. [Istimewa]
Para aktivis hak asasi manusia (HAM) internasional mengkritik keras Aung San Suu Kyi, sosok peraib nobel perdamaian yang sebelumnya dianggap sebagai pejuang HAM saat ditindas junta militer. Suu Kyi dikiritik karena masih diam melihat penganiayaan militer terhadap komunitas Muslim Rohingya di Rakhine.
Aktivis HAM dari Human Rights Watch, David Scott Mathieson, mempertanykan kredibilitas Suu Kyi dalam mempromosikan HAM karena bungkam melihat penindasan di negaranya sendiri. Suu Kyi, pemimpin faksi politik yang berkuasa di Myanmar saat ini sejatinya punya kekuatan untuk bertindak lebih dalam mencegah kekerasan terhadap komunitas Rohingya.
”Suu Kyi berisiko merobek-robek apa yang tersisa dari kredibilitasnya untuk mempromosikan HAM jika dia gagal untuk berbicara,” kritik Mathieson, seperti dikutip ABC, Jumat (25/11/2016).
”Dia telah membuat jelas bahwa dia adalah seorang politisi, bukan pembela HAM atau kemanusiaan, ketika situasi putus asa di Rakhine membutuhkan pemimpin politik untuk memprioritaskan isu-isu tersebut,” ujarnya.
Pejabat PBB, Yanghee Lee, menyesalkan sikap pemerintah Myanmar yang mengunci akses bantuan kemanusiaan dan media di Rakhine utara yang kini jadi zona operasi militer. ”Hal ini tidak dapat diterima bahwa selama enam minggu telah terjadi penguncian lengkap, tanpa akses (kemanusiaan) ke daerah yang terkena (operasi militer),” ujar Lee.
PBB memperkirakan hingga 30 ribu orang telah mengungsi, yang hampir semuanya berasal dari warga minoritas Muslim Rohingya. Lebih dari 70 ribu jiwa segera membutuhkan makanan.
Masih menurut PBB, dengan pemutusan akses bantuan kemanusiaan, diperkirakan 30-50 persen dari 3.000 anak-anak berisiko menderita gizi buruk akut.
Suu Kyi Marah
Aung San Suu Kyi, pemimpin partai berkuasa di Myanmar kesal setelah krisis Muslim Rohingya di Rakhine disorot masyarakat dunia. [REUTERS / Soe Zeya Tun]
Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara di dunia ikut menyoroti kekerasan militer Myanmar terhadap komunitas Muslim Rohingya di Rakhine dalam forum PBB di New York. Namun, pemimpin faksi politik yang berkuasa di Myanmar, Aung San Suu Kyi, bereaksi marah dengan merasa Myanmar diperlakukan tidak adil.
Duta AS untuk PBB, Samantha Power menyampaikan peringatan kepada pada diplomat Barat lainnya bahwa Myanmar tidak bisa menangani krisis Rohingya sendiri. Tindakan keras militer Myanmar—seperti yang dilaporkan kelompok HAM—seperti pembakaran desa, eksekusi hingga pemerkosaan, telah membuat ratusan warga Rohingya di Rakhine melakukan eksodus ke perbatasan Bangladesh.
”Antusiasme awal masyarakat internasional atas pembiaran Myanmar terus di jalan ini, reformasi sendiri tampaknya berbahaya pada tahap ini,” kata Samantha Power dalam forum tertutup di markas PBB, pekan lalu, yang dilansir Reuters, Kamis (24/11/2016).
Samantha kembali menuntut Washington agar membuka kembali kantor OHCHR, badan hak asasi manusia PBB, di Myanmar. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Nicole Thompson, menolak mengomentari apa yang dibahas dalam forum tertutup di markas PBB tanggal 17 November 2016 lalu.
”Kami tetap prihatin dengan laporan kekerasan yang sedang berlangsung dan eksodus di utara negara bagian Rakhine,” kata Thompson. ”Kami terus mendesak pemerintah untuk melakukan penyelidikan kredibel dan independen terhadap peristiwa di negara bagian Rakhine, dan memperbarui permintaan kami untuk membuka akses pada media,” lanjut Thompson.
Para diplomat Barat mengatakan, Inggris juga menyatakan keprihatinan pada pertemuan tersebut. Malaysia dan Mesir juga menyuarkan hal serupa.
Sementara itu, Suu Kyi menjawab di hari berikutnya dalam pertemuan dengan para diplomat dari PBB, AS, Inggris, Uni Eropa dan Denmark, di Ibu Kota Naypyitaw, Myanmar. Suu Kyi meluapkan kemarahannya. Menurut sumber-sumber diplomat, Suu Kyi menekankan bahwa Myanmar juga telah berkomitmen untuk memulihkan akses bantuan dan meluncurkan penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine.
Masih menurut sumber diplomat, Suu Kyi menuduh masyarakat internasional hanya fokus pada sisi konflik tanpa “memiliki informasi yang nyata”.
Suu Kyi yang meraih Hadiah Nobel Perdamaian selama ini dipuji Barat dengan pejuang demokrasi dan HAM. Suu Kyi selama bertahun-tahun berada di dalam tahanan rumah akibat penindasan junta militer. Namun, pujian untuk Suu Kyi kini berubah menjadi kecaman karena dia dianggap nyaris tak berbuat apa-apa untuk meringankan penderitaan kelompok minoritas Rohingya, meski faksi politiknya telah berkuasa di Myanmar.
Kekerasan terbaru militer Myanmar terhadap komunitas Muslim Rohingya mulai terjadi menyusul serangan orang-orang bersenjata tak dikenal terhadap tiga pos polisi perbatasan pada 9 Oktober 2016 yang menewaskan sembilan polisi Myanmar.
Militer Myanmar dan pemerintah telah menolak tuduhan oleh warga Rohingya dan kelompok-kelompok HAM, bahwa tentara telah memperkosa wanita Rohingya, membakar rumah dan mengeksekusi puluhan warga sipil selama operasi militer di Rakhine sebagai respons atas serangan di tiga pos polisi tersebut.
Juru bicara Kepresidenan Myanmar, Zaw Htay, mengatakan Myanmar telah merilis berita yang benar untuk mencegah penyebaran informasi yang salah.
”Masyarakat internasional salah paham pada kami, karena pelobi Rohingya mendistribusikan berita palsu,” katanya. ”Tidak ada seorang pun di dunia akan menerima serangan terhadap pasukan keamanan, pembunuhan dan penjarahan senjata,” katanya lagi. (mas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.