Menara kayu bertingkat dua, setinggi sekitar 5 meter, yang berada di Long Nawang, Kecamatan Kayan Hulu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, itu tampak reyot.
Di beberapa bagian dindingnya, papan kayu sudah tak lagi terpasang, lepas dari tempatnya. Begitu pula seng yang menutup atap menara, yang kondisinya tidak lagi sempurna.
"Hati-hati saat melangkah," ujar Wakil Komandan Pos Long Nawang Satuan Tugas (Satgas) Pengamanan Perbatasan (Pamtas) Indonesia-Malaysia Yonif 527/Baladibya Yudha, Sersan Satu Nuryanto, saat mengantar Kompas melihat menara itu, pekan lalu.
Menara kayu yang berada di perbatasan Indonesia-Malaysia itu konon pernah digunakan tentara Malaysia untuk menjaga perbatasan. Namun, karena harus pindah ke titik lain, Malaysia meninggalkan pos tersebut. Pos itu kemudian difungsikan oleh prajurit TNI Angkatan Darat yang ditugaskan di titik perbatasan.
"Menara itu untuk menelepon keluarga di rumah," kata Prajurit Kepala Ahmad Susanto, yang juga bertugas di tempat itu.
Di menara yang berjarak sekitar 200 meter dari Pos Satgas Pamtas Long Nawang itu, sinyal telekomunikasi memang bisa tertangkap telepon genggam. Namun, itu harus dengan memakai telepon genggam model lama.
"Kalau yang model baru, sinyalnya tidak akan bisa masuk," tambah Prajurit Kepala Halik Baso, prajurit lainnya.
Nuryanto kemudian menunjukkan cara menelepon di menara tersebut. Pertama, telepon genggam model lama itu diikat dengan tali. Kemudian, talinya digantungkan pada paku di papan kayu. Selanjutnya, Nuryanto memasang headset pada telepon genggam. Sinyal masuk, dia pun menghubungi keluarganya.
"Saat Lebaran, Juli lalu, menara ini penuh prajurit yang berjaga di perbatasan. Kami berebut sinyal untuk menelepon keluarga di rumah. Untung saja menara ini tidak sampai roboh," ujar Nuryanto, tertawa.
Telepon genggam itu menjadi satu-satunya cara bagi 15 prajurit di Pos Satgas Pamtas Long Nawang untuk berkomunikasi, bisa melepas rindu dengan keluarga.
Lokasi Pos Satgas Pamtas Long Nawang cukup terpencil dan kondisinya amat terbatas. Desa terdekat, yaitu Long Nawang, harus ditempuh dalam waktu satu jam dengan menggunakan mobil berpenggerak ganda, dengan kondisi jalan yang masih buruk. Di pos tersebut, aliran listrik pun terbatas karena hanya mengandalkan genset. Tidak ada televisi di tempat itu.
Berpatroli
Selain mencatat dan mengecek setiap pelintas batas yang hendak ke Malaysia atau Indonesia dan menjaga keamanan daerah itu, prajurit TNI Angkatan Darat yang bertugas di Pos Long Nawang juga harus berpatroli mengawasi patok-patok perbatasan.
Patok yang diawasi ini berada di hutan yang masih lebat, pada radius sekitar 5 kilometer dari pos. Kegiatan penebangan pohon di hutan di Malaysia yang kian mendekati garis perbatasan membuat mereka khawatir patok perbatasan rusak atau bahkan diabaikan oleh perusahaan kayu sehingga ikut menebang pohon-pohon di teritori Indonesia.
Ada sekitar 800 patok perbatasan yang berada di bawah pengawasan mereka. Panjang garis perbatasannya sekitar 160 kilometer, atau hampir sama dengan jarak Jakarta-Bandung, 150 kilometer.
Namun, jangan dibayangkan ada jalan mulus untuk mengecek semua patok seperti ruas jalan Jakarta-Bandung. Prajurit harus berjalan di hutan yang lebat, tebing yang curam, jurang yang dalam, dan sungai-sungai berarus deras.
Dengan beban tugas yang tidak ringan dan keharusan tidak boleh meninggalkan tempat tugas selama sembilan bulan masa penugasan, tidak keliru jika prajurit perbatasan yang ditugaskan di daerah tersebut mengandalkan menara reyot yang mereka sebut "pondok cinta". Pondok cinta menjadi pilihan prajurit untuk melepas jenuh dan lelah bertugas, di samping hiburan lain, seperti bermain voli atau berburu.
Papua
Bagi tim yang kini bertugas di Long Nawang itu, penugasan menjaga perbatasan merupakan yang kedua kalinya. Tahun 2009 sampai 2010, mereka juga ditugaskan di perbatasan Indonesia-Papua Niugini, tepatnya di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua.
Menurut Prajurit Kepala Furqon, prajurit Satgas Pamtas Long Nawang, kondisi yang mereka hadapi saat ini jauh lebih baik daripada saat bertugas di perbatasan di Papua. Pasalnya, selain harus terus waspada karena potensi serangan kelompok bersenjata, penyakit malaria juga mengancam keselamatan prajurit.
Saat bertugas di Papua, tidak ada prajurit yang tidak terjangkit penyakit itu. Untuk menyembuhkannya, prajurit harus berusaha sendiri karena jauhnya lokasi pos ke rumah sakit atau puskesmas.
"Infus sudah seperti jadi mainan kami. Suntik untuk memasukkan infus kami suntikkan sendiri ke lengan. Bahkan, ada yang sampai langsung meminum infus itu," ujar Ahmad. Meski menjaga perbatasan adalah tugas yang tidak ringan, mereka bangga karena berhasil merebut hati rakyat di sekitar pos perbatasan.
Prajurit tidak segan membantu warga ketika ada warga yang sakit, butuh pertolongan saat berkebun, atau bantuan lainnya. Akibatnya, ketika masa tugas mereka berakhir, justru warga yang tidak rela mereka pergi.
Prajurit di Pos Long Nawang hanya gambaran kecil pasukan TNI yang bertugas di perbatasan. Apa pun kondisinya, mereka tetap bersemangat dan setia menjaga kedaulatan negara.
Di beberapa bagian dindingnya, papan kayu sudah tak lagi terpasang, lepas dari tempatnya. Begitu pula seng yang menutup atap menara, yang kondisinya tidak lagi sempurna.
"Hati-hati saat melangkah," ujar Wakil Komandan Pos Long Nawang Satuan Tugas (Satgas) Pengamanan Perbatasan (Pamtas) Indonesia-Malaysia Yonif 527/Baladibya Yudha, Sersan Satu Nuryanto, saat mengantar Kompas melihat menara itu, pekan lalu.
Menara kayu yang berada di perbatasan Indonesia-Malaysia itu konon pernah digunakan tentara Malaysia untuk menjaga perbatasan. Namun, karena harus pindah ke titik lain, Malaysia meninggalkan pos tersebut. Pos itu kemudian difungsikan oleh prajurit TNI Angkatan Darat yang ditugaskan di titik perbatasan.
"Menara itu untuk menelepon keluarga di rumah," kata Prajurit Kepala Ahmad Susanto, yang juga bertugas di tempat itu.
Di menara yang berjarak sekitar 200 meter dari Pos Satgas Pamtas Long Nawang itu, sinyal telekomunikasi memang bisa tertangkap telepon genggam. Namun, itu harus dengan memakai telepon genggam model lama.
"Kalau yang model baru, sinyalnya tidak akan bisa masuk," tambah Prajurit Kepala Halik Baso, prajurit lainnya.
Nuryanto kemudian menunjukkan cara menelepon di menara tersebut. Pertama, telepon genggam model lama itu diikat dengan tali. Kemudian, talinya digantungkan pada paku di papan kayu. Selanjutnya, Nuryanto memasang headset pada telepon genggam. Sinyal masuk, dia pun menghubungi keluarganya.
"Saat Lebaran, Juli lalu, menara ini penuh prajurit yang berjaga di perbatasan. Kami berebut sinyal untuk menelepon keluarga di rumah. Untung saja menara ini tidak sampai roboh," ujar Nuryanto, tertawa.
Telepon genggam itu menjadi satu-satunya cara bagi 15 prajurit di Pos Satgas Pamtas Long Nawang untuk berkomunikasi, bisa melepas rindu dengan keluarga.
Lokasi Pos Satgas Pamtas Long Nawang cukup terpencil dan kondisinya amat terbatas. Desa terdekat, yaitu Long Nawang, harus ditempuh dalam waktu satu jam dengan menggunakan mobil berpenggerak ganda, dengan kondisi jalan yang masih buruk. Di pos tersebut, aliran listrik pun terbatas karena hanya mengandalkan genset. Tidak ada televisi di tempat itu.
Berpatroli
Selain mencatat dan mengecek setiap pelintas batas yang hendak ke Malaysia atau Indonesia dan menjaga keamanan daerah itu, prajurit TNI Angkatan Darat yang bertugas di Pos Long Nawang juga harus berpatroli mengawasi patok-patok perbatasan.
Patok yang diawasi ini berada di hutan yang masih lebat, pada radius sekitar 5 kilometer dari pos. Kegiatan penebangan pohon di hutan di Malaysia yang kian mendekati garis perbatasan membuat mereka khawatir patok perbatasan rusak atau bahkan diabaikan oleh perusahaan kayu sehingga ikut menebang pohon-pohon di teritori Indonesia.
Ada sekitar 800 patok perbatasan yang berada di bawah pengawasan mereka. Panjang garis perbatasannya sekitar 160 kilometer, atau hampir sama dengan jarak Jakarta-Bandung, 150 kilometer.
Namun, jangan dibayangkan ada jalan mulus untuk mengecek semua patok seperti ruas jalan Jakarta-Bandung. Prajurit harus berjalan di hutan yang lebat, tebing yang curam, jurang yang dalam, dan sungai-sungai berarus deras.
Dengan beban tugas yang tidak ringan dan keharusan tidak boleh meninggalkan tempat tugas selama sembilan bulan masa penugasan, tidak keliru jika prajurit perbatasan yang ditugaskan di daerah tersebut mengandalkan menara reyot yang mereka sebut "pondok cinta". Pondok cinta menjadi pilihan prajurit untuk melepas jenuh dan lelah bertugas, di samping hiburan lain, seperti bermain voli atau berburu.
Papua
Bagi tim yang kini bertugas di Long Nawang itu, penugasan menjaga perbatasan merupakan yang kedua kalinya. Tahun 2009 sampai 2010, mereka juga ditugaskan di perbatasan Indonesia-Papua Niugini, tepatnya di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua.
Menurut Prajurit Kepala Furqon, prajurit Satgas Pamtas Long Nawang, kondisi yang mereka hadapi saat ini jauh lebih baik daripada saat bertugas di perbatasan di Papua. Pasalnya, selain harus terus waspada karena potensi serangan kelompok bersenjata, penyakit malaria juga mengancam keselamatan prajurit.
Saat bertugas di Papua, tidak ada prajurit yang tidak terjangkit penyakit itu. Untuk menyembuhkannya, prajurit harus berusaha sendiri karena jauhnya lokasi pos ke rumah sakit atau puskesmas.
"Infus sudah seperti jadi mainan kami. Suntik untuk memasukkan infus kami suntikkan sendiri ke lengan. Bahkan, ada yang sampai langsung meminum infus itu," ujar Ahmad. Meski menjaga perbatasan adalah tugas yang tidak ringan, mereka bangga karena berhasil merebut hati rakyat di sekitar pos perbatasan.
Prajurit tidak segan membantu warga ketika ada warga yang sakit, butuh pertolongan saat berkebun, atau bantuan lainnya. Akibatnya, ketika masa tugas mereka berakhir, justru warga yang tidak rela mereka pergi.
Prajurit di Pos Long Nawang hanya gambaran kecil pasukan TNI yang bertugas di perbatasan. Apa pun kondisinya, mereka tetap bersemangat dan setia menjaga kedaulatan negara.
★ Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.