✈ Melakukan Serangan Fajar ke Mapanget [tni-au.mil.id]
Tiada keinginan untuk memukul saudara sendiri, mungkin inilah pertanyaan yang menggambarkan pertentangan batin atas sejumlah gempuran perwira AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia, sekarang TNI Angkatan Udara) sarang Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada tahun 1958. Namun bagaimanapun, serangan atas mereka harus tetap dilakukan untuk menstabilkan keamanan nasional.
Awal tahun 1958, sebagian wilayah Sulawesi dan Maluku diibaratkan seperti daerah mati. Wilayah ini dikuasai oleh Angkatan Udara Revolusioner (kekuatan udara Permesta). Pada saat itu mereka memiliki cukup banyak pesawat militer yang kerap mengganggu penerbangan AURI. Suatu ketika pun pernah terjadi ketegangan di ruang udara Sulawesi dan Maluku, sehingga tak ada satupun pesawat udara yang berani terbang siang hari, kecuali P-51 Mustang.
Menanggapi hal tersebut, AURI pun geram dan tak mau tinggal diam. Mereka melakukan pengepungan setahap demi setahap untuk mempersempit gerak pasukan udara Permesta. Seperti halnya PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), Permesta pada dasarnya merupakan saudara sendiri.
Basis mereka tersebar mulai dari Mapanget, Tasuka, Gorontalo, Morotai hingga Jailolo. Namun dimana kekuatan tersebut terkonsentrasi, tak seorangpun prajurit AURI ada yang mengetahuinya.
Pada 14 Mei 1958, sesuai dengan kesepakatan sejumlah (kemudian dikenal sebagai tokoh-tokoh AURI) mengadakan pertemuan singkat di sebuah bangunan sederhana dekat lapangan terbang Maumere, Flores. Kedatangan mereka ketempat itu adalah untuk membicarakan mengenai rencana penyerangan Permesta pada lima lokasi itu.
Di antaranya yang hadir adalah Mayor Udara Leo Wattimena yang menjadi pimpinan operasi sekaligus pimpinan para penempur cocor merah, Mustang. Selain itu hadir pula Kapten Udara Sri Muljono Herlambang dan Kapten Udara Suwondo yang memimpin tim pesawat pembom taktis B-25 Mitchell.
Sebagai pimpinan, Leo mengarahkan bawahannya untuk harus mencapai udara sebelum matahari terbit. Pasukannya terdiri dari empat pesawat pembom dan lima pesawat pemburu P-51 Mustang. Sasaran pertama dari dua pesawat B-25 ini adalah Mapanget dan Tasuka. Kedua daerah ini menurut arahan Leo, harus diserang secara bersamaan. Setelah itu kedua pesawat ini harus kembali ke pangkalan awal untuk mengisi bahan bakar, bom dan amunisi, untuk melakukan serangan berikutnya ke Morotai dan Jailolo.
Pada hari berikutnya, misi menggempur Permesta pun tiba. Tepat pukul 04:20 waktu setempat pesawat-pesawat itu melontarkan diri ke udara menuju Minahasa. Selang waktu sejenak, setelah Mustang dan Mitchell AURI telah membumbung tinggi di angkasa, sebuah pesawat B-26 Invander AUREV berkali-kali melintas wilayah itu.
Sesampainya di atas Pulau Lambe, kedua kelompok pesawat pembom kemudian memisahkan diri. Kelompok pertama terdiri dari tiga Mitchell yang dipiloti Sri Mulyono Herlambang, Soewoto Sukendar dan Soedarman yang dikawal Mustang Leo Wattimena, Dewanto dan Rusman menuju Mapanget (kini Bandara Sam Ratulangi). Sedangkan kelompok berikutnya terdiri dari sebuah B-25 yang dipiloti Suwondo dengan pengawalan dari P-51 Narayana dan Luly Wardiman yang melaju ke Tasuka.
Saat yang mendebarkan pun tiba. Tepat pukul 07:00 waktu setempat, tanpa disadari para pemberontak Permesta, mereka pun tiba-tiba muncul dari balik gunung. Begitupun para personel yang ada di pangkalan udara Mapanget itu pun kebingungan. Begitu pula yang ada di Jailolo.
Belom sempat mereka menyiapkan sistem penangkis serangan udara untuk meredam gempuran, gelombang pertama kuda besi Mustang berhasil melakukan straffing. Kedua pangkalan dihujani peluru senapan mesin kaliber 0.50.
Di Mapanget, tak lama setelah PSU-PSU itu dibabat, Mustang berikutnya yang dipiloti Rusman menyerang PBY-Catalina pemberontak yang diparkir di platform. Tembakan dengan cepat dan tepat merobek-robek pesawat amfibi itu hingga hancur dan terbakar. Rusman pun bergegas mencari sasaran empuk lainnya untuk dilumpuhkan.
Sukses diberi serangan gertakan oleh Mustang, B-25 kemudian memasuki lokasi pemboman, yang diawasi Leo dari ketinggian. Bom pembuka pun dijatuhkan oleh Mitchell yang dipiloti Sri Mulyono dengan bombardier Kapten Saleh Basarah. Namun sayang, bom konvensional seberat 2.000 kg kurang tepat menghantam sasaran, karena jatuh hanya di tepi landasan.
Menyadari hal itu, Herlambang pun segera mengontak Soedarman sebagai eksekutor bom berikutnya, untuk melakukan low level bombing. Cocor merah bernomor ekor M-423 yang ditunggangi Soedarman menukik dari ketinggian 3.000 kaki menuju target dari arah utara.
“Saya tahu betul dengan terbang low level kami pasti disambut tembakan senjata-senjata penangkis serangan udara. Dan ternyata memang benar. Itulah risikonya tugas,” ungkap Soedarman.
Namun Soedarman tak menghiraukan itu. Meski dihujani peluru tajam, pesawat yang ia kemudikan tetap melaju rendah hingga ketinggian 110 kaki (35 meter). Masuk pasa final approach, Soedarman terbang dengan kecepatan penuh untuk menghindari pancaran peluru yang susul-menyusul.
“Menjelang Short final itu pula, saya arahkan vizier senjata tepat ke tengah-tengah landasan. Masuk landasan, bom pertama saya jatuhkan, namun saya tetap berkonsentrasi pada vizier untuk bom-bom berikutnya. Saya tak menghiraukan bahwa kami telah masuk kubu tembakan musuh,” terangnya pada Angkasa mengenang masa itu.
Beberapa derik setelah bom pertama dihempaskan, pesawat Soedarman terasa seperti terguncang-guncang. Pesawat yang ia nahkodai itu terhunus peluru lawan, dan tetap ia tak menghiraukan itu. Baru setelah bom kedua berhasil melebutkan target pada tengah landasan, Soedarman mulai mengajak pesawatnya untuk menanjak kembali dan mencari perlindungan di deretan pohon kelapa.
Dalam radionya Leo memberikan evaluasi singkat. “Okay, penyerangan berhasil. Kita dapat enam pesawat dan landasan berhasil dirusak. Sekarang kembali ke pangkalan masing-masing untuk persiapkan serangan selanjutnya,” ujar Leo.
Atas keberaniannya dalam serangan ke sarang permesta tersebut, Soedarma dan segenap Personel AURI yang berjibaku bersamanya dianugerahi tanda jasa Satyalancana Sapta Marga. Begitulah kilas kisah perjuangan dan dedikasi Marsda TNI (Purn) pada tanah air dalam menekan gerak gerombolan Permesta di timur Indonesia.
Author: Sumardjo | rewrite: Fery Setiawan
Tiada keinginan untuk memukul saudara sendiri, mungkin inilah pertanyaan yang menggambarkan pertentangan batin atas sejumlah gempuran perwira AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia, sekarang TNI Angkatan Udara) sarang Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada tahun 1958. Namun bagaimanapun, serangan atas mereka harus tetap dilakukan untuk menstabilkan keamanan nasional.
Awal tahun 1958, sebagian wilayah Sulawesi dan Maluku diibaratkan seperti daerah mati. Wilayah ini dikuasai oleh Angkatan Udara Revolusioner (kekuatan udara Permesta). Pada saat itu mereka memiliki cukup banyak pesawat militer yang kerap mengganggu penerbangan AURI. Suatu ketika pun pernah terjadi ketegangan di ruang udara Sulawesi dan Maluku, sehingga tak ada satupun pesawat udara yang berani terbang siang hari, kecuali P-51 Mustang.
Menanggapi hal tersebut, AURI pun geram dan tak mau tinggal diam. Mereka melakukan pengepungan setahap demi setahap untuk mempersempit gerak pasukan udara Permesta. Seperti halnya PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), Permesta pada dasarnya merupakan saudara sendiri.
Basis mereka tersebar mulai dari Mapanget, Tasuka, Gorontalo, Morotai hingga Jailolo. Namun dimana kekuatan tersebut terkonsentrasi, tak seorangpun prajurit AURI ada yang mengetahuinya.
Pada 14 Mei 1958, sesuai dengan kesepakatan sejumlah (kemudian dikenal sebagai tokoh-tokoh AURI) mengadakan pertemuan singkat di sebuah bangunan sederhana dekat lapangan terbang Maumere, Flores. Kedatangan mereka ketempat itu adalah untuk membicarakan mengenai rencana penyerangan Permesta pada lima lokasi itu.
Di antaranya yang hadir adalah Mayor Udara Leo Wattimena yang menjadi pimpinan operasi sekaligus pimpinan para penempur cocor merah, Mustang. Selain itu hadir pula Kapten Udara Sri Muljono Herlambang dan Kapten Udara Suwondo yang memimpin tim pesawat pembom taktis B-25 Mitchell.
Sebagai pimpinan, Leo mengarahkan bawahannya untuk harus mencapai udara sebelum matahari terbit. Pasukannya terdiri dari empat pesawat pembom dan lima pesawat pemburu P-51 Mustang. Sasaran pertama dari dua pesawat B-25 ini adalah Mapanget dan Tasuka. Kedua daerah ini menurut arahan Leo, harus diserang secara bersamaan. Setelah itu kedua pesawat ini harus kembali ke pangkalan awal untuk mengisi bahan bakar, bom dan amunisi, untuk melakukan serangan berikutnya ke Morotai dan Jailolo.
Pada hari berikutnya, misi menggempur Permesta pun tiba. Tepat pukul 04:20 waktu setempat pesawat-pesawat itu melontarkan diri ke udara menuju Minahasa. Selang waktu sejenak, setelah Mustang dan Mitchell AURI telah membumbung tinggi di angkasa, sebuah pesawat B-26 Invander AUREV berkali-kali melintas wilayah itu.
Sesampainya di atas Pulau Lambe, kedua kelompok pesawat pembom kemudian memisahkan diri. Kelompok pertama terdiri dari tiga Mitchell yang dipiloti Sri Mulyono Herlambang, Soewoto Sukendar dan Soedarman yang dikawal Mustang Leo Wattimena, Dewanto dan Rusman menuju Mapanget (kini Bandara Sam Ratulangi). Sedangkan kelompok berikutnya terdiri dari sebuah B-25 yang dipiloti Suwondo dengan pengawalan dari P-51 Narayana dan Luly Wardiman yang melaju ke Tasuka.
Saat yang mendebarkan pun tiba. Tepat pukul 07:00 waktu setempat, tanpa disadari para pemberontak Permesta, mereka pun tiba-tiba muncul dari balik gunung. Begitupun para personel yang ada di pangkalan udara Mapanget itu pun kebingungan. Begitu pula yang ada di Jailolo.
Belom sempat mereka menyiapkan sistem penangkis serangan udara untuk meredam gempuran, gelombang pertama kuda besi Mustang berhasil melakukan straffing. Kedua pangkalan dihujani peluru senapan mesin kaliber 0.50.
Di Mapanget, tak lama setelah PSU-PSU itu dibabat, Mustang berikutnya yang dipiloti Rusman menyerang PBY-Catalina pemberontak yang diparkir di platform. Tembakan dengan cepat dan tepat merobek-robek pesawat amfibi itu hingga hancur dan terbakar. Rusman pun bergegas mencari sasaran empuk lainnya untuk dilumpuhkan.
Sukses diberi serangan gertakan oleh Mustang, B-25 kemudian memasuki lokasi pemboman, yang diawasi Leo dari ketinggian. Bom pembuka pun dijatuhkan oleh Mitchell yang dipiloti Sri Mulyono dengan bombardier Kapten Saleh Basarah. Namun sayang, bom konvensional seberat 2.000 kg kurang tepat menghantam sasaran, karena jatuh hanya di tepi landasan.
Menyadari hal itu, Herlambang pun segera mengontak Soedarman sebagai eksekutor bom berikutnya, untuk melakukan low level bombing. Cocor merah bernomor ekor M-423 yang ditunggangi Soedarman menukik dari ketinggian 3.000 kaki menuju target dari arah utara.
“Saya tahu betul dengan terbang low level kami pasti disambut tembakan senjata-senjata penangkis serangan udara. Dan ternyata memang benar. Itulah risikonya tugas,” ungkap Soedarman.
Namun Soedarman tak menghiraukan itu. Meski dihujani peluru tajam, pesawat yang ia kemudikan tetap melaju rendah hingga ketinggian 110 kaki (35 meter). Masuk pasa final approach, Soedarman terbang dengan kecepatan penuh untuk menghindari pancaran peluru yang susul-menyusul.
“Menjelang Short final itu pula, saya arahkan vizier senjata tepat ke tengah-tengah landasan. Masuk landasan, bom pertama saya jatuhkan, namun saya tetap berkonsentrasi pada vizier untuk bom-bom berikutnya. Saya tak menghiraukan bahwa kami telah masuk kubu tembakan musuh,” terangnya pada Angkasa mengenang masa itu.
Beberapa derik setelah bom pertama dihempaskan, pesawat Soedarman terasa seperti terguncang-guncang. Pesawat yang ia nahkodai itu terhunus peluru lawan, dan tetap ia tak menghiraukan itu. Baru setelah bom kedua berhasil melebutkan target pada tengah landasan, Soedarman mulai mengajak pesawatnya untuk menanjak kembali dan mencari perlindungan di deretan pohon kelapa.
Dalam radionya Leo memberikan evaluasi singkat. “Okay, penyerangan berhasil. Kita dapat enam pesawat dan landasan berhasil dirusak. Sekarang kembali ke pangkalan masing-masing untuk persiapkan serangan selanjutnya,” ujar Leo.
Atas keberaniannya dalam serangan ke sarang permesta tersebut, Soedarma dan segenap Personel AURI yang berjibaku bersamanya dianugerahi tanda jasa Satyalancana Sapta Marga. Begitulah kilas kisah perjuangan dan dedikasi Marsda TNI (Purn) pada tanah air dalam menekan gerak gerombolan Permesta di timur Indonesia.
Author: Sumardjo | rewrite: Fery Setiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.