Wawancara bersama Letjen (Pur) Sjafrie Sjamsoeddin Menjalani pengabdian di TNI hingga meraih pangkat jenderal bintang tiga dan jabatan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan (Sekjen Kemhan) tahun 2005 berlanjut sebagai Wakil Menhan (2010), melengkapi proses pembentukan karakter diri perwira Kopassus kelahiran Makassar, 30 Oktober 1952 ini.
Bagi Letjen (Pur) Sjafrie Sjamsoeddin, karakter seorang pemimpin adalah faktor penting bagi seorang perwira. Dalam pemahamannya, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang instan. Kepemimpinan itu sebuah proses panjang melalui tiga jalur yang perlu dilewati secara berimbang.
Pertama, melalui pendidikan dan latihan; kedua, melalui kesempatan berinteraksi dalam berbagai jenis pengabdian mulai dari teknis, taktis, administrasi sampai strategis; ketiga, pengembangan diri.
“Itulah yang mengasah kepemimpian kita. Selama menjalani itu, akan timbul residu yang saya sebut adrenalin. Adrenalin itulah yang melekat pada diri kita. Adrenalin inilah yang menjadi semacam ‘kamus berjalan’, yang akan keluar pada saat kita menghadapi berbagai situasi. Itulah tolok ukur kepemimpinan yang saya pahami dan jalani selama ini,” beber Sjafrie panjang lebar.
Mantan Pangdam Jaya (1997-1998) ini mengaku sejak tidak lagi di Kemhan, melakukan update capacity di sekolah NATO di Jerman. Ia juga aktif bersama perwira senior dari mancanegara dalam forum diskusi di Tiongkok dan Taiwan. “Saya network mereka, setiap tahun. Untuk NATO saya sendiri, di Taiwan ada perwira lain dari Indonesia, namun di Singapura dan Tiongkok saya sendiri. Itu undangan personal,” jelas Sjafrie.
Kakak kandung Marsda (Pur) Maroef Sjamsoeddin yang pernah mengikuti pendidikan pasukan khusus di Fort Benning dan Fort Bragg di Amerika serta di markas SASR Australia di Swanbourne ini menerima Beny Adrian, Fery Setiawan, dan fotografer Julius Rendy di kediamannya pertengahan September lalu. Berikut petikannya.
Katanya Anda baru kembali dari Taiwan menghadiri forum ilmiah soal Laut Tiongkok Selatan (LCS). Apa hasil dari forum itu?
Agresivitas Tiongkok di LCS hanya untuk membangun kekuatan dan menunjukkan eksistensi mereka secara historis, politik, militer, dan teknologi. Itu saja.
Bukankah China memperlihatkan sikap ofensif?
Tidak, nggak ngapa-ngapain. Itu strategi defensif aktif bukan ofensif aktif. Mereka bilang jangan diganggu. Kalau saya diganggu akan saya balas, dan balas lagi. Jadi yang ada hanya peredaan tegangan saja. Kalau Tiongkok menyatakan LCS punya mereka, itu betul. Mereka punya klaim historis, politik, militer, dan teknologi terhadap LCS. Mereka punya paper yang judulnya China Military Strategic Prospective in East South China Sea Situation. Mereka membesarkan angkatan bersenjata sudah pasti untuk menyaingi AS, namun tidak ofensif. Dalam arti jangan diganggu dan AS juga tidak mau ganggu. Garis logistik dari Amerika ke LCS sangat panjang dan pasti akan merepotkan Amerika. Sebuah keniscayaan bahwa tidak akan ada konflik terbuka. Tiongkok sangat all out demi national dignity.
Dalam pertemuan yang saya hadiri itu mereka ingin mengatakan inilah Tiongkok sekarang dengan pertumbuhan ekonomi dan teknologinya. Sikap Tiongkok terhadap Taiwan juga tetap One China Policy. Taiwan dan Tiongkok itu kan ibarat semut dan gajah. Intinya mereka bilang, jangan ganggu kami.
Tantangan prajurit TNI sekarang berbeda dengan yang Anda alami. Katakanlah bobot operasionalnya sudah kecil. Apakah ini akan mempengaruhi pribadi mereka sebagai prajurit, karena tidak melalui tiga jalur yang perlu dilewati secara berimbang seperti tadi Anda sampaikan?
Tantangan setiap generasi berbeda. Di dalam teori Revolution in Military Affairs (RMA) dijelaskan bahwa setiap dekade memiliki tantangan tersendiri. RMA dekade yang lalu bobot teknologinya rendah, namun bobot operasionalnya tinggi. RMA sekarang, bobot teknologi meningkat namun bobot operasional menurun sejalan menurunnya konflik, sejalan berubahnya metode perang dari simetrik ke asimetrik.
Disinilah letaknya, bagaimana pengguna kekuatan dan pembina kekuatan TNI harus mencarikan “mainan” untuk tentara. Latihan ada, pendidikan ada, operasional harus dicarikan. Operasional adalah bagaimana kita mencarikan ruang agar kemampuan operasional prajurit terpelihara. Insurjensi sudah menurun drastis. Aceh dan Timtim sudah selesai. Jadi yang harus diasah sekarang, bagaimana intelektualisasi taktis dalam menghadapi insurjensi dalam bentuk lain.
Insurjensi dalam bentuk lain itu begini. Aceh mesti sudah damai, tetap harus diwaspadai. Dimanapun insurjensi, tidak pernah menghabiskan sampai orang terakhir. Pasti ada benih insurjensi. Disinilah peran intelijen untuk mengasah kemampuannya. Di Papua, insurjensinya mengarah ke politik, landscape ancamannya bukan bersenjata tapi politik, sehingga kita harus mengadakan diversifikasi profesionalistas intelijen. Namanya intelijen taktis. Bisa saja di dalamnya ada bobot penggunaan kekuatan tempur, tapi tidak kekuatan konvensional seperti tank melainkan kemampuan profesional prajurit.
Dengan kata lain, intelektualisasi profesionalitas militer jadi meningkat tantangannya. Kalau generasi saya tidak terlalu penting mempelajari teknologi informasi, tetapi pada saat ini di dalamnya ada teknologi. Militer Indonesia harus dilengkapi kemampuan perang informasi. Perang ini serupa tapi tidak sama dengan operasi tempur yang mematikan. Perang informasi melumpuhkan pemikiran. Bukan hidup atau mati.
Jadi tantangan militer sekarang justru meningkat. Karena tidak cukup militansi dan intelektualisasi taktis saja, tapi harus intelektualisasi teknologi dalam menghadapi perang asimetrik. Perang asimetrik sangat luas, borderless.
Apakah TNI sudah mengaplikasikannya?
Di TNI sekarang ada unit cyber. Perang asimetrik membutuhkan biaya tinggi dan kualitas SDM. Harus dicari benih-benih prajurit yang mampu melaksanakan perang asimetrik. Saya tidak mengalami perang asimetrik. Namun saat sudah di Mabes, itu terjadi dan kita praktikkan di Aceh saat Darurat Militer. Waktu itu operasi intelijen, tempur, teritorial, dan informasi jalan bareng.
Nah, sekarang soal pasukan khusus, di mana Anda dulu berada. Bagaimana Anda melihat kasus penyanderaan WNI di Filipina baru lalu yang melibatkan PPRC Kostrad. Kenapa tidak pasukan khusus yang sudah diwadahi dalam Koopsusgab TNI?
Kembalikan saja ke parameternya, karena ada pembagian kewenangan. Pengerahan kekuatan militer adalah fungsi Pemerintah dalam hal ini presiden. Penggunaan kekuatan dan bagaimana cara menggunakannya, itu fungsi panglima. Bagaimana militer disiapkan, itu fungsi kepala staf angkatan. Itu formula.
Sekarang kita lihat, apakah penggunaan kekuatan militer itu untuk melaksanakan operasi khusus atau sekadar deterrent guna mendukung diplomasi. Kalau menggunakan kekuatan TNI dalam rangka operasi khusus, tentu yang berperan pasukan khusus. Tapi kalau disebut penggunaan Kostrad sebagai kompartemen strategis, dia kan tidak bisa nyebrang, kekuatannya konvensional. Menggerakan pasukan yang besar jauh lebih susah dibanding pasukan kecil dengan kemampuan khusus. Tinggal kita lihat jenis operasinya: mendukung diplomasi atau ingin menjalankan sendiri.
Kalau mendukung diplomasi, namanya standby force, mainnya di perbatasan. Mungkin di dalamnya ada pasukan khusus. Itu bisa terjadi. Ini merupakan pilihan yang ada di panglima dan tidak berlawanan dengan hukum dan doktrin. Dia kan belum menjalanakannya dan itu bisa bagian dari strategi militer. Strategi militer itu kan hidup.
Berbeda dengan kasus Woyla dan Mapenduma. Jelas kita melakukan operasi militer di negara orang atas izin negara bersangkutan dengan batasan yang ditentukan. Atau kita melaksanakan operasi khusus terhadap sasaran terpilih berkategori strategis di wilayah nasional kita. Tapi kalau di Filipina, yang kita lihat kan diplomasi. Strategi militer dalam mendukung diplomasi. Kecuali menggunakan PPRC untuk menyeberang keluar wilayah nasional, itu boleh dipertanyakan. PPRC dipakai di wilayah nasional untuk menghadapi trouble spot.
Bagi Letjen (Pur) Sjafrie Sjamsoeddin, karakter seorang pemimpin adalah faktor penting bagi seorang perwira. Dalam pemahamannya, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang instan. Kepemimpinan itu sebuah proses panjang melalui tiga jalur yang perlu dilewati secara berimbang.
Pertama, melalui pendidikan dan latihan; kedua, melalui kesempatan berinteraksi dalam berbagai jenis pengabdian mulai dari teknis, taktis, administrasi sampai strategis; ketiga, pengembangan diri.
“Itulah yang mengasah kepemimpian kita. Selama menjalani itu, akan timbul residu yang saya sebut adrenalin. Adrenalin itulah yang melekat pada diri kita. Adrenalin inilah yang menjadi semacam ‘kamus berjalan’, yang akan keluar pada saat kita menghadapi berbagai situasi. Itulah tolok ukur kepemimpinan yang saya pahami dan jalani selama ini,” beber Sjafrie panjang lebar.
Mantan Pangdam Jaya (1997-1998) ini mengaku sejak tidak lagi di Kemhan, melakukan update capacity di sekolah NATO di Jerman. Ia juga aktif bersama perwira senior dari mancanegara dalam forum diskusi di Tiongkok dan Taiwan. “Saya network mereka, setiap tahun. Untuk NATO saya sendiri, di Taiwan ada perwira lain dari Indonesia, namun di Singapura dan Tiongkok saya sendiri. Itu undangan personal,” jelas Sjafrie.
Kakak kandung Marsda (Pur) Maroef Sjamsoeddin yang pernah mengikuti pendidikan pasukan khusus di Fort Benning dan Fort Bragg di Amerika serta di markas SASR Australia di Swanbourne ini menerima Beny Adrian, Fery Setiawan, dan fotografer Julius Rendy di kediamannya pertengahan September lalu. Berikut petikannya.
Katanya Anda baru kembali dari Taiwan menghadiri forum ilmiah soal Laut Tiongkok Selatan (LCS). Apa hasil dari forum itu?
Agresivitas Tiongkok di LCS hanya untuk membangun kekuatan dan menunjukkan eksistensi mereka secara historis, politik, militer, dan teknologi. Itu saja.
Bukankah China memperlihatkan sikap ofensif?
Tidak, nggak ngapa-ngapain. Itu strategi defensif aktif bukan ofensif aktif. Mereka bilang jangan diganggu. Kalau saya diganggu akan saya balas, dan balas lagi. Jadi yang ada hanya peredaan tegangan saja. Kalau Tiongkok menyatakan LCS punya mereka, itu betul. Mereka punya klaim historis, politik, militer, dan teknologi terhadap LCS. Mereka punya paper yang judulnya China Military Strategic Prospective in East South China Sea Situation. Mereka membesarkan angkatan bersenjata sudah pasti untuk menyaingi AS, namun tidak ofensif. Dalam arti jangan diganggu dan AS juga tidak mau ganggu. Garis logistik dari Amerika ke LCS sangat panjang dan pasti akan merepotkan Amerika. Sebuah keniscayaan bahwa tidak akan ada konflik terbuka. Tiongkok sangat all out demi national dignity.
Dalam pertemuan yang saya hadiri itu mereka ingin mengatakan inilah Tiongkok sekarang dengan pertumbuhan ekonomi dan teknologinya. Sikap Tiongkok terhadap Taiwan juga tetap One China Policy. Taiwan dan Tiongkok itu kan ibarat semut dan gajah. Intinya mereka bilang, jangan ganggu kami.
Tantangan prajurit TNI sekarang berbeda dengan yang Anda alami. Katakanlah bobot operasionalnya sudah kecil. Apakah ini akan mempengaruhi pribadi mereka sebagai prajurit, karena tidak melalui tiga jalur yang perlu dilewati secara berimbang seperti tadi Anda sampaikan?
Tantangan setiap generasi berbeda. Di dalam teori Revolution in Military Affairs (RMA) dijelaskan bahwa setiap dekade memiliki tantangan tersendiri. RMA dekade yang lalu bobot teknologinya rendah, namun bobot operasionalnya tinggi. RMA sekarang, bobot teknologi meningkat namun bobot operasional menurun sejalan menurunnya konflik, sejalan berubahnya metode perang dari simetrik ke asimetrik.
Disinilah letaknya, bagaimana pengguna kekuatan dan pembina kekuatan TNI harus mencarikan “mainan” untuk tentara. Latihan ada, pendidikan ada, operasional harus dicarikan. Operasional adalah bagaimana kita mencarikan ruang agar kemampuan operasional prajurit terpelihara. Insurjensi sudah menurun drastis. Aceh dan Timtim sudah selesai. Jadi yang harus diasah sekarang, bagaimana intelektualisasi taktis dalam menghadapi insurjensi dalam bentuk lain.
Insurjensi dalam bentuk lain itu begini. Aceh mesti sudah damai, tetap harus diwaspadai. Dimanapun insurjensi, tidak pernah menghabiskan sampai orang terakhir. Pasti ada benih insurjensi. Disinilah peran intelijen untuk mengasah kemampuannya. Di Papua, insurjensinya mengarah ke politik, landscape ancamannya bukan bersenjata tapi politik, sehingga kita harus mengadakan diversifikasi profesionalistas intelijen. Namanya intelijen taktis. Bisa saja di dalamnya ada bobot penggunaan kekuatan tempur, tapi tidak kekuatan konvensional seperti tank melainkan kemampuan profesional prajurit.
Dengan kata lain, intelektualisasi profesionalitas militer jadi meningkat tantangannya. Kalau generasi saya tidak terlalu penting mempelajari teknologi informasi, tetapi pada saat ini di dalamnya ada teknologi. Militer Indonesia harus dilengkapi kemampuan perang informasi. Perang ini serupa tapi tidak sama dengan operasi tempur yang mematikan. Perang informasi melumpuhkan pemikiran. Bukan hidup atau mati.
Jadi tantangan militer sekarang justru meningkat. Karena tidak cukup militansi dan intelektualisasi taktis saja, tapi harus intelektualisasi teknologi dalam menghadapi perang asimetrik. Perang asimetrik sangat luas, borderless.
Apakah TNI sudah mengaplikasikannya?
Di TNI sekarang ada unit cyber. Perang asimetrik membutuhkan biaya tinggi dan kualitas SDM. Harus dicari benih-benih prajurit yang mampu melaksanakan perang asimetrik. Saya tidak mengalami perang asimetrik. Namun saat sudah di Mabes, itu terjadi dan kita praktikkan di Aceh saat Darurat Militer. Waktu itu operasi intelijen, tempur, teritorial, dan informasi jalan bareng.
Nah, sekarang soal pasukan khusus, di mana Anda dulu berada. Bagaimana Anda melihat kasus penyanderaan WNI di Filipina baru lalu yang melibatkan PPRC Kostrad. Kenapa tidak pasukan khusus yang sudah diwadahi dalam Koopsusgab TNI?
Kembalikan saja ke parameternya, karena ada pembagian kewenangan. Pengerahan kekuatan militer adalah fungsi Pemerintah dalam hal ini presiden. Penggunaan kekuatan dan bagaimana cara menggunakannya, itu fungsi panglima. Bagaimana militer disiapkan, itu fungsi kepala staf angkatan. Itu formula.
Sekarang kita lihat, apakah penggunaan kekuatan militer itu untuk melaksanakan operasi khusus atau sekadar deterrent guna mendukung diplomasi. Kalau menggunakan kekuatan TNI dalam rangka operasi khusus, tentu yang berperan pasukan khusus. Tapi kalau disebut penggunaan Kostrad sebagai kompartemen strategis, dia kan tidak bisa nyebrang, kekuatannya konvensional. Menggerakan pasukan yang besar jauh lebih susah dibanding pasukan kecil dengan kemampuan khusus. Tinggal kita lihat jenis operasinya: mendukung diplomasi atau ingin menjalankan sendiri.
Kalau mendukung diplomasi, namanya standby force, mainnya di perbatasan. Mungkin di dalamnya ada pasukan khusus. Itu bisa terjadi. Ini merupakan pilihan yang ada di panglima dan tidak berlawanan dengan hukum dan doktrin. Dia kan belum menjalanakannya dan itu bisa bagian dari strategi militer. Strategi militer itu kan hidup.
Berbeda dengan kasus Woyla dan Mapenduma. Jelas kita melakukan operasi militer di negara orang atas izin negara bersangkutan dengan batasan yang ditentukan. Atau kita melaksanakan operasi khusus terhadap sasaran terpilih berkategori strategis di wilayah nasional kita. Tapi kalau di Filipina, yang kita lihat kan diplomasi. Strategi militer dalam mendukung diplomasi. Kecuali menggunakan PPRC untuk menyeberang keluar wilayah nasional, itu boleh dipertanyakan. PPRC dipakai di wilayah nasional untuk menghadapi trouble spot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.