☆ Peristiwa Cikini (Beragam versi)
Soekarno (Foto penasoekarno) |
Saat itu Sabtu, 30 November 1957, Perguruan Cikini sedang
merayakan Ulang Tahun ke 15. Berbagai acara digelar untuk merayakannya,
salah satunya adalah kegiatan bazaar amal yang bertujuan mengumpulkan
dana. Bazaar ini selain dihadiri oleh para murid, guru dan karyawan
sekolah juga dihadiri oleh para orangtua murid. Salah satu orangtua
murid yang hadir adalah Bung Karno, Presiden Republik Indonesia pertama.
Ir. Soekarno hadir sebagai orangtua dari Guntur, Megawati, Rahmawati,
Sukmawati dan Guruh.
Pesta sekolah SR Tjikini termasuk meriah
masa itu, beberapa hari sebelumnya telah ramai dibicarakan murid-murid
dan penduduk sekitarnya. Publikasi gencar yang dilakukan panitia
penyelenggara membuat semua orang ingin datang, termasuk Ibu Ani dan
kedua anaknya. Berita kedatangan Bung Karno menarik perhatian, termasuk
penduduk sekitar sekolah. Mereka datang berbondong-bondong ingin
melihat sang proklamator. Salah satunya Mak Ani dan kedua anaknya,
Mariani dan Julia.
Walau bukan murid Perguruan Cikini, Mak
Ani dan anak-anaknya merasa bangga bisa melihat presiden mereka. Seakan
larut dalam pesta ulangtahun SR Tjikini mereka berjejer di pinggir
jalan. Mereka terus menunggu sampai Bung Karno keluar sekolah dan
bersiap pulang. Hasrat melihat wajah presiden dari dekat membuat ketiga
anak beranak ini berdesak mendekat ke rombongan kepresidenan. Saat
Bung Karno berhenti dan melambaikan tangan serta tersenyum kearah masa
yang mengelilinginya, Mak Ani merasakan itulah senyuman untuk mereka
bertiga, kepuasan tersendiri melanda bathinnya.
Saat suasana
kebanggaan sedang memenuhi hati dan pikirannya, tiba-tiba saja ledakan
keras berbunyi, beberapa kali. Tanah terasa bergetar, tak lama
terdengar jeritan di sana-sini, beberapa orang termasuk anak-anak
berjatuhan. Mak Ani yang sedang menggendong Julia, adik Mariani,
merasakan darah mengalir dari perut anak di pelukannya. Sementara ia
mendengar keluhan Mariani yang kesakitan dan memanggil-manggil Mak Ani.
Tak lama Mariani jatuh dalam pelukan Mak Ani, ia tak lagi memanggil
ibunya dan saat itu Mak Ani sadar bahwa Mariani telah tiada.
Mariani tewas sementara adiknya, Julia,
luka parah. Seseorang tak dikenal membantu Mak Ani dan membawa mereka
ke RSUP, sekarang RSCM. Malam itu juga Julia ditangani dokter, perutnya dioperasi
besar. Mak Ani yang juga luka terus-menerus berdoa memohon kesembuhan
Julia sepanjang malam. Tuhan mendengarnya, Julia tidak mengikuti
kakaknya. Walaupun kemudian Mak Ani mendapatkan santunan dari
pemerintah, namun kepedihan hati karena ditinggal Mariani tak
terobati.
Sukarno dan putra-putrinya selamat, akan tetapi dipihak lain
terdapat korban jatuh meninggal dunia sekitar 9 orang dan sekitar 100
orang lainnya luka-luka berat. Korban yang terbanyak adalah murid-murid
sekolah itu.
Kisah nyata ini merupakan salah satu dari sekian banyak
korban berjatuhan akibat usaha pembunuhan Bung Karno di Perguruan
Cikini. Walau beliau selamat, namun korban yang berjatuhan cukup
banyak dan beritanya menjadi gema di seluruh Indonesia sampai
berbulan-bulan.
***
Granat yang dilemparkan Tasrif tak cuma
meledakkan halaman depan sekolah Perguruan Cikini di Jl Cikini Raya 76
Jakarta, tapi juga meledakkan amarah Presiden Soekarno. Betapa tidak,
hanya beberapa jengkal dari dirinya, ia mesti menyaksikan sembilan anak
dan seorang ibu yang tengah hamil merenggang nyawa. Seorang
pengawalnya terluka berat dan ia mesti merelakan lengannya tergores
kawat berduri saat lari mengamankan diri. Soekarno murka.
Telunjuk segera diedarkan. Mayor Dachyar
selaku Komandan Militer Jakarta ketika itu langsung menyodorkan jawaban
hanya berselang 3 hari setelah kejadian. Ia menuding percobaan
pembunuhan presiden itu buah tangan kelompok teroris yang didesain
Kolonel Zulkifli Lubis. Motifnya apalagi kalau bukan perseteruan
perwira daerah dan pusat. Zulkifli Lubis dikenal sebagai salah satu dedengkot perwira pro daerah yang berseberangan dengan Nasution.
Menurut keterangan resmi pemerintah
tentang Peristiwa Cikini, organisasi Lubis mencerminkan upayanya untuk
membangun kelompok para militer yang anti-komunis di Jakarta yang
dinamakan Gerakan Anti Komunis (GAK), yang juga anti Nasution dan anti
Sukarno.
Ini bukan tuduhan serampangan. Tokoh yang dibidik bukanlah militer ecek-ecek.
Zulkifli dikenal sebagai salah satu perwira cerdas – selain Kolonel
Bambang Supeno – yang merintis dasar-dasar organisasi intelijen di
Indonesia. Jabatan terakhirnya sebelum kabur ke daerah adalah Wakil
KSAD. Tak pelak, tuduhan itu membuat Jakarta makin gencar mengganyang
PRRI dan Permesta.
Saat itu pemerintahan Soekarno sedang
runyam karena ancaman pemberontakan oleh militer di daerah yang
kemudian dikenal dengan PRRI/Permesta. Sementara Wapres Bung Hatta
sudah mengundurkan diri. Karena itu akan diadakan dialog Musyawarah
Nasional dengan para panglima yang akan memberontak di Sumatera dan
Sulawesi di Gedung Bappenas di Jalan Imam Bonjol, Jakarta,
untuk mencegah kemarahan mereka.
Tapi rencana dialog tersebut gagal karena
saat keluar dari Perguruan Cikini, Presiden Soekarno dibom dengan
granat oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan Anti-Komunis.
Pelaku pemboman presiden itu dikoordinir oleh seorang guru dan beberapa
anak buahnya yang berasal dari Sumbawa. Di sebelah sekolah itu memang
terletak asrama anak Sumbawa.
Peristiwa Cikini tersebut menewaskan 9
orang tewas dan 100 lainnya luka-luka yang kebanyakan anak sekolah.
Tapi menarik dari peristiwa tersebut, kontan Kolonel Zulkifli Lubis,
pendiri intelijen yang saat itu sedang bersembunyi di Jakarta Barat
jadi tertuduh. Kabar pemboman itu disampaikan anak buahnya Ibrahim
Saleh. Zulkifli Lubis saat itu sedang dicari-cari militer karena
terlibat usaha pendongkelan KSAD Mayjen AH Nasution bersama temannya
Mayor Bratamanggala dan Kemal Idris di Melawai Jakarta, tapi gagal.
Zulkifli sendiri salah seorang yang
diundang dalam rencana Musyawarah Nasional. Tapi semuanya berantakan.
Zulkifli membantah keterlibatannya dalam Peristiwa Cikini tersebut.
Tapi beliau merasa wajar saja dijadikan tertuduh, karena posisinya
memang sedang tidak disukai saat itu. Pengadilan kemudian membuktikan
Zulkifli tak terlibat. Para terdakwa penggranatan itu menyatakan tak
ada hubungannya dengan Zulkifli.
Tapi tuduhan itu ternyata asbun.
Mendadak, aparat malah menangkap tersangka lain. Mereka adalah Tasrif,
Saadun dan Yusuf Ismail. Ketiganya perantauan dari Bima, Nusa Tenggara
yang dituding tergabung dalam gerakan DI/TII. Kaitan inilah yang
menyebabkan Soekarno tak lagi ragu memberikan tandatangan mengeksekusi
Kartosuwirjo, orang yang pernah berbagi tempat dan bertukar pikiran
dengannya selama mondok di rumah HOS Tjokroaminoto.
“Aku selalu ingat kepada sembilan anak dan seorang perempuan hamil yang jatuh tersungkur tak bernyawa di dekatku. Oleh karena itu, tahun 1963 aku membubuhkan tanda tangan menghukum mati Kartosuwirjo. Bukan untuk kepuasan, tetapi demi menegakkan keadilan…” (Kompas, 30 November 2007).
Soekarno juga memerintahkan eksekusi mati
langsung kepada tiga pelaku utama, Tasrif, Saadun dan Yusuf Ismail,
begitu vonis hakim turun. Sebetulnya ada yang janggal dengan versi ini.
Seluruh pelaku berasal dari Bima, sebuah wilayah yang tak punya
riwayat hiruk pikuk dalam momentum makar DI/TII. Berbeda misalnya, jika
pelaku dari Sulsel (Kahar Muzakar), Jabar (Kartosuwirjo), Kalsel (Ibnu
Hajar) ataupun Aceh (Daud Beureuh).
Versi lain – yang terdengar lebih konyol –
justru muncul dari Kolonel Alex Everet Kawilarang, eks pentolan
Permesta. Kabar yang sampai ke telinganya (Majalah Tempo Thn
II/10/1999), pelaku utama penggranatan memang orang Bima, namun bukan
yang telah ditangkap negara. Pelaku asli telah kabur ke Australia.
Tasrif cs hanya bagian dari komplotan. Adapun motifnya ternyata jauh
dari bara politik tentara apalagi separatisme.
“Ceritanya, sebelum Pemilu 1955, Soekarno pernah datang ke Sumba Besar. Karena tidak ada hotel, dia tinggal di rumah penduduk. Masyarakat Bima itu taat kepada Islam. Suatu malam, Soekarno minta tukang pijit. Karena masyarakat Bima memeluk Islam secara taat, mereka tidak mengerti yang dimaksud Soekarno. Dikirimlah seorang laki-laki pemijat. Nah, Soekarno waktu itu mengucapkan kata-kata yang membuat dendam orang Bima. Di luar itu, katanya, Soekarno sempat pula menggoda wanita di sana. Jadi, kalau ini benar, asal mula semuanya soal wanita.”
***
Sebuah memorandum CIA bulan Juni 1962 ,
melaporkan adanya pembicaraan dari kalangan diplomat Barat mengenai
pertemuan antara Presiden AS John F Kennedy dengan Perdana Menteri
Inggris Macmillian.
Menurut memo pejabat CIA itu, Kennedy dan Macmillian berusaha untuk mengucilkan Sukarno di Asia dan Afrika.
“Kedua pemimpin itu sepakat untuk
melikuidasi Presiden Sukarno, tergantung pada situasi dan peluang yang
ada. Tidak jelas bagi saya apakah pembunuhan atau penggulingan yang
dimaksudkan dengan kata ‘likuidasi’ tersebut,” demikian ditulis pejabat
CIA dalam memo rahasia yang dikutip oleh William Blum.
***
Herman Nicholas “Ventje” Sumual, yang
diangkat menjadi “Panglima Permesta” punya pendapat yang lain. Menurut
Samual, Peristiwa Cikini hanya dilatari masalah pribadi. Seorang
pelempar granat, punya adik perempuan yang menjadi pagar ayu ketika
Bung Karno berkunjung ke Sumbawa-negeri asal keempat aktivis itu. Si
gadis rupanya kecewa karena Presiden memutuskan hubungan singkat itu.
Dugaan lainnya, kata Sumual, PKI berada di balik peristiwa ini untuk
menggagalkan hasil Munap.
Kelak, suatu hari di tahun 1977, Sumual
menanyakan dalang di balik Peristiwa Cikini kepada Nasution. “Apa itu
bukan rekayasa MBAD? Setidaknya bagian intel?” Nasution menjawab,
“Entahlah. Waktu itu intelijen memang mulai tak sejalan dengan saya,”
seperti dicatat Bert Supit dan B.E. Matindas dalam biografi Sumual, Menatap Hanya ke Depan. Peristiwa Cikini menandai dimulainya konflik bersenjata di tubuh tentara.
Sumber :
- Presiden dan Intekijen, Harian Global, 22 July 2009
- Untuk Sang Merah Putih, A.E. Kawilarang, Permesta.8m.net
- Peristiwa Cikini, Alpercik.com
- Granat Cikini, Anusapati.com
- Peristiwa Cikini Membatalkan Rekonsiliasi, Syafri Segeh SUtan Rajo Pangeran, Wartawan Senior di Sumatera Barat, Padangexpres.co.id
- Pemberontakan separuh jalan, Majalah Tempo, 13 Agustus 2007
- serbasejarah