Sabtu, 02 Februari 2013

Rilis GPS Guided Bomb Untuk KFX

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj07-AD2lIsrw0J2P2XHTyRKGUIOSIGmAgj9-aUGLsRI1moChjt98LTyArQzqrvpCbSDN9aE-c9pEkEqd41NtfErEmaRchCfh0tPxNnTXFXFOIsstJvDMXuc02ikWMI9fl7cd3-hjord1w/s1600/1.jpgSeoul | (Joint Direct Attack Munition) disingkat JADM merupakan jenis bom indigenous. Bom udara dulu merupakan sebuah bom yang dijatuhkan dari udara. Bom yang dijatuhkan dari pesawat terbang dari ketinggian tertentu. Hal ini tergantung pada kecepatan,ketinggian pesawat, lokasi dan berat untuk menjatuhkan bom disuatu tempat.

Pilot pesawat tempur biasanya mempertimbangkan kecepatan, ketinggian, dan mempertimbangkan berat bom yang akan dijatuhkan sesuai sasaran yang ditentukan, dan biasanya dilakukan oleh pilot yang sudah terlatih melakukan pengeboman.

Setelah bom tersebut meledakan sasaran biasanya menyisakan lubang besar pada target sasaran, selain itu pesawat tersebut harus segera pergi dari sasaran target untuk menghindari sebelum pesawat tempur musuh tiba di lokasi target tersebut. Hal ini dimaksudkan agar pesawat tersebut tidak melakukan duel udara.

JDAM sendiri dikembangkan pada tahun 90-an, dimana saat itu Boeing mempunyai ide membuat bom pintar seperti rudal balistik jarak jauh.

Model KFX Versi Canard

Prinsip JDAM sendiri sangat sederhana, yaitu menempatkan alat pemandu laser dan memasang sayap serta remote kontrol kecil pada bom tersebut. Sayap tersebut digunakan agar pilot bisa mengarahkan bom dengan tepat sesuai targer sasaran, selain itu dengan menggunakan sayap, bom tersebut terbang dengan sudut menurun dan memiliki jangkauan yang cukup jauh sampai puluhan kilometer berbeda dengan bom biasa yang jatuh secara vertikal.

Banyak negara yang ingin mengembangkan JDAM seperti buatan AS tapi hal itu bukanlah perkara yang mudah. Tapi menurut Defense Sciense Institute atau disebut juga ADD (Badan Pengembangan Pertahanan) telah mengembangkan bom JDAM dengan menggandeng LIG Nex1 yang telah diberi nama bom KGGB (Korean GPS Guided Bom).

Yang menjadi pertanyaan apakah GPS untuk JDAM menggunakan satelit AS?.

Karena dengan menggunakan GPS dari satelit AS, maka data informasi penggunakan bom tersebut akan mudah diketahui oleh pihak militer dan inteligen AS. Walaupun sebenarnya Korea merupakan sekutu dari Amerika Serikat tapi menggunan GPS dari AS sangat riskan, kecuali pihak AS mengirim dan memberikan informasi GPS tersebut.

Selain itu walaupun bom JDAM KGGB tidak memiliki sayar sebesar Boeing tetapi bentuk KGGB hampir mirip seperti yang dikembangkan oleh rivalnya yaitu JASSM (Joint Air-to-Surface Standoff Missile) buatan Lockheed Martin. Bom JASSM sendiri memiliki fitur stealth (siluman) dan memiliki kemampuan seperti rudal SLAM-ER, karena rudal SLAM-ER sendiri memiliki bentuk sayap yang besar dan efisen dalam bahan bakar serta mampu terbang sejauh 300 kilometer. Bom KGGB sendiri masih menggunakan kit induksi GPS Medium range dan memiliki kemampuan terbang lebih dari 100 km. Bila nanti KGGB memiliki kemampuan JASSM merupakan sebuah bom yang menakjubkan.

Model KFX Versi Konvensional

Bom JASSM memiliki peran penting dalam melakukan pengemboman di wilayah musuh (Korut), hal itu disebabkan karena terlalu banyaknya rudal pertahanan yang dimiliki negara tersebut yang membuat pesawat tempur Korsel jatuh sia-sia. Namun bila AS tidak mengijinkan pengadaan JASSM tersebut, maka ADD dan LIG Nex1 memiliki solusi dalam pengembangan KGGB tersebut.

Bom KGGB JASSM memiliki ukuran yang lebih kecil karena disesuaikan dengan pesawat tempur FA-50 dan F-5, tetapi memiliki kemampuan untuk menghancurkan bunker-bunker Korut yang bersembunyi dibalik gunung, selain itu bom KGGB JASSM merupakan solusi untuk FA-50 dan F-5 karena memiliki tangki bahan bakar yang kecil yang menjadi sasaran empuk bagi artileri pertahanan udara Korut serta mengamankan jalur bagi pesawat KF-16, F-4 Phantom dan F-15K untuk masuk melakukan penyusupkan kedalam jantung pertahanan Korut.

Selain itu ADD dan LIG Nex1 harus mengembangkan KGGB untuk pesawat tempur KFX dalam pengamankan dari ancaman rudal balistik nuklir milik Korut.(MIK)

Donga

Airbus Military Transfers C212 Production to Indonesia

The last C212 to be produced by Airbus Military at Seville was delivered to the Vietnam Marine Police in late December. (Foto Airbus Military)

Production of the Airbus Military C212 light transport is being transferred to Indonesia. The company signed a “strategic collaboration agreement” with PT Dirgantara Indonesia (PTDI) in mid-2011. The last aircraft to be assembled in Spain–a C212-400 version–was delivered to the Vietnam Marine Police in late December.

The C212 “provided the basis for the development of CASA into the world-class company that it is today in the form of Airbus Military,” said Domingo Urena-Raso, CEO of Airbus Military. A total of 477 C212s have been produced over a 42-year period for 92 operators. They have been used in a “variety of roles ranging from transport to rain-making, ultra-sophisticated surveillance to search and rescue,” according to the manufacturer. But production at Seville slowed to just four aircraft in the last two years. Urena-Raso said in 2010 that Airbus Military could no longer afford to produce the C212 in Europe.

Today, 290 C212s are flying in 40 countries. The largest population–70–is in Indonesia, where predecessors to PTDI assembled the type under license at Bandung during the 1970s and 1980s. The state-owned manufacturing company has been supplying subassemblies for the CN235 to Airbus Military. It will now build the NC-212, a further upgrade of the aircraft from the C212-400, which was introduced in 1997 with a glass cockpit and more powerful Honeywell TPE331 engines. The NC212 will have new digital avionics and autopilot systems and a new civil interior option for up to 28 passengers.

Ainonline

☆ Memoar Ventje H.N. Sumual (2)

Artikel dikutip sebagian teknis militer berserta sejarahnya dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual. Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009.

Serangan Umum 1 Maret

Agresi besar-besaran yang dilancarkan tentara Belanda pada 19 Desember 1948 merupakan keberhasilan luar biasa dipihak mereka, baik secara militer maupun politik. NKRI yang secara de facto sudah mengecil wilayahnya, kali ini langsung sekaligus hendak dimusnahkan dengan cara menduduki langsung Ibukotanya, Yogyakarta. Pemerintah Belanda ternyata sudah merancang dengan sangat matang agresi mereka kali ini. Semua perlengkapan dan mesin perang termodern yang ada dalam inventorinya dikerahkan. Dengan mengandal kan armada udaranya beserta pasukan lintas udara, langsung menghujam ke jantung pemerintahan RI.

Serangan berlangsung pada hari Minggu agar tidak terduga, karena Belanda yang Kristen biasanya ke Gereja. Pasukan mereka sejak dinihari lagi mulai bergerak menuju Jogja, saat semua orang masih terlelap dimalam dingin penghujung Bulan Desember yang biasanya selalu turun hujan. Dan dipagi buta itu juga, PM Kerajaan Belanda dan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. L.J.M. Bell mengumumkan secara sepihak pembatalan gencatan senjata dan perjanjian Renville. Pengumuman yang tentu saja hanya tatakrama, agar didengar di dunia internasional.

Pukul 05.45, 13 pesawat tempur Belanda membombardir Lapangan Terbang Maguwo, kemudian diikuti dengan Dakota yang menerjunkan pasukan Linud. Pertahanan Maguwo ternyata sangat lemah, tidak seperti yang digembar-gemborkan beberapa perwira MBT. Maguwo hanya dijaga oleh seratusan tentara dengan persenjataan minim. Mitraliyur 12.7 mm hanya sebuah. Ada 1 Kompi AD, tapi entah kenapa beberapa jam sebelum serangan justru ditarik keluar Jogja. 14 pesawat milik kita, antaranya 8 buah dalam hanggar, hancur terbakar. Ditambah sebuah pesawat Catalina AURI yang kembali dari Sumatera dan tidak mengira kalau Maguwo sudah dikuasai oleh musuh, ditembak jatuh. Setelah tidak sampai 1 jam Maguwo sudah dikuasai, berturut-turut tiba Dakota menerjunkan pasukan dalam jumlah besar. 15 Dakota Belanda mondar mandir Semarang-Maguwo menjemput dan menerjunkan pasukan dan peralatan. Sementara digerbang Jogja pasukan darat Belanda lengkap dengan lapis bajanya merangsek dengan cepat memasuki Kota Jogja.

Pukul 10.00 posisi-posisi vital di Jogja sudah menerima tekanan hebat dari Belanda baik darat maupun udara. Kekuatan Pasukan Pertahanan Kota sangat kecil dan tidak dapat berbuat banyak menghadapi serangan dadakan ini. Ini juga karena memang sudah adanya perintah menyingkir ke daerah gerilya yang langsung dilaksanakan pada jam itu juga.

Pasukan Belanda dengan Tijger Brigade nya dibawah pimpinan Kolonel Van Langen menyerbu Gedung Agung, tempat kediaman Presiden dan Wakil Presiden. Pucuk pimpinan RI, beberapa Menteri, KSAU kemudian menjadi tawanan dan diseret untuk menghadap Mayjen Meir, pimpinan Agresi Belanda untuk dipaksa menyerahkan kekuasaan. Karena Bung Karno menolak, dia beserta Hatta dan sejumlah menteri diasingkan ke Sumatera. Sejak ditangkap, maupun saat sudah ditempat pengasingan, beberapa kali Bung Karno dan Bung Hatto nyaris dihabisi.

Menjadi Komandan Sektor Barat, SWK 103 / SWK 103A


Pesawat-pesawat tempur Belanda sejak pagi menderu-deru dilangit Yogyakarta. Ada sekitara 20 pesawat yang terdiri dari Jager, Bomber, dan Fighter bergentayangan sambil terus menerus memuntahkan tembakannya. Mereka menembak setiap objek yang terlihat dan bergerak. Mobil, delman, gerobak, kereta api, sepeda, mobil, juga penduduk yang berlarian mengungsi tidak luput dari hantaman mereka. Mayat bergelimpangan, korban jatuh dimana-mana.

Saya melaju dengan sepeda ke arah Pingit, Markas Brigade XVI. Maksud saya, sebagai Komandan Depo Persenjataan/Perbekalan, mau mengajak staf Brigade yang saya tahu ada di markas : Piet Ngantung, Empie Kanter, Eddy Gagola, serta para perwira lainnya untuk mengatur kordinasi pasukan.

Dalam perjalanan menuju Pingit, saya beberapa kali berpapasan dengan pasukan darat Belanda yang sedang menyerbu masuk ke tengah kota Jogja. Tapi saya sempat menghindar, walau sempat ditembaki juga. Tapi karena saya sedang menuju utara Pingit, sedangkan Belanda masuk dari arah utara, maka makin sering saya berpapasan dengan mereka, bahkan sempat nyaris dalam posisi terkepung. Maka saya putuskan untuk berbelok ke arah kiri, menjauh ke arah barat, nanti kemudiannya cari jalan lagi kearah Pingit.

Ternyata di barat saya bertemu rombongan-rombongan pasukan yang mengungsi, termasuk rombongan Brigade XVI. Pertama saya bertemu dengan rombongan Kapten Frits Runtunuwu dan Jan Wowiling, saya langsung menggabungkan diri dengan mereka. Kemudian kami bertemu juga dengan rombongan pasukan pimpinan Gerard Lombogia. Dipinggiran barat Jogja terdapat Markas Batalyon salah satu pasukan kami, yaitu Yon Palar. Maka saya putuskan untuk berhenti saja disini, tidak mengungsi terlalu jauh. Rombongan Brigade XVI pun secara bertahap berhenti di markas Yon Palar, stelling mengantisipasi serangan musuh. Rombongan TNI mengungsi melewati daerah Yon Palar semakin banyak, mengalir dari dalam kota lengkap dengan keluarganya masing-masing. Stelling kami di daerah Yon Palar secara tidak langsung melindungi bagian belakang pengungsian pasukan-pasukan TNI yang mengalir dari dalam kota mengungsi kearah selatan, menghindari gempuran pasukan Belanda dari arah utara.

Untuk lebih mengamankan pengungsian pasukan yang tidak putus-putus, khususnya ribuan pasukan Siliwangi yang bergerak kearah barat daya, untuk kemudiannya kembali ke Jawa Barat sesuai dengan rencana induk gerilya, pasukan Brigade XVI setelah konsolidasi singkat kembali ke arah kota. Secara hit and run kami bertempur dengan ujung tombak pasukan Belanda yang mencoba mengejar rombongan-rombongan pasukan Siliwangi yang hendak melaksanakan long march. Begitulah, hingga sore kami terus menerus kucing-kucingan dengan tentara Belanda. Setelah kami pastikan rombongan Siliwangi sudah cukup jauh kearah barat daya, dan dengan perkiraan tidak ada lagi pasukan TNI yang mengungsi dari dalam kota, kami pun kembali stelling di tempat semula, daerah Yon Palar sebelah barat kota Jogja.

Sekitar pukul 16.00, saya melihat serombongan kecil perwira TNI datang dari arah barat daya. Dari jauh langsung terkesan, mereka lagi mengiringi seorang pimpinan tinggi TNI. Ternyata mereka rombongan dari MBKD (Markas Besar Komando Djawa), dipimpin Letkol Sukanda Bratamanggala. Ada Mayor Abdul Ghani juga, mereka sedang berkeliling melakukan konsolidasi. Letkol Sukanda Bratamanggala adalah Wakil Kepala Staf Teritorial, tapi sekarang ia satu-satunya perwira tertinggi Komando Djawa yang ada di ibukota. Para pejabat lainnya sedang mengikuti Panglima MBKD Kolonel AH. Nasution ke Jawa Timur sejak beberapa hari lalu. Saya dengan Pak Sukanda sudah saling kenal sebelumnya. Setelah saya jelaskan tentang kami, Brigade XVI, Letkol Sukanda lalu bertanya,

“Je, mau mengungsi kemana?”
“Tidak, kami disini saja,”
jawab saya.


Dia heran, sebab posisi kami sekarang sebenarnya belum terhitung pengungsian, masih terlalu dekat dalam jangkauan musuh yang sudah menguasai kota. Saya balas,

“Kan kita sekarang bergerilya.....”
“ohh..ya..ya! Betul”
kata Pak Sukanda. Ia tersenyum senang


Saya juga menjelaskan kalau wilayah ini memang tanggungjawabnya salah satu pasukan kami, Yon Palar.

“Baiklah kalau begitu. Mulai sekarang Mayor Sumual kami angkat menjadi komandan disektor ini. Sektor Barat!”
“Siappp!”


Kembali ternyata kami salah duga, ternyata masih ada lagi rombongan-rombongan pasukan TNI yang mengungsi melewati pasukan kami, terus mengalir sampai malam. Kamu mulai menyiapkan akomodasi untuk pasukan-pasukan. Mulai berusaha mengenali medan, buat tempat berlindung. Markas Komanda saya akan ditempatkan lebih ke barat, tepatnya didesa Jering, Godean. Tidak menunggu lama, sayapun sudah mempersiapkan pasukan untuk melakukan gangguan kedalam kota malamnya.

Sekitar jam 20.00 saat pasukan sedang mengaso dalam perjalanan masuk ke kota, dari arah selatan datang rombongan kecil, dikawal oleh beberapa anak buah saya. Ternyata rombongan Letkol Soeharto, Komandan Brigade X. Letkol Soeharto sedang berkeliling melakukan konsolidasi. Teritori Brigade X memang meliputi seluruh wilayah Kesultanan Yogyakarta, termasuk daerah Godean ini. Markas komandonya sekarang berpindah ke Segoroyoso, sebelah timur Kali Opak, sebelah tenggara kota Jogja. Jadi ia sudah jauh berkeliling melakukan konsolidasi.

Sebelum sampai ke markas saya, ia mampir dulu kerumah keluarganya di Rewulu. Katanya, semula ia mengira pasukan-pasukan kami adalah rombongan Siliwangi yang akan meneruskan perjalanan ke Jawa Barat. Saya dan Pak Harto memang sudah saling mengenal, kami kemudian larut dalam perbicaraan. Dia bercerita pengalamannya dalam kota saat serangan Belanda tiba tadi pagi, lalu mengungsi ke selatan, kemudian konsolidasi sejak siang tadi.

“Terus, Tje mau bergerilya kemana?”
tanya Letkol Soeharto.

“Disini. Kami disini saja.“
“Apa ndak terlalu dekat markas Belanda? Saya dengar mereka di Tugu.”
“Ah jauh. Ndak apa-apa,”
jawab saya.
“Baiklah. Sekarang saya angkat Mayor Sumual jadi Komandan Sektor Barat“


Jadi dalam beberapa jam saya saya sampai dua kali diangkat menjadi Komandan Sektor Barat. Mungkin karena saya tidak suka banyak bicara, saya tidak bilang ke Soeharto tentang pengangkatan saya oleh MBKD sebelumnya. Memang saya merasa tidak perlu mempermasalahkan masalah ini. Istilah “Pasukan Gerilya Sektor Barat” tersebut lantas dipakai terus, walaupun kemudian sudah ada nama SWK, Sub-Wehrkreise. Malam tanggal 19 Desember itu juga, kami di Sektor Barat melakukan serangan kedalam kota. Masih saya ingat pertempuran seru di Jl. Tanjung yang dilancarkan Pasukan Combat Brigade XVI pimpinan Letnan Sigar.

Penyerangan malam ini memang tidak direncanakan sebelumnya, namun diperjalanan bergabung pasukan Yon 151 yang dari sektor lain. Memang serangan kami ini hanya spontan saja, begitu juga Yon 151 yang spontan bergabung. Dalam kontak senjata di daerah Tugu, Komandan Yon 151 Kapten F. Hariadi gugur bersama sepuluhan anggotanya. Selanjutnya Yon 151 yang baru saja kehilangan pimpinannya meminta bergabung dengan kami untuk seterusnya.

Pasukan Sektor Barat kami hampir tiap malam melakukan penyusupan-penyusupan dan serangan kedalam kota. Inilah sebetulnya konsep prinsip gerilya, kami yang menentukan kapan dan dimana untuk bertempur, bukan pihak musuh. Begitu juga ketika tanggal 22 Desember Letkol Soeharto meminta bantuan saat ia memimpin pasukan masuk kedaerah Taman Sari dekat Kraton, saya kirim pasukan Combat Brigade XVI yang dipimpin langsung oleh komandannya, Kapten Kandou, biasa dipanggil Bos!.

Pengorganisasian baru berlangsung awal Januari 1949. Letkol Soeharto memimpin Wehrkreise III atau WK-III. Membawahi 6 Sub-Wehrkreise atau SWK :

SWK 101 di daerah Bantul Timur dengan Komandan Mayor Sekri Soenarto.
SWK 102 di daerah Bantul Barat dengan Komandan Mayor Sardjono.
SWK 103 di daerah Godean dengan Komandan Mayor Ventje HN. Sumual.
SWK 104 di daerah Sleman dengan Komandan Mayor Soekasno.
SWK 105 di daerah Gunung Kidul dengan Komandan Mayor Sardjono.
SWK 106 di daerah Kulon Progo dengan Komandan Letkol R. Soedarto.

Dalam perkembangan selanjutnya disesuaikan dengan pergeseran real di pasukan-pasukan, juga dengan pertimbangan-pertimbangan lain. Sejak pertengahan Januari, beberapa perubahan dilakukan.

1. SWK 101 untuk clandestine dalam kota Jogja, lebih sebagai mata-mata dan satuan penghubung gerilya. Komandan Letnan Marsudi.

2. SWK 102, Komandannya tetap Mayor Sardjono, tapi wilayahnya sudah mencakup hingga Bantul Timur yang sebelumnya masuk SWK lain.

3. SWK 103, bermarkas di Gamping dengan Komandan Letkol Suhud.

4. SWK 103A, didaerah Godean tetap saya pegang. Hanya nama berubah ditambah huruf A untuk membedakan dengan SWK 103. Terkesan kami hanya bagian dari SWK 103.

5. SWK 104, di daerah Sleman tetap dengan Komandan Soekasno.

6. SWK 105, di daerah Gunung Kidul tetap dengan Komandan Soejono.

7. SWK 106, di daerah Kulon Progo tetap dengan Komandan Soedarto.

Ada yang menjelaskan kepada saya, bahwa kami menjadi SWK 103A sedangkan 103 Untuk Suhud karena pangkatnya Letkol, sehingga jangan dimasukkan komando saya yang Mayor. Padahal Gamping adalah daerah teritori kami. Memang jabatan Letkol Suhud sebelumnya bahkan pararel dengan Letkol Soeharto. Soeharto adalah Komandan Brigade X yang berkedudukan di Yogyakarta, sedangkan Suhud justru adalah Komandan Sub-Teritorium Divisi III untuk wilayah Yogyakarta.

Saya sendiri sama sekali tidak memikirkan soal-soal begitu. Rupanya meski dalam suasana darurat, dalam gerilya ada saja orang yang tetap merasa penting akan formalitas jabatan seperti itu. Padahal, dalam suasana begini yang terpenting hanyalah soal besarnya kekuatan real, jumlah pasukan, senjata, dan berani apa nggaknya maju ke medan front. Bukan soal levelitas jabatan!

Pasukan saya SWK 103A adalah yang terbesar. Ada 4 Yon Mobile, yaitu Yon Lukas Palar, Yon Andi Mattalatta (Resimen Hasanuddin), Yon Palupessy (Dulu Divisi Pattimura), dan Yon 151 dengan pimpinan Hardjosoedirjo menggantikan pimpinan asal yang gugur. Semua sektor teritori gerilya kami penuh terisi dengan pasukan dan dibagi dalam 5 sektor. Sektor 1 dipimpin oleh Kapten Frits Runtunuwu, Sektor 2 Letnan Wim Sigar, Sektor 3 Mayor Palupessy, Sektor 4 dikomandani Widarto bersama Asmasmarmo, dan Sektor 5 oleh Letnan Goenarso. SWK-SWK lain hanya berkekuatan 1 Batalyon plus, bahkan SWK 105 dan 103 hanya berkekuatan 2 Kompi plus. Juga SWK 101 yang memang tidak perlu mengefektifkan pasukan besar sebab khusus untuk clandestine dalam kota. Komandan Yon 151 Kapten F. Hariadi yang gugur dalam pertempuran malam 19 Desember, dan sejak itu pula Yon 151 ikut dalam pasukan saya. Danyon kemudiannya dipegang oleh Letnan P.C. Hardjosoedirjo. Letkol Soeharto yang langsung datang ke markas saya melantiknya.

Sejak hari-hari pertama bergerilya, telah datang bergabung dengan kami di Sektor Barat sejumlah pasukan dari luar Brigade XVI. Ada 2 pasukan Mobile Brigade Kepolisian dipimpin oleh Ajatiman dan Soebroto. Lalu ada Kolonel Laut Darwis Djamin, Panglima ALRI Pangkalan Tegal bersama-sama anak buahnya juga mengungsi kesektor kami. Pasukan Marinirnya sebenarnya punya persenjataan yang bagus dan canggih, kami beruntung mereka bergabung disektor kami dan bahu membahu bergerilya. Ada pula Laskar Burhanuddin Harahap, yang bersama beberapa politisi berlindung di sektor kami, mengkonsolidasi Barisan Hizbullah. Banyak tokoh politik berlindung di daerah sektor saya termasuk Mr. Kasman Singodimedjo, Sukarni dari KNIP, juga apa Pandu Wiguna, Ir. Sakirman, Setiadi. Chairul Saleh juga sempat berlindung disektor saya, kemudian mengatakan akan ke daerah Jawa Barat, bergerilya disana. Banyak juga yang mendapatkan jodohnya disektor ini, dan saya membantu acara pernikahan mereka.

Masih dalam suasana Natal tanggal 26 Desember 1948, saya menerima Surat Perintah Operasi dari Letkol Soeharto agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk serangan umum tanggal 29 Desember 1948. Inilah serangan umum yang pertama. Pukul 7 malam kami mulai bergerak, hampir seluruh pasukan di Sektor Barat, baik regular Brigade XVI maupun yang berlindung di sektor ini saya kerahkan. Secara tersamar kami mendekati pinggiran kota, menuju sasaran masing-masing. Pasukan kami dibagi menjadi dua, sebagian melambung ke utara, masuk Jogja dari arah utara, sebagiannya pula langsung menyerbu dari barat.

Serangan dimulai tepat pukul 21.00. Tembakan bergema diseantero kota. Letusan senjata yang diselingi siulan mortir terdengar dahsyat dari seluruh penjuru kota. Tujuan utama operasi adalah untuk mengembalikan kepercayaan rakyat, disamping mengetes dan mengetahui kekuatan pasukan lawan. Cukup banyak prajurit yang gugur malam itu. Diantaranya asisten saya sendiri, Letnan Karel Pondaag. Ia ex-KNIL, gugur berjibaku dengan bren carrier Belanda. Pertempuran berlanjut hingga pukul 03.00 dinihari, kami mengundurkan diri. Walau kelelahan ditambah udara yang cukup dingin karena musim penghujan, saya menyiapkan serangan balasan selanjutnya. Beberapa prajurit diperintahkan mengurusi jenazah mereka yang gugur, termasuk jenazah Letnan Karel Pondaag yang sudah tidak utuh lagi.

Serangan balasan tanggal 31 Desember malam berlangsung singkat namu efektif, dengan titik-titik sasaran yang tegas, serangan dari Sektor Barat ini saya pimpin sendiri. Sejumlah komandan operasi andalan Brigade XVI pun turun lapangan. Diantaranya Kapten Willy Sumanti, Kapten Runtunuwu, Mayor Gustav Kamagie, Letnan Kailola. Begitu juga jagoan-jagoan tempur Tim Khusus Combat Brigade XVI seperti Letnan Kandou, Letnan Woimbon, Letnan Sigar, dan lain-lain.

Kembali dari bertempur, kami langsung ke daerah Jering, karena harus sibuk persiapan menyambut malam perpisahan tahun. Ini memang hari terakhir tahun 1948. Sejal awal masa gerilya 1945, orang-orang asal Minahasa dalam laskar KRIS tidak pernah alpa dengan tradisi perayaan dari kampung halamannya ini. Demikian seterusnya dari tahun ke tahun, sehingga prajurit dari daerah manapun dalam Brigade XVI ini sudah ikut turut mentradisiknnya. Dan sekarang, lebih banyak teman-teman baru yang berasal dari Sulawesi Utara dalam kesatuan gerilya Sektor Barat. Malam tahun baru kami rayakan dengan meriah, walaupun tentu secara sederhana. Rakyat disektor kami turut serta bergabung bersama-sama. Terasa suasana keakraban dan persaudaraan antara TNI, Pejuang dan Rakyat. Inilah nyawa dari peperangan gerilya sebenarnya.

Bersambung ...

Diposkan Erwin Parikesit (Kaskuser)

Jumat, 01 Februari 2013

Pengamanan Perairan Natuna

Sesuai instruksi Panglima TNI, Laksamana Agus Suhartono, TNI AL akan memperketat pengamanan di Laut Natuna. Pengamanan di perairan Natuna merupakan penguatan untuk mengatasi konflik yang semakin meningkat di Laut China Selatan. "Eskalasi di Laut China Selatan dan Laut Sulawesi meningkat," kata Kepala Staf TNI AL (Kasal), Laksamana Madya Marsetio, di sela-sela Rapat Pimpinan TNI AL di Mabes TNI AL Cilangkap, Jakarta, Kamis (31/1).

Untuk pengamanan di perairan Natuna, TNI AL bahkan meminta Armada RI Kawasan Barat mengalihkan pengawasan dari Selat Malaka ke Natuna. Natuna merupakan perairan yang sangat dekat dengan Laut China Selatan sehingga potensi konfliknya semakin besar.

Menurut Kasal, mengingat sangat pentingnya pengamanan di perbatasan Laut China Selatan, Rapim TNI AL menghadirkan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri, Linggawati Hakim. "Beliau banyak berbicara tentang diplomasi perbatasan," ujar dia.

TNI AL juga mengundang Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Triyono Budi Sasongko. Triyono banyak berbicara mengenai pengelolaan wilayah perbatasan. Marsetio mengatakan kehadiran perwakilan dari perwakilan Kemlu dan BNPP itu sangat diperlukan untuk menyatukan pengetahuan para perwira mengenai perkembangan di perbatasan, khususnya di Laut China Selatan dan Blok Ambalat.

Sebelumnya, Panglima TNI, Laksamana Agus Suhartono, menyatakan semenjak China mengklaim sembilan titik daerah penangkapan ikan tradisional di sekitar Laut China Selatan, TNI bersiaga. "Kita perlu hati-hati menyikapi klaim tersebut. Jangan sampai berubah menjadi klaim wilayah," jelas Agus.

Indonesia sebenarnya sudah melayangkan nota protes ke Pemerintah China soal klaim tersebut, namun belum ada tanggapan. Akan tetapi, Agus menyatakan, hingga kini, patroli TNI di kawasan itu belum menemukan kembali kapal China yang menangkap ikan di perairan Natuna. Meski begitu, pemerintah tetap berkomitmen membangun sistem pertahanan di Laut Natuna.

"Kita akan memperkuat TNI AL, TNI AD, dan TNI AU di sana," ujar dia. Di sisi ekonomi, pemerintah juga membangun fasilitas perikanan di sana bekerja sama dengan negara ASEAN lain.


Koran Jakarta

NRC Tergantung Kemhan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfKwc4oM22q5h1GR4h23Ok0r9e3KmJDKmN3Pwoynsip3fhCzZIoRSB_pGI09K6rFThg-w2OJ6KLv2-k9s0Y7tHql3AmOkapFYvtOKdLYEj9xHM-JiYprE3kZIJUhyphenhyphenUvx6Wd7NHr3xcvh8v/s1600/nakhoda_ragam_class.jpgJakarta | Sejumlah kapal perang baru yang fokus pada pengawasan laut perbatasan dan pemekaran organisasi menjadi pembahasan dalam rapat pimpinan TNI Angkatan Laut di Jakarta, Kamis-Jumat (31/1-1/2).

Kepala Staf TNI AL Laksamana (TNI) Marsetio dalam jumpa pers di Markas Besar TNI AL, Cilangkap, menjelaskan, sejumlah kapal baru akan melengkapi TNI AL hingga 2014. “Kapal selam akan beroperasi lima unit. Sebanyak tiga unit baru dibuat dengan kerja sama Korea Selatan. Pembuatan kapal ketiga dibangun sepenuhnya di PT PAL Surabaya,” kata Marsetio.

Untuk kapal perusak kawal rudal (PKR) dari Damen Schelde Belanda, lanjutnya, memasuki kontrak pembelian unit kedua.

“Pada pembelian kedua akan dilengkapi peluncur torpedo, ruang kendali tempur, dan cupola senjata permukaan yang sebelumnya tidak diberikan dalam pembelian kontrak pertama. Pembangunan PKR juga melibatkan PT PAL Surabaya,” ujar Marsetio.

Pada Desember 2012, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Marsekal Madya (TNI) Eris Heryanto mengatakan, sebanyak 250 teknisi PT PAL dikirim ke Belanda untuk ikut dalam pembangunan kapal PKR.

Rencana pembelian tiga light frigate eks kapal kelas Nakhoda Ragam Angkatan Laut Brunei dinilai tidak bermasalah. Menurut Marsetio, perlengkapan yang dinilai kurang akan dilengkapi BAe Inggris dan sekarang keputusan ada di tangan Kementerian Pertahanan.

Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Aljazair batal membeli light frigate itu karena ada kendala teknis, seperti sudah tutupnya perusahaan yang menjadi penyedia sarana kendali tempur.

Namun, Poengky Indarti dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Pembelian Senjata TNI mengkritisi rencana pembelian kapal PKR kedua dari Belanda. “Beli kapal rudal kok tanpa rudal. Pembelian senilai 220 juta dollar AS itu tidak dilengkapi senjata utama, yakni peluru kendali. Kita masih harus membayar 75 juta dollar AS untuk melengkapi rudal bagi kapal tersebut,” kata Poengky. (MIK)

Kompas

Polemik Pesawat Tempur KFX

Seoul | Menurut anggota Majelis Komite Pertahanan Nasional, tahun ini atau tahun depan, akan melakukan klarifikasi kontroversi pengembangan KFX yang memakan lebih dari 10 tahun.

Seperti yang telah dilontarkan oleh sebuah lembaga penelitian nasional, dimana lembaga tersebut mengkritik Majelis Komite Pertahanan Nasional dalam sebuah diskusi forum ke 28 yang bertajuk “Bagaimana KFX Bisa Mengejar?” di Gedung Badan Pembangunan Pertahanan (ADD).

Tapi berbeda dengan Korea Institute Defense Analysis (KIDA) yang mengatakan dalam pengembangan alutsista merupakan hal yang wajar mempromosikan produk dalam negeri, membeli dari negara lain, atau memodifikasi alutsista tersebut untuk melakukan pengembangan lebih lanjut.

Proyek pengembangan pesawat tempur KFX akan diproduksi pada tahun 2020 untuk menggantikan pesawat tempur F-4 dan F-5 yang akan pensiun dari armada Angkatan Udara Korsel (ROKAF). Proyek KFX sendiri telah diumumkan sejak tahun 2001 lalu, dan akan melakukan studi kelayakan program KFX pada tahun ini.

Menurut manager Pengembangan Sistem Penerbangan ADD, “Untuk pengembangan pesawat tempur KFX tersebut memiliki keunggulan karena harga dan biaya opersionalnya murah dan efisien. Selain itu KFX juga memiliki kemampuan teknologi terkini, seperti radar AESA (Active Electronically Scanned Array) dan teknologi yang mengandung konten lokal sebesar 87 persen.”

Dia juga memperkirakan biaya produksi massal pesawat tempur KFX sekitar ₩ 8,6 sampai 9 triliun dengan dana estimasi awal menelan biaya ₩ 23 triliun. Bila produksi massal tersebut mencapai 208 – 676 unit, maka diprediksikan harga satuan pesawat tempur KFX sekitar US$ 60-90 juta dollar AS per unitnya.

Selain itu menurut seorang pejabat ROKAF mengatakan dengan masuknya pesawat tempur KFX dalam jajaran armada ROKAF, akan memberikan keuntungan yaitu kemudahan dalam dukungan logistik yang cepat dan mudah yang merupakan salah satu tujuan dalam pengembangan KFX.

Dan saat ditanya “Apakah kemampuan pesawat tempur KFX lebih tinggi dari produk impor yang sejenis?, pejabat ROKAF tersebut masih enggan berbicara banyak mengenai hal tersebut.

Menurut Dr. Lee Ju Hyung selaku anggota KIDA mengatakan dengan dana pengembangan yang menelan biaya lebih dari ₩ 10 trilun jauh lebih ekonomis daripada harus mengimpor alutsista dari luar negeri.

Hal ini bertentangan dengan pihak Lockheed Martin dan Boeing yang pesimis dengan pengembangan KFX karena memiliki resiko yang sangat tinggi dan Korsel sendiri belum memiliki pengalaman dalam pengembangan pesawat tempur.(MIK)

Hankooki

☆ Memoar Ventje H.N Sumual (1)

Artikel ini dikutip teknis militer berserta sejarahnya dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual. Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009.

Integrasi KRIS dalam TRI

Sudah menjadi keputusan KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) untuk memperjuangkan laskarnya berintegrasi ke dalam TRI. TRI, Tentera Republik Indonesia, nama resmi tentara regular RI sejak lahir Januari 1946. Menggantikan nama TKR yang baru digunakan beberapa bulan sebelumnya, sejak Oktober 1945. Proses integrasi ini buka sekadar urusan adimistrasi. Ini perlu perjuangan. Kami harus berupaya membereskan internal Laskar KRIS, menata organisasi, menertibkan pasukan, tegas dan keras menegakkan disiplin militer. Disamping itu ada upaya-upaya khusus pendekatan ke Markas Besar TRI dan Kementerian Pertahanan. Di Kementerian Pertahanan ada Biro Perjuangan, bagian inilah yang menangani urusan-urusan kelaskaran. Pucuk pimpinan KRIS dan Laskar KRIS menyerahkan tanggungjawab untuk urusan integrasi ini kepada saya, Ventje H.N Sumual.

Sebagai Kepala Staf KRIS ada Henk Lumanuw. Saya seperti biasanya, selalu bersama Empie Kanter. Adakalanya kami pergi bersama-sama dengan Henk. Namun sering juga saya dan Henk pergi sendiri-sendiri, tergantung keperluan, tak jarang pula Empie yang saya minta pergi bersama Henk. Pada prinsipnya Laskar KRIS tidak ada masalah dalam integrasi ini. Beda dengan umunya satuan laskar lain, kami tidak berada dalam partai politik tertentu, sehingga tidak ada ganjalan apa-apa kalau berhadapan dengan pejabat pemerintahan yang kebetulan adalah orang daripada partai yang berseberangan.

Bagaimanapun, faktor terpenting yang membuat sulit bagi pemerintah untuk menghalangi integrasi Laskar KRIS kedalam TRI adalah prestasi Laskar KRIS sendiri yang sedemikian menonjolnya. Pasukan-pasukan KRIS di Bandung dan sekitarnya, ketika bersama beberapa kelompok laskar lainnya berintegrasi dalam TRI, sampai berani minta diresmikan dengan nama “Pelopor” untuk menyatakan kepeloporan mereka dalam perjuangan membela tanah air, dan pimpinan TRI mengakui itu. Panglima Divisi III Kolonel AH.Nasution meresmikan Kesatuan Pelopor Divisi III. Mereka terdiri dari 5 Detasemen. Pasukan dan Laskar KRIS Bandung ini kemudian menjadi Detasemen Stoottroepen Garuda, salah satu andalan Divisi Siliwangi.

Bagi pemerintah dan pimpinan TRI sendiri, integrasi dengan semua badan kelaskaran semakin menjadi kebutuhan untuk menghadapi musuh. Tapi integrasi dilangsungkan sebagai proses reorganisasi, restrukturisasi dan rasionalisasi. Rasionalisasi inilah yang konsekuannya berupa pengurangan jumlah pasukan. Banyak yang dinilai tidak layak untuk menjadi tentara resmi. Banyak satuan dan laskar yang ditolak integrasi secara antero, namun hanya diterima secara individual atau dalam satuan-satuan kecil terpilih saja, atau juga dilebur dalam kesatuan resmi yang sudah ada. Salah satu ukuran terbilang jelas mengenai faktor persenjataan. Jumlah senjata dalam pasukan harus 1 berbanding 1 dengan jumlah anggota. Dalam hal ini pimpinan TRI sudah cukup obyektif, tidak benar kalau dituduh pilih kasih. Pasukan Siliwangi saja diciutkan menjadi setengahnya.

Brigade XII Divisi 17 Agustus

Laskar KRIS diintegrasikan kedala TRI secara menyeluruh, sebagai kesatuan, dan menjadi salah satu brigade dalam TRI. Beberapa hal segera disesuaikan. Pucuk pimpinan adalah Komandan. Tidak boleh sesuka hati meyebut Panglima lagi. Walau sehari-harinya masih sering Langkai, dan kemudian Rapar, dipanggil Panglima. Jumlah pasukan dalam tiap-tiap satuan disesuaikan dengan aturan yang berlaku. Sebelumnya batalyon maupun kompi jumlahnya tak teratur, karena hanya tergantung pada faktor kesamaan suku maupun sub-etnis.

Penyesuaian lain adalah soal kepangkatan, saya ingat antara lain Empie Kanter. Karena sering berhubungan dengan pimpinan di MBT (Markas Besar Tentara), terutama Mayjen Djokosujono yang kemudian pegang staf teritorial, Empie dan Henk Lumanuw lebih cepat naik pangkatnya. Saya masih Kapten, Empie sudah Mayor dalam Laskar KRIS. Tapi, setelah restrukturisasi Empie diturunkan lagi menjadi Kapten dalam Brigade XII. Mayjen Djokosujono kemudiannya terlibat dalam Pemberontakan PKI Madiun, padahal dia sangat baik dengan kami.

Struktur pimpinan inti Brigade XII tak berubah dari Laskar KRIS. Komandan Kolonel Evert Langkai, Wakil Komandan Letkol Jan Rapar, Kepala Staf Mayor Henk Lumanuw. Saya sendiri, Staf Intelijen dan Operasi. Walau sudah menjadi TRI, umumnya orang tetap merasa ini pasukan KRIS. Itulah mengapa sering disebut Brigade XII KRIS.

Dengan status dan posisi sebagai tentara reguler, kami semakin gigih berjuang. Brigade XII tetap sebagai pasukan yang banyak mencatat prestasi di banyak front. Banyak pasukan lain yang mau bergabung dengan kami. Melihat kenyataan ini, MBT lantas mempercayakan Brigade XII untuk menghimpun pasukan-pasukan lain. Dengan kriteria yang sudah ditentukan untuk menjadi satu Divisi. Tugas inipun kami lakukan. Sejumlah pasukan sudah menyatakan diri untuk bergabung dalam Brigade XII. Diantaranya, Laskar Hizbullah/Fisabilillah, BPRI dibawah pimpinan Bung Tomo, Barisan Banteng, resiman Pattimura, Resimen Ngurah Rai, Resimen Hasanuddin, juga pasukan-pasukan Kalimantan. Masing-masing terdiri dari banyak personil, bahkan ada yang sangat besar, misalnya Hizbullah yang personilnya mencapai dua ribuan.

Divisi kami ini mendapat kehormatan dengan nama Divisi 17 Agustus. Panglimanya Kolonel Evert Langkai. Segera diresmikan pada HUT II RI 17 Agustus 1947. Tetapi menjelang akhir Juli 1947 terjadi Agresi Militer Belanda. Semua rencana pembentukan Divisi baru pun buyar, kendati pasukan-pasukan yang akan diresmikan sudah gladi parade. Malah, bukan saja divisi baru yang dibatalkan, keseluruhan pasukan-pasukan TRI harus direorganisasi, disesuaikan dengan kondisi yang ada. Meskipun Divisi 17 Agustus batal berdiri, namun sejak inilah Brigade XII mendapat kepercayaan, baik pemerintah maupun pasukan-pasukan yang bergabung untuk menjadi penggalang semua pasukan yang orang-orangnya berasal dari luar Jawa dan Sumatera, untuk kemudiannya disiapkan sebagai rintisan TNI bagi daerah masing-masing. Rintisan ini terkenal dengan nama Pasukan Seberang.

Agustus 1947 kami bukan saja mengalami batalnya rencana Divisi 17 Agustus, tapi malah kehilangan panglimanya. Kolonel Evert Langkai tiba-tiba mengundurkan diri. Suatu hari di akhir Agustus itu, mendadak ada perintaah dari Kolonel Evert Langkai untuk upacara. Semua bingung, bertanya-tanya, upacara apa? Hari itu tidak ada perayaan atau peringatan apapun. Juga tidak ada acara yang berhubungan dengan pemerintah maupun MBT. Kalaupun ada, sayalah yang seharusnya lebih tahu dulu.

Upacara militer digelar di halaman Markas Brigade XII. Ditengah-tengah upacara, tiba-tiba maju seorang Bintara membawa nampan, yang biasa dalam kenaikan pangkat atau penyematan tanda jasa. Ini rupanya sudah diatur sebelumnya oleh Kolonel Evert Langkai. Namun kali ini bukan untuk kenaikan pangkat atau penyematan tanda jasa. Ternyata Komandan Brigade XII Kolonel Evert Langkai mencopot-copot dari seragamnya sendiri semua lencana, tanda komando, bahkan pangkatnya, dan langsung ditaruh di nampan itu. Setelah bicara sedikit, lalu pergi begitu saja. Upacara jadi terlantar, karena dialah inspektur upacaranya.

Wadan Brigade XII Letkol Jan Rapar langsung mengambil alih pimpinan upacara. Dan sejak itupun berfungsi sebagai Komandan Brigade XII. Umunya kami menduga persaingan dengan Rapar lah yang menjadi penyebab Langkai “merajuk” dan mengundurkan diri itu. Mereka sering bertentangan, ada juga yang bilang mungkin Langkai kecewa divisi batal dibentuk.

Brigade Seberang

Bulan-bulan akhir 1948 TNI di Jawa direorganisasi lagi. Disesuaikan dengan kondisi yang ada, dan kebutuhan yang dihadapi. Salah satu kebutuhan utamanya adalah bersiap-siap menghadapi agresi besar-besaran Belanda. Sudah sangat jelas mereka ingin merebut langsung jantung RI, Yogyakarta sebagai upaya merampungkan pelenyapan RI. Akhir Oktober rencana reorganisasi telah selesai. Ada 4 Divisi Teritorial. Divisi I, Divisi II, Divisi III dan Divisi IV. Divisi-divisi ini tidak sama dengan 3 divisi yang ada sebelumnya. Dalam reorganisasi sekarang, semua pasukan masuk dalam brigade-brigade. Disiapkan 17 Brigade. Kami KRU-X menjadi Brigade XVI. Empat Divisi baru itu membawahi 15 Brigade. Sedang 2 Brigade lainnya, Brigade XVI dan Brigade XVII langsung dibawah Panglima Komando Teritorium Djawa, Kolonel AH. Nasution. Komandan Brigade XVI Letkol AG. Lembong, Wadan Letkol Joop. F Warouw. Kemudian terjadi perubahan setelah Letkol AG. Lembong disiapkan untuk menjadi Atase Militer di Filipina. Struktur organisasi yang baru adalah sebagai berikut, :

Komandan : Letkol Joop. F Warouw
Wakil Komandan : Letkol Kahar Muzakkar
Kepala Staf : Mayor I Gusti Mataram
Wakil Kepala Staf : Mayor M. Saleh Lahade
Komandan Yon A : Mayor Andi Mattalatta
Komandan Yon B : Mayor HV. Worang
Komandan Yon C : Mayor Pudu Mas’ud
Komandan Yon D : Mayor Palupessy
Komandan Yon E : Mayor Lukas Palar
Komandan Depo Batalyon : Mayor Ventje HN. Sumual

Dalam struktur organisasi inilah terjadinya Agresi Militer Belanda II Desember 1948. Sesuai kebutuhan strategi perang gerilya, diadakan lagi reorganisasi sejumlah kesatuan TNI. Sesuai kebutuhan strategi, Joop Warouw sudah berangkat ke Jawa Timur dan bermarkas di Gunung Kawi. Di Yogyakarta saya diangkat menjadi Komandan Sektor Barat, membawahi sebagian besar pasukan Brigade Seberang, ditambah sangat banyak pasukan-pasukan lainnya.

Peristiwa Kahar Muzakkar dan Jan Rapar

Pasa masa-masa awal laskar baru bertransisi menjadi tentara reguler macam-macam ekses sempat terjadi. Dalam kesatuan kami biasanya saya yang menangani, meskipun saya bukan komandan maupun kepala staf. Ada beberapa masalah interen yang timbul. Terbilang serius yang saya sampai tidak akan lupa sampai sekarang, antara lain adalah peristiwa Letkol Kahar Muzakkar, Letkol Rapar, dan terbunuhnya Mayor Soekardi. Beliau dirampok dan dibunuh. Soekardi adalah ipar Letkol Soeharto, Komandan Brigade X yang meliputi Yogyakarta hingga Kedu. Soekardi pun adalah kakak daripada Mayor Soedarman, Komandan Pasukan Zeni TP. Mayor Soekardi sendiri adalah Kepala Bagian Keuangan di Resimen.

Waktu itu saya menjabat sebagai Komandan Gerilya Sektor Barat. Pelaku pembunuhan adalah anggota pasukan Brigade Seberang, Sersan Mahmud dan teman-temannya dari Pasukan 1001, yang terdiri dari orang-orang asal Kalimantan. Saya langsung tangkap. Pemeriksaan juga juga dilakukan terhadap Kapten Frits Runtunuwu dan Kapten Felix Tuyuh, karena Frits adalah komandan sektor 1 dan Felix wakilnya, sementara pelaku berasal dari wilayah sektornya. Tapi mereka semua mengemukakan alasan-alasan yang logis, bahwa Soekardi memang bersalah, dan bahwa tindakan mereka adalah benar dalam situasi perang. Akhirnya saya putuskan : menyarankan para pelaku dipecat secara resmi, tapi saya minta mereka pergi menyusup ke daerahnya di Kalimantan untuk meneruskan perjuangan pro-RI di daerahnya masing-masing. Jalan, cara bagaimana, transportasi, dana, cari sendiri.

Dengan berat hati mereka meninggalkan kesatuan, meningalkan tanah Jawa. Tapi masih lebih baik daripada kena hukuman militer. Lagi pula, saya pikir kami tidak mempunyai penjara yang aman dalam situasi perang gerilya seperti sekarang ini. Adalah bukan sesuatu yang sulit misalnya terjadi balas dendam dan kemungkinan penyusup menghabisi mereka di penjara. Begitu juga halnya terhadap Felix dan Frits. Dua perwira andalan Kawanua sejak KRIS ini saya perintahkan untuk cepat berinflintrasi ke Sulawesi. Tapi mereka tidak dipecat, terbukti di pedalaman Minahasa mereka aktif memimpin gerilya pro-RI. Saya putuskan untuk mengambil alih tanggungjawab masalah ini. Saya bersama Maulwi Saelan pergi mengurus penyelesaiannya dan menjelaskan semua duduk perkaranya.

Waktu menghadap Letkol Soeharto, Letnan Wim Sigar saya ajak serta. Setelah penjelasan Soeharto tidak langsung menanggapi. Kami diam dan menunggu jawaban dari Komandan Brigade X ini. Tapi dia tetap diam, lama sekali. Berpikir keras sambil berjalan mondar mandir disekitar kami. Kami duduk diam, tegang, Maulwi Sealan sudah membatu dari tadi. Tiba-tiba Letnan Wim berbisik,

“Bekeng mati jo.....Soeharto kita bereskan.....”

Wahhh...saya marah sekali! Tanpa suara saya pelototin Wim. Yang begini inilah sering menjadi masalah dalam pasukan ex-laskar, ekses-ekses seperti Sersan Mahmud yang sudah mengakibatkan masalah ini. Letnan Wim rupanya masih terbawa-bawa dengan sifat jelek kelaskaran yang sering bertindak sembrono dan sembarangan, hanya mengandalkan fisik, apalagi dia sekarang menjadi pimpinan pasukan combat yang terlatih, bukan laskar lagi!. Wim lupa kalau ini adalah proses hukum yang sedang saya selesaikan dengan cara baik-baik. Wim langsung diam menunduk.

Akhirnya saya lihat, Letkol Soeharto mulai mengangguk-angguk perlahan. Ia bilang,

“Ya sudah Je...selesai disini saja ya......”

Letkol Kahar Muzakkar kecewa ketika Resimen Hasanuddin, badan kelaskaran yang dibangunnya saat itu dilebur ke dalam KRU-X dan hanya menjadi 1 Batalyon. Dia mengingatkan pada kesepakatan awal berdirinya KRIS, bahwa kepemimpinan harus berasakan keseimbangan antara Sulawesi Utara dan Selatan. Kahar pura-pura tidak mau tahu bahwa kepemimpinan dalam Brigade diputuskan oleh pimpinan di MBT dan Pemerintah. Kami dari pasukan hanya mengusulkan. Lagipula kami sebenarnya sudah menyiapkan draf pengusulan yang didalamnya termasuk Letkol Kahar Muzakkar sebagai Wakil Komandan dan Mayor M. Saleh Lahade sebagai Kepala Staf.

Begitulah, Kahar sudah terlanjur panas hati, dia juga sudah terlanjur memanas-manaskan sejumlah pimpinan pasukan Resimen Hasanuddin. Suatu hari, saat kami sudah menjadi Brigade XVI, Kahar memimpin pasukan yang telah dihasutnya menduduki markas Brigade XVI di Saidan, Jogja. Semua staf dan pasukan yang ada di markas dilucuti. Sejumlah senjata juga mereka ambil, dibawa ke Klaten. Kolonel Lembong lagi tidak ada. Letkol Joop F. Warouw sebagai pemegang komando tidak bisa apa-apa, dia hanya melaporkan ke Markas Besar Komando Djawa. Kolonel AH. Nasution sendiri bingung, harus bertindak...tapi bagaimana caranya...? Saya lantas bilang kepada Warouw,

“Biar jo...kita urus!”

Tanpa membuang waktu, saya langsung berangkat ke Klaten, Markas Pasukan Kahar. Turut serta bersama saya 2 Kompi dari Yon Palar. Satu dipimpin Gerard Lombogia, dan satunya oleh Lucas Palar sendiri. Arahan strategi baru saya infokan diperjalanan. Saya bilang, jangan harap untuk dapat berunding dengan Kahar. Saya teman lama dia, kenal sekali wataknya, keras seperti batu!. Begitu sampai di markas Kahar di Klaten, posisi tempur langsung digelar. Resiman Hasanuddin dan 2 Kompi Yon Palar, 2 pasukan sepulau dan begitu akrabnya waktu di KRIS saling berhadap-hadapan. Saya langsung memberi ultimatum ke Kahar.

Perhitungan saya tidak meleset, pertempuran sengit sesama saudara pecah di siang bolong. Pasukan Kahar menyambut kami dengan tembakan gencar, mereka stelling disektar markasnya.

Tembakan gencar berlangsung, saling balas-balasan berlangsung sekitar 2 jam. Tiba-tiba terdengar teriakan dari markas Kahar meminta cease fire. Rupanya 1 perwira andalan Resimen Hasanuddin tertembak, gugur ditempat, saya lupa namanya. Saya lantas memenuhi tuntutan Kahar. Saya juga berfikir, untuk apa juga harus saling menghabisi, toh mereka kan teman sendiri, sepulau, saudara, bukan musuh. Pelor-pelor yang sangat berharga ini sayang sekali kalau harus buat menumpahkan darah sesama bangsa sendiri. Dari Resimen Hasanuddin gugur 4 orang, luka-luka 12 orang. Dari Yon Palar gugur 2 orang, luka-luka 8 orang. Salah satunya yang gugur saya masih ingat namanya, Bert Polii asal Airmadidi.

Perundingan akhirnya digelar di Markas CPM. Komandan CPM Kapten Soenarso yang memimpin. Waktu itu, saya sampai di Markas CPM, Soenarso dan Kahar sudah ada. Begitu melihat saya, Soenarso langsung bilang sambil menunjuk ke Kahar,

“Hij is uw gevangene.... Ini dia tawanan anda !”

Sejenak saya bingung juga. Tanpa perundingan, Kahar sudah menyerah? Ya sudah, langsung Kahar saya ambil, saya juga membawa Palar dan Lambogia untuk mengurus pengembalian senjata yang dirampas dari Markas Brigade. Tiba di Jogja, Kahar saya serahkan ke CPM, ditahan oleh Mayor Sudirgo. Namun atas berbagai macam pertimbangan, Letkol Joop F. Worouw melepaskannya.

Waktu dalam perjalanan membawa Kahar dari Kalten, sepanjang perjalanan dalam pikiran saya masih bertanya-tanya. Mengapa Kahar yang terkenal sangat kepala batu dan keras hati begitu mudah menyerah, tanpa syarat pula? Apakah dia benar-benar sudah insaf atas perbuatannya, dan ingin menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak? Ataukah karena CPM sudah menyiagakan pasukan besar dari Siliwangi yang berada di Klaten untuk meringkus Kahar jika tetap membangkang?

Saya sering berfikir tentang Kahar, bahkan sampai sekarang. Ia teman seperjuangan yang baik, cerdas dan luar biasa beraninya. Dulu kami sama-sama sebagai perintis penggabungan APIS dan GAPEIS dalam KRIS. Melalui wadah KRIS, kami sama-sama banyak mencatat sukses besar, sehingga kami disegani baik kawan maupun lawan. Ia sangat disegani dilingkungan MBD, MBT dan pemerintahan. Bahkan Kolonel AH. Nasution, Gatot Subroto sangat segan padanya. Memang ia luar biasa beraninya, bahkan cenderung nekad, sayang sifatnya yang kepala batu dan cepat panas. Ia sudah berpangkat Letkol waktu kejadian, sedangkan saya masih Kapten. Walau sudah Letkol, Kahar Cuma mengurusi kesibukannya “keatas” dan kurang diimbangi dengan membina prestasi pasukan-pasukan yang menjadi tanggungjawabnya. Makanya, meski ia memegang mandat berupa Surat Perintah Panglima Besar Sudirman untuk memimpin kesatuan yang kelak akan menjadi TRIP Sulawesi, ketika KRU-X Brigade Seberang terbentuk yang salah satu mandatnya sama dengan mandat Pangsar, ternyata oleh Nasution, Kahar tidak termasuk dalam hitungan, apalagi memegang komando pasukan.

Begitu juga setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Kahar mendapat mandat langsung dari Pangsar Sudirman dan Kolonel Bambang Soepeno agar ia beserta Komando Grup Seberang akan memimpin APRIS di Indonesi Timur. Namun ternyata APRIS telah lebih dulu berdiri, dan pasukan-pasukan harus melalui proses perjuangan yang berat, tanpa Kahar. Kekecewaan inilah yang kemudiannya menjadi latar belakang pemberontakannya kelak, yang berakhir dengan kematian tragis patriot besar ini. Sungguh tragis nasibnya, mungkin saja seandainya dia tidak ikut campur dalam hal-hal politik, dan sedikit bisa sabaran dan tidak keras kepala, mungkin nasibnya tidak berakhir tragis begini. Apapun, sejarah bangsa tetap mengenangnya sebagai salah satu patriot besar, jasa-jasanya besar dalam perjuangan kemerdekaan.

Kisah Jan Rapar lain lagi. Tapi sama-sama tragisnya. Dia adalah komandan kami sejak KRIS, bahkan dari sebelumnya. Komandan kami ini ternyata mengalami ketidak seimbangan emosional saat berada dalam sistem militer reguler. Terlebih ketika kemudiannya, sebagai mantan Panglima KRIS, ia sekarang aktif sebagai bawahan dari bekas orang yang pernah menjadi bawahannya. Rapar semaki sering berulah, baik ketika komandan dijabat Lembong, maupun Joop Worouw. Tapi, selama tidak sampai mengganggu policy kesatuan, kami berusaha memakluminya, sebagai seorang senior dan seorang pemberani yang juga berjasa besar.

Sekali waktu, Rapar sudah bertindak keterlaluan. Waktu itu yang menjadi Komandan sudah saya, juga merangkap sebagai Komandan Pasukan Gerilya Sektor Barat. Suatu hari, kami sedang menuju ke kota Jogja untuk menyerang beberapa pos-pos tentara Belanda, tiba-tiba Jan Rapar bilang tidak mau terus. Ini jelas-jelas pelanggaran berat disiplin militer, meninggalkan tugas dalam perang!. Tapi saya izinkan saja, berusaha memakluminya. Begitu juga, sering dalam gerilya apabila pasukan terpaksa menyeberangi sebuah sungai misalnya, ia selalu memerintahkan sampai 4 orang prajurit untuk membopong tubuhnya yang besar menyeberangi sungai, hanya karena tidak mau kena air, basah-basahan!.

Waktu itu kami baru saja kembali dari bertempur, mendekati markas gerilya kami di Godean, seorang staf berlari-lari menyampaikan laporan : Letkol Jan Rapar sudah melucuti semua pasukan yang berada di Markas!. Tindakan Rapar yang keterlaluan ini tidak mungkin lagi saya tolelir, langsung saya cari dia. Saya menemukannya sedang bersantai dibawah pohon. Ternyata ia kaget juga tiba-tiba saya muncul dihadapannya dan langsung membentaknya. Mungkin tidak pernah dia bayangkan, saya sebagai junior sanggup membentaknya yang lebih senior. Ia lantas berjanji akan mengembalikan semua senjata yang telah dirampasnya.

Kemudian saya tahu, tindakannya itu terutama bukanlah maksud “kudeta”. Ia rupanya membutuhkan senjata dalam jumlah tertentu untuk pasukan kecilnya yang rencananya akan dibawanya menyusup ke Jakarta. Jan Rapar ternyata merencanakan perang gerilya didalam kota, terutama Jakarta karena ia memang mengenal sekali seluk beluknya. Waktu Rapar dan beberapa teman Kawanua lainnya meninggalkan kami, kami sangat terharu. Banyak tingkah lakunya membuat menitikkan airmata. Sedih berpisah dengan pemimpin yang khas, pemberani dan berkarakter ini. Jan Rapar menasehati kami semua,

“Kita pesan pa ngoni-ngoni semua...jaga torang pe keluarga Minahasa di Jogja !”

Itu memang seakan menjadi etos bagi kami semua, sejak KRIS masih berdiri. Saya memberinya sejumlah senjata yang ia minta, juga bekal buat mereka di perjalanan.

Sebagai gerilyawan Rapar tahu apa yang harus ia lakukan dalam perjalanan dari Jogja ke Jakarta. Jalan-jalan telah mereka pilih untuk dilalui dan aman. Memasuki wilayah Jawa Barat, dimana wilayah-wilayah pedalaman ternyata dikuasai oleh DI/TII. Rapar kemudian memilih bergerilya dari kota ke kota dalam perjalanan ke Jakarta yang dikuasai Belanda. Beberapa kali ia pura-pura menyerahkan diri, kemudian melarikan diri setelah membawa sejumlah senjata dan perbekalan. Pasukan Belanda benar-benar kesal dibuatnya. Mereka akhirnya bisa selamat semua berkumpul di Jakarta setelah pengakuan kedaulatan RI pada akhir 1949. Tidak ada yang gugur maupun terluka.

Tapi menyusul peristiwa APRA di Bandung akhir Januari 1950, TNI mencurigai Rapar dan pasukannya sebagai pro Belanda. Apalagi ketika ditempat mereka kemudiannya ditemukan persenjataan yang demikian banyaknya. Namun sebagaimana berita beberapa teman kemudian yang memberi kesaksian, Rapar dan pasukannya memang sengaja masuk APRA dengan target untuk mengeksekusi Westerling dari jarak dekat. Rapar memang suka aneh-aneh, menempuh taktik seperti dalam filem-filem, ia mau buat suprise besar dengan melumpuhkan jagoan sekaliber Westerling. Pada waktu itu, setelah peristiwa Pembantaian di Sulawesi, banyak usaha-usaha untuk mengeksekusi Westerling yang dilakukan baik oleh TNI maupun kelaskaran, namun semua gagal. Mungkin atas dasar itu Rapar melaksanakan taktiknya.

Dalam suatu peristiwa, Rapar dan pasukannya yang bersiap-siap untuk mengawal Westerling dan selanjutnya sesuai rencana akan dieksekusi disuatu tempat, di ambush oleh pasukan TNI yang tidak mengetahui akan taktiknya, ditangkap dan langsung dieksekusi atas tuduhan pro-Belanda. Tragis! Jan Rapar dan kawan-kawan – patriot perintis perang mempertahankan kemerdekaan RI, justru tewas atas tuduhan pro Belanda, bahkan langsung dieksekusi! Untuk kesekian kalinya Westerling terselamatkan nyawanya, justru oleh pasukan TNI sendiri.

Kehidupan pribadi Jan Rapar memang penuh liku-liku dramatis. Cerita-cerita sekitar dirinya, sejak kami masih di Asrama Kaigun, Jakarta pun sangat banyak dibungkus mitos. Para jagoan Senen bilang, pernah Rapar memukul seorang preman kawakan yang sedang bersandar di tiang listrik, preman itu berhasil mengelak, hasilnya tinju Rapar mendarat ditiang listrik yang lantas....bengkok!

Waktu di Jogja, ia sudah menjadi Komandan Reguler Pasukan sebuah Brigade yang berwibawa, yaitu Brigade XII. Rapar masih suka melakukan kebiasaan lamanya dengan kemana-mana membawa ular Python besar yang dililitkan dibadannya. Banyak sekali kisah tentang Jan Rapar, namun latar belakangnya tidak banyak diketahui orang. Ada yang bilang Rapar itu nama ibunya, sebenarnya dia vam (marga) Waworuntu.

Bersambung ...

Diposkan Erwin Parikesit (Kaskuser)

Kami Bukanlah Pahlawan, Tapi Kenanglah Kami (2)

Kumpulan dari berbagai kesaksian para purnawirawan. Kami bukanlah pahlawan yang butuh pengakuan tercatat di Taman Makam Pahlawan, tetapi kenanglah dan ingatlah perjuangan kami.


Operasi Penyelamatan Anggota MIA

Narasumber : Mantan KKo Soetarno Moechali

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjrYXWLLloVA8wyrBYlOlNB8nBFB3-Ep0p8gNGfjGGhJV0FgjyDcugmC0-VjzcTf1gPSY8QsgZ5-FJvfclCAHZGIoR9ZxyTaf0d95ZYC1zsViJIKt-TYQ0GUIKAGw_UcT7SZduz-5eipfU/s1600/10_Marinir.jpgKisah ini merupakan kejadian yang pernah dialami anggota KKo AL (yang tidak lain adalah anggota "Marinir tempo dulu") saat melaksanakan patroli di perbatasan RI dengan British Borneo alias "Malaysia Timur tempo dulu".

Kisah ini diawali telegram Danyon-1 KKo AL tentang tugas R.D/front KOLATARA Mayor KKo Sumari yang berkedudukan di Poskoma/ P Tarakan kepada Dan Kie-A Letnan KKo Djunaedi yang berkedudukan di Poskopan/P Nunukan yang inti beritanya bahwa 1 Tim sukarelawan KKo AL/Tim-W1 beranggotakan 21 orang dipimpin oleh Kopko Sukibat telah berangkat dari Tarakan menuju titik-X tanggal 12-12-1963, dimana perahu pengangkutnya menabrak sebuah karang di muara sungai Sebuku dan kandas. Tim kemungkinan tersesat dan gagal mencapai titik-X dan akhirnya diperintahkan mengirimkan Tim Pencari dari Pleton-X

Untuk menjaga kerahasiaan misi maka dilaksanakan pemusnahan dokumen dengan cara menenggelamkan ke laut mengingat sifat rapatnya sendiri "Sangat Rahasia" dan Danyon pun menyetujuinya.

Sehabis pelaksanaan pemusnahan dokumen maka berenanglah saya meninggalkan rombongan dengan prioritas menuju pos Bambangan namun tidak memiliki perahu dan sesuai laporan dari Den Kipamko Brigrat Letnan KKo Husen dalam rapat, di Sidadap ada dua perahu tempel siap operasional dengan harapan tim Kipamko mampu menjemput perahu rombongan Danyon kita untuk kemudian menariknya kedaratan pulau Nunukan sebelum mask ke perairan musuh.

Masih dalam keadaan pakaian seragam lengkap, sayapun berusaha secepat kilat ke arah barat menuju pos Kipamko di Sidadap/Nunukan. Namun nasib sial sedang menimpaku, dengan sikap renangku ke arah barat tapi aku lebih merasa ke arah utara akibat terbawa arus dan kenyataan "titik kenal" Pos Sidadap makin ke kiri dan terlewati sudah. Yang pasti saya tak mungkin mencapai pulau Nunukan di Sidadap tapi paling tidak di dermaga Nunukan. Mudah mudahan saja demikian, yang penting saya akan dapat segera melaporkan musibah rombongan Danyon-3 KKo AL kepada kesatuan Yon-1 KKo AL di Nunukan untuk selanjutnya ke Mako Brigrat.

Tanpa sadar arus telah membawa saya justru menuju ke posisi musuh, apa yang terjadi saat saya bertemu musuh ?

Nasib nasib sial sedang menimpaku. dengan sikap renangku yang ke arah barat tapi aku lebih merasa ke utara akibat terbawa arus dan kenyataan "titik kenal" Pos Sidadap makin kekiri dan terlewati sudah. Yang pasti saya tidak mungkin mencapai daratan Pulau Nunukan di Sidadap tapi paling tidak di dermaga Nunukan. Mudah-mudahan saja demikian yang penting saya akan dapat melaporkan mengenai musibah rombongan DanYon-3 KKo AL kepada kesatuan Yon-1 KKo AL di Nunukan selanjutnjya ke Mako Brigrat.

Bila kulihat lebih jauh ke kanan maka sudah kelihatan mengkilat kapal pos apung yang besar (jenis penyapu ranjau) pada posisi rutinnya. Sedangkan posisiku sendiri semakin merenggang dari daratan P. Nunukan yang kira kira berjarak waktu 1 Km dan lebih dekat justru ke Pulau Sebatik. Arus selat bahkan makin derasnya dan menurut perasaanku lagi tak mungkin juga kucapai dermaga Nunukan karena posisinya yang sudah lebih ke kiri dari arah renangku. Rasa panik mulai ada disaat aku melihat ke kanan terlihat pos apung musuh yang kecil jenis Sri Kedah/Sri Selangor mulai bergerak pelan. Hari sudah mulai gelap karena sudah menjelang mahgrib.

Begitu posisi renangku kurang lebih 300 meter lagi dari pos apung kecil, maka tak mau kutahan kecepatannya menunggu lewatnya pos apung kecil. Jarak ke kapal makin lama makin dekat sehingga kadang-kadang aku terpaksa harus sebentar-bentar menyelam guna menghindari sorot lampu pos apung saat lewat di atas kepalaku. mengenai baret yang aku gunakan, sudah sejak jauh jauh aku lepaskan dan kusimpan dalam baju sehubungan warnanya yang menyolok.

Akibat dari sorotan lampu-lampu kapal maka kadang-kadang juga terlihat adanya kegiatan musuh yang kelihatan sibuk di salah satu lambung pos apung besar tetapi tidak begitu jelas apa yang mereka lakukan, hanya dalam pikiranku muncul "jangan jangan rombongan komandan kita sudah duluan diketahui musuh atau sudah sampai pos apung musuh dalam rangka usaha menolongnya".

Akibat kedekatannku dari buritan pos apung kecil yang laju bergerak memotong arahku terbawa arus maka bertambah kuat dugaanku bahwa adalah benar rombongan komandan kita sudah diketahui oleh musuh, maka bertambah kuat tekadku untuk menghindari dari penghilatan musuh, apalagi sampai tertangkap.

Akupun cepat-cepat meninggalkan lokasi dan kuputuskan berenang mengkuti arus saja yang kebetulan masih cukup deras ke arah pulau Tinabasan yang berada diperairan kita sendiri dan sejak akhir tahun 1963 kita kenali betul-betul karena termasuk dalam lintasan patroli rutin kita. Pada waktu itu kami selaku Dan Ton-X Yon-1 KKo AL tugas "R.D" dan dalam lintasan setiap kali Ton-X menyusupkan sukarelawan-sukarelawan KKo AL dalam rangka membantu kegiatan Tentara Nasional Kalimantan Utara -TNKU di wilayah Sabah.

Hanya diakibatkan derasnya arus yang memang kumanfaatkan saat itu kira kira pukul 19:00 dengan mengucap syukur dan gembira saya berhasil mencapai daratan yang semula aku anggap Pulau Tinibasan. 

Tetapi alangkah terkejutnya, ternyata pulau yang saya capai adalah pulau milik musuh..... bagai domba masuk kawanan srigala.


Tetapi begitu melihat tanda tanda medan yang sudah remang-remang, kulihat adanya pohon besar dan tinggi serta warnanya agak keputih-putihan. Maka aku langsung teringat diposisi pohon itulah letak pos pengawasan musuh yang kita kenal dan kita namai Pos Kayu Kering yang pada pertengahan tahun 1964 pernah kita serang oleh 1 regu anggota Ton-X bersebjata 1 pucuk BAG dan 7 pucuk SOR Belgie serta menggunakan alat angkut SPP. Karena terpantau adanya beberapa anggota satuan musuh yang berada di pantai termasuk adanya pos di atas pohon tersebut terlihat diantara mereka ada yang berkulit putih.

Teringat masa lalu itu, kegembiraanku yang ada secepat itu lenyap dan secepatnya akupun meninggalkan tempat itu karena saya mendarat di pulau yang salah. Kulanjutkan lagi dengan berenang menyeberangi laut mengambil arah ke kiri atau ke selatan mumpung masih ada tenaga untuk memasuki perairan kita sendiri.

Setelah berenang kurang lebih 1 jam, akhirnya tanganku berhasil meraih ujung daun nipah di daratan pulau Tinabasan. Tuhan telah mengabulkan permohonanku yang mendalam selama kejadian musibah itu pertama-tama aku telah terhindar dari bahaya penangkapan musuh. Karena sebelumnya saya sudah jadi target karena saya yang memasukkan 4 tim sukarelawan KKo AL ke wilayah Sabah pada Desember 1963 dalam operasi penyerangan pos musuh di kota Kalabakan 28 Desember 1963. Pemberangkatan 4 tim seluruhnya berhasil kembali dengan selamat ke pulau Nunukan dan saya di diberi gelar Wanted dengan hadiah tertentu terpampang diselebaran di kota Tawao.

Untuk itulah saya tidak mau mati konyol ditangan musuh. Status itulah yang membangkitkan semangatku untuk berenang dan berenang lagi agar dapat memasuki perairan kita sendiri kemudian mebdarat di daerah daratan Kalimantan Timur yang dikawal Brigrad -1 KKo AL.

Begitu sampai didaratan pulau Tinabasan keadaan sekitar sudah gelap kucoba berjalan menyusuri pohon-pohon Nipah ke arah kiri. Cukup jauh juga tetapi tak berhasil kutemui pohon bakau sebatangpun dengan tujuan sekedar kupanjat untuk beristirahat sejenak.

Dalam kesendirian aku menggigil sampai gigipun beradu dan berbunyi. Terkadang terlintas dalam pikiranku kemungkinan bahaya digigit ular laut atau ular bakau yang sekalipun kecil tetapi bisanya dapat mematikan hanya dalam hitungan detik.

Akhirnya kuputuskan untuk apa berlama-lama beristirahat, aku tidak bisa mengharapkan ada manusia yang lewat ditempat ini. Lagipula tidak satupun barang atau sesuatu yang bisa aku makan ditempat ini. Setelah kira-kira setengah jam mendekam disekitar pohon nipah, aku berenang lagi menuju ke pulau nunukan yang jaraknya 7 km, kebetulan air laut dalam keadaan tenang. Kurang lebih 3 jam aku berenang akhirnya aku tiba di pulau Nunukan. Perjalanan menembus hutan bakau sangat sulit karena begitu rapatnya sehingga aku sulit untuk mengenal medan.

Tiba tiba dari kejauhan aku mendengar suara mesin perahu. Aku yakin bahwa itu suara mesin tempel perahu KKo karena tidak pernah terjadi sejak tahun 1963 ada patroli musuh yang berani memasuki perairan kita. Tidak aku biarkan kapal patroli lewat begitu saja maka kupanggil mereka "Hai... Kawan..." rupanya teriakanku tidak terdengar. Aku coba lagi berteriak lebih keras agar mereka mendengar. Rupanya teriakanku kali ini terdengar dengan matinya mesin tempel dan lampu senter yang diarahkan keposisiku.


Tetapi rupanya orang yang berada di kapal patroli itu tidak langsung mendekat. Bahkan terlihat beberapa orang seperti sibuk mencari sesuatu. Terlanjur senang, kemudian aku mencoba mendekati kapal dengan berjalan dikedalaman lumpur. Semakin dekat aku lihat ada 7 orang berbaju putih di kapal patroli. Tubuh dan pakaianku sudah belepotan dengan lumpur, sehingga sulit untuk dikenali lagi saya dari pasukan mana.

Dari atas kapal, saya ditodong sengan senjata dan ada bentakan "Siapa Kamu.... Hayo Jawab!!!" Salah menjawab... Ujung pelor sudah menanti di kepala saya.

Suara itu aku sangat mengenalnya. Suara itu milik Letnan KKo Djaja yang pada waktu suaranya paling galak dan paling keras. Letnan KKo Djaja tidak lain adalah Dan Tim Patroli dari Yon I KKo AL yang ada di Nunukan.

Karena sudah mengenal suara itu, akupun lega. Aku terus mendekati kapal dan tidak menjawab pertanyaan tersebut. Bahkan sampai aku ditarik ke kapal, mereka sama sekali tidak mengenali aku yang seluruhnya sudah belepotan lumpur.

Akhirnya setelah aku meminta rokok barulah aku memperkenalkan diri sebagai anggota KKo. Sontak pak Djaja juga langsung mengenali suaraku.

"Pak Tarno ya ??" Sambil pak Djaja memelukku dengan sangat erat dan haru. Maklum aku dinyatakan telah hilang dalam perjalanan tugas.

Selanjutnya pak Djaja memerintahkan mesin dihidupkan dan secepatnya kembali ke Nunukan untuk melapor kepada Komandan Brigade Pendarat-1 (Brigat-1).

Saat perjalanan ke Nunukan aku berkata ke pak Djaja agar tidak langsung ke Nunukan tetapi melewati pulau Tinabasan terlebih dahulu. Alasan saya adalah waktu saya berenang, saya seperti mendengar suara orang berkali-kali berteriak minta tolong. Mungkin saja suara minta tolong itu berasal dari anggota yang mengalami musibah dan terdampar terbawa arus.

Atas saranku itu, pak Djaja kemudian mengikuti rute yang aku tunjuk. Berjalan pelan-pelan sambil melihat ke kanan dan ke kiri menyusuri tepian pulau Tinabasan sampai sebelum perbatasan.

Tetapi dalam pencarian tersebut, kami tidak berhasil menemukan anggota kita yang mendapat musibah.

Selama dalam perjalanan sempat kutanyakan kepada pak Djaja dari siapa satuan Yon-1 KKo dan Brigrat-1 KKO Nunukan yang mengetahui bahwa perahu rombongan Dan Yon 3 KKo mengalami musibah? Dari pak Djaja akhirnya diketahui bahwa sehari sebelumnya musuh yang berada di Pos Apung dengan menggunakan lampu memberikan sinyal sandi morse ke arah Nunukan. Kemudian petugas Nunukan membaca sinyal tersebut dan menyampaikan kepada Perwira OHB Yon-1 KKo yang inti berita tersebut adalah:

"Pihak saya telah berhasil menyelamatkan 7 anggota Tuan yang hampir mati tenggelam di laut"

Dengan adanya berita tersebut maka perwira Komlek Brigrat-1 Mayor KKo Djoko Supriyadi disertai Perwira Staf Brigrat lainnya menuju dermaga Nunukan. Dengan menggunakan lampu, kami berusaha berkomunikasi dengan pihak musuh. Untuk membuktikan kebenaran tersebut, kami mengirim sinyal yang berisi:

"Kalau boleh tahu siapa nama nama dari ke 7 anggota kita itu"

Musuh yang menerima pesan ini sepertinya tidak mau menjawab nama, melainkan hanya menyebutkan pangkatnya saja yaitu 4 orang perwira, 1 orang bintara dan 2 orang prajurit.

Dengan adanya berita ini maka komandan Brigrat-1 melalui Dan Yon 1 memerintahkan salah satu Dan Ton yaitu pak Djaja untuk melaksanakan patroli pencarian ke 5 anggota Yon 3 yang belum ditemukan.

Sesampainya saya di dermaga Nunukan saya sudah ditunggu oleh perwira staf Brigrat -1 dan Yon-1 KKo AL. Dengan digandeng oleh 2 orang anggota patroli, saya langsung diarahkan ke MAKO Brigrat karena sudah ditunggu-tunggu oleh Dan Brigrat Kolonel Sumardi.


Bagaimana dengan nasib 5 anggota Yon-3 yang belum ditemukan? Pencarian kemudian dilanjutkan....

Kami melakukan pencarian dengan mata yang terbuka lebar dan juga kuping kami harus bisa mendengar suara suara yang terkecil. Dengan menggunakan teropong kami melihat ada seseorang dikejauhan terapung diperairan kita. Tim patrolipun segera meluncur menghampiri orang tersebut yang jaraknya kurang lebih 800 meter dari dermaga. Saat kami mengangkat orang tersebut ternyata dia adalah Kapten KKo Sriyatno yang menjabat sebagai Dan Kie-H Yon-3. Masih dalam keadaan lemas, beliau kami angkat beramai-ramai ke atas dermaga. Saat diselamatkan tim patroli, pak Sriyatno masih dalam keadaan berpegangan erat pada sebuah tangki BBM. Kusambut beliau dengan rasa haru, kudengar suaranya yang lemah "oh.. Dik Tarno...". Kamipun. Saling berdekapan erat-erat tak sanggup menahan tangis. Dibagian dagu dan dadanya mengalami luka berdarah. Kemungkinan akibat benturan dengan tangki BBM.


Belum lama kami mengantarkan pak Sriyatno, kami kembali mendengar teriakan minta tolong. Dari Pos Ketinggian kami melihat ada sosok terapung tapi diposisi yang berbeda. Tim patroli menghampiri lagi kemudian kembali ke dermaga. Diketahui ternyata yang ditemukan tersebut adalah Prako Diyar dari Caraka Dan Kie-H. Menurut tim patroli, Prako Diyar ditemukan dalam berpegangan erat sebuah tangki BBM. Saat kami evakuasi, Prako Diyar kemudian jatuh pingsan. Pencarian selanjutnya kami tidak berhasil menemukan 3 rekan kami yang lain sampai sekarang. Mungkin mereka berhasil diselamatkan musuh atau hanyut terbawa air laut, entahlah.

Yang masih kuingat dan tak mungkin kita lupakan adalah sambutan masyarakat setempat yang sengaja ikut hadir di dermaga menyambut kita yang selamat dari musibah. Sebelum kita berangkat meninggalkan dermaga menuju Mako Brigrat-1 mereka mengadakan upacara kecil secara adat tentunya. Mereka beramai-ramai dan bergantian menaburkan beras kuning campur bunga-bungan ke arah badan kita bagaikan menyambut pengantin sunat.

Terima kasih kepada bapak-bapak dan ibu-ibu dari Nunukan yang memang sudah kuanggap sebagai keluarga atau saudara-saudaraku sejak penugasanku akhir tahun 1963. Wajah-wajah merekapun muncul terbayang satu persatu. Sungguh aku pribadi merindukan mereka untuk dapat bertemu.


--- END ---

Diposkan Suromenggolo (Kaskuser)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...