Artikel ini dikutip teknis militer berserta sejarahnya dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual. Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009.
Integrasi KRIS dalam TRI
Sudah
menjadi keputusan KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) untuk
memperjuangkan laskarnya berintegrasi ke dalam TRI. TRI, Tentera
Republik Indonesia, nama resmi tentara regular RI sejak lahir Januari
1946. Menggantikan nama TKR yang baru digunakan beberapa bulan
sebelumnya, sejak Oktober 1945. Proses integrasi ini buka sekadar urusan
adimistrasi. Ini perlu perjuangan. Kami harus berupaya membereskan
internal Laskar KRIS, menata organisasi, menertibkan pasukan, tegas dan
keras menegakkan disiplin militer. Disamping itu ada upaya-upaya khusus
pendekatan ke Markas Besar TRI dan Kementerian Pertahanan. Di
Kementerian Pertahanan ada Biro Perjuangan, bagian inilah yang menangani
urusan-urusan kelaskaran. Pucuk pimpinan KRIS dan Laskar KRIS
menyerahkan tanggungjawab untuk urusan integrasi ini kepada saya, Ventje
H.N Sumual.
Sebagai Kepala Staf KRIS ada Henk Lumanuw. Saya
seperti biasanya, selalu bersama Empie Kanter. Adakalanya kami pergi
bersama-sama dengan Henk. Namun sering juga saya dan Henk pergi
sendiri-sendiri, tergantung keperluan, tak jarang pula Empie yang saya
minta pergi bersama Henk. Pada prinsipnya Laskar KRIS tidak ada masalah
dalam integrasi ini. Beda dengan umunya satuan laskar lain, kami tidak
berada dalam partai politik tertentu, sehingga tidak ada ganjalan
apa-apa kalau berhadapan dengan pejabat pemerintahan yang kebetulan
adalah orang daripada partai yang berseberangan.
Bagaimanapun,
faktor terpenting yang membuat sulit bagi pemerintah untuk menghalangi
integrasi Laskar KRIS kedalam TRI adalah prestasi Laskar KRIS sendiri
yang sedemikian menonjolnya. Pasukan-pasukan KRIS di Bandung dan
sekitarnya, ketika bersama beberapa kelompok laskar lainnya berintegrasi
dalam TRI, sampai berani minta diresmikan dengan nama “Pelopor” untuk
menyatakan kepeloporan mereka dalam perjuangan membela tanah air, dan
pimpinan TRI mengakui itu. Panglima Divisi III Kolonel AH.Nasution
meresmikan Kesatuan Pelopor Divisi III. Mereka terdiri dari 5 Detasemen.
Pasukan dan Laskar KRIS Bandung ini kemudian menjadi Detasemen Stoottroepen Garuda, salah satu andalan Divisi Siliwangi.
Bagi
pemerintah dan pimpinan TRI sendiri, integrasi dengan semua badan
kelaskaran semakin menjadi kebutuhan untuk menghadapi musuh. Tapi
integrasi dilangsungkan sebagai proses reorganisasi, restrukturisasi dan
rasionalisasi. Rasionalisasi inilah yang konsekuannya berupa pengurangan
jumlah pasukan. Banyak yang dinilai tidak layak untuk menjadi tentara
resmi. Banyak satuan dan laskar yang ditolak integrasi secara antero,
namun hanya diterima secara individual atau dalam satuan-satuan kecil
terpilih saja, atau juga dilebur dalam kesatuan resmi yang sudah ada.
Salah satu ukuran terbilang jelas mengenai faktor persenjataan. Jumlah
senjata dalam pasukan harus 1 berbanding 1 dengan jumlah anggota. Dalam
hal ini pimpinan TRI sudah cukup obyektif, tidak benar kalau dituduh
pilih kasih. Pasukan Siliwangi saja diciutkan menjadi setengahnya.
Brigade XII Divisi 17 Agustus
Laskar
KRIS diintegrasikan kedala TRI secara menyeluruh, sebagai kesatuan, dan
menjadi salah satu brigade dalam TRI. Beberapa hal segera disesuaikan.
Pucuk pimpinan adalah Komandan. Tidak boleh sesuka hati meyebut Panglima
lagi. Walau sehari-harinya masih sering Langkai, dan kemudian Rapar,
dipanggil Panglima. Jumlah pasukan dalam tiap-tiap satuan disesuaikan
dengan aturan yang berlaku. Sebelumnya batalyon maupun kompi jumlahnya
tak teratur, karena hanya tergantung pada faktor kesamaan suku maupun
sub-etnis.
Penyesuaian lain adalah soal kepangkatan, saya ingat
antara lain Empie Kanter. Karena sering berhubungan dengan pimpinan di
MBT (Markas Besar Tentara), terutama Mayjen Djokosujono yang kemudian
pegang staf teritorial, Empie dan Henk Lumanuw lebih cepat naik
pangkatnya. Saya masih Kapten, Empie sudah Mayor dalam Laskar KRIS.
Tapi, setelah restrukturisasi Empie diturunkan lagi menjadi Kapten dalam
Brigade XII. Mayjen Djokosujono kemudiannya terlibat dalam
Pemberontakan PKI Madiun, padahal dia sangat baik dengan kami.
Struktur
pimpinan inti Brigade XII tak berubah dari Laskar KRIS. Komandan
Kolonel Evert Langkai, Wakil Komandan Letkol Jan Rapar, Kepala Staf
Mayor Henk Lumanuw. Saya sendiri, Staf Intelijen dan Operasi. Walau
sudah menjadi TRI, umumnya orang tetap merasa ini pasukan KRIS. Itulah
mengapa sering disebut Brigade XII KRIS.
Dengan status dan posisi
sebagai tentara reguler, kami semakin gigih berjuang. Brigade XII tetap
sebagai pasukan yang banyak mencatat prestasi di banyak front. Banyak
pasukan lain yang mau bergabung dengan kami. Melihat kenyataan ini, MBT
lantas mempercayakan Brigade XII untuk menghimpun pasukan-pasukan lain.
Dengan kriteria yang sudah ditentukan untuk menjadi satu Divisi. Tugas
inipun kami lakukan. Sejumlah pasukan sudah menyatakan diri untuk
bergabung dalam Brigade XII. Diantaranya, Laskar Hizbullah/Fisabilillah,
BPRI dibawah pimpinan Bung Tomo, Barisan Banteng, resiman Pattimura,
Resimen Ngurah Rai, Resimen Hasanuddin, juga pasukan-pasukan Kalimantan.
Masing-masing terdiri dari banyak personil, bahkan ada yang sangat
besar, misalnya Hizbullah yang personilnya mencapai dua ribuan.
Divisi
kami ini mendapat kehormatan dengan nama Divisi 17 Agustus. Panglimanya
Kolonel Evert Langkai. Segera diresmikan pada HUT II RI 17 Agustus
1947. Tetapi menjelang akhir Juli 1947 terjadi Agresi Militer Belanda.
Semua rencana pembentukan Divisi baru pun buyar, kendati pasukan-pasukan
yang akan diresmikan sudah gladi parade. Malah, bukan saja divisi baru
yang dibatalkan, keseluruhan pasukan-pasukan TRI harus direorganisasi,
disesuaikan dengan kondisi yang ada. Meskipun Divisi 17 Agustus batal
berdiri, namun sejak inilah Brigade XII mendapat kepercayaan, baik
pemerintah maupun pasukan-pasukan yang bergabung untuk menjadi
penggalang semua pasukan yang orang-orangnya berasal dari luar Jawa dan
Sumatera, untuk kemudiannya disiapkan sebagai rintisan TNI bagi daerah
masing-masing. Rintisan ini terkenal dengan nama Pasukan Seberang.
Agustus
1947 kami bukan saja mengalami batalnya rencana Divisi 17 Agustus, tapi
malah kehilangan panglimanya. Kolonel Evert Langkai tiba-tiba
mengundurkan diri. Suatu hari di akhir Agustus itu, mendadak ada
perintaah dari Kolonel Evert Langkai untuk upacara. Semua bingung,
bertanya-tanya, upacara apa? Hari itu tidak ada perayaan atau peringatan
apapun. Juga tidak ada acara yang berhubungan dengan pemerintah maupun
MBT. Kalaupun ada, sayalah yang seharusnya lebih tahu dulu.
Upacara
militer digelar di halaman Markas Brigade XII. Ditengah-tengah upacara,
tiba-tiba maju seorang Bintara membawa nampan, yang biasa dalam
kenaikan pangkat atau penyematan tanda jasa. Ini rupanya sudah diatur
sebelumnya oleh Kolonel Evert Langkai. Namun kali ini bukan untuk
kenaikan pangkat atau penyematan tanda jasa. Ternyata Komandan Brigade
XII Kolonel Evert Langkai mencopot-copot dari seragamnya sendiri semua
lencana, tanda komando, bahkan pangkatnya, dan langsung ditaruh di
nampan itu. Setelah bicara sedikit, lalu pergi begitu saja. Upacara jadi
terlantar, karena dialah inspektur upacaranya.
Wadan Brigade XII
Letkol Jan Rapar langsung mengambil alih pimpinan upacara. Dan sejak
itupun berfungsi sebagai Komandan Brigade XII. Umunya kami menduga
persaingan dengan Rapar lah yang menjadi penyebab Langkai “merajuk” dan
mengundurkan diri itu. Mereka sering bertentangan, ada juga yang bilang
mungkin Langkai kecewa divisi batal dibentuk.
Brigade Seberang
Bulan-bulan
akhir 1948 TNI di Jawa direorganisasi lagi. Disesuaikan dengan kondisi
yang ada, dan kebutuhan yang dihadapi. Salah satu kebutuhan utamanya
adalah bersiap-siap menghadapi agresi besar-besaran Belanda. Sudah
sangat jelas mereka ingin merebut langsung jantung RI, Yogyakarta
sebagai upaya merampungkan pelenyapan RI. Akhir Oktober rencana
reorganisasi telah selesai. Ada 4 Divisi Teritorial. Divisi I, Divisi
II, Divisi III dan Divisi IV. Divisi-divisi ini tidak sama dengan 3
divisi yang ada sebelumnya. Dalam reorganisasi sekarang, semua pasukan
masuk dalam brigade-brigade. Disiapkan 17 Brigade. Kami KRU-X menjadi
Brigade XVI. Empat Divisi baru itu membawahi 15 Brigade. Sedang 2
Brigade lainnya, Brigade XVI dan Brigade XVII langsung dibawah Panglima
Komando Teritorium Djawa, Kolonel AH. Nasution. Komandan Brigade XVI
Letkol AG. Lembong, Wadan Letkol Joop. F Warouw. Kemudian terjadi
perubahan setelah Letkol AG. Lembong disiapkan untuk menjadi Atase
Militer di Filipina. Struktur organisasi yang baru adalah sebagai
berikut, :
Komandan : Letkol Joop. F Warouw
Wakil Komandan : Letkol Kahar Muzakkar
Kepala Staf : Mayor I Gusti Mataram
Wakil Kepala Staf : Mayor M. Saleh Lahade
Komandan Yon A : Mayor Andi Mattalatta
Komandan Yon B : Mayor HV. Worang
Komandan Yon C : Mayor Pudu Mas’ud
Komandan Yon D : Mayor Palupessy
Komandan Yon E : Mayor Lukas Palar
Komandan Depo Batalyon : Mayor Ventje HN. Sumual
Dalam
struktur organisasi inilah terjadinya Agresi Militer Belanda II
Desember 1948. Sesuai kebutuhan strategi perang gerilya, diadakan lagi
reorganisasi sejumlah kesatuan TNI. Sesuai kebutuhan strategi, Joop
Warouw sudah berangkat ke Jawa Timur dan bermarkas di Gunung Kawi. Di
Yogyakarta saya diangkat menjadi Komandan Sektor Barat, membawahi
sebagian besar pasukan Brigade Seberang, ditambah sangat banyak
pasukan-pasukan lainnya.
Peristiwa Kahar Muzakkar dan Jan Rapar
Pasa
masa-masa awal laskar baru bertransisi menjadi tentara reguler
macam-macam ekses sempat terjadi. Dalam kesatuan kami biasanya saya yang
menangani, meskipun saya bukan komandan maupun kepala staf. Ada
beberapa masalah interen yang timbul. Terbilang serius yang saya sampai
tidak akan lupa sampai sekarang, antara lain adalah peristiwa Letkol
Kahar Muzakkar, Letkol Rapar, dan terbunuhnya Mayor Soekardi. Beliau
dirampok dan dibunuh. Soekardi adalah ipar Letkol Soeharto, Komandan
Brigade X yang meliputi Yogyakarta hingga Kedu. Soekardi pun adalah
kakak daripada Mayor Soedarman, Komandan Pasukan Zeni TP. Mayor Soekardi
sendiri adalah Kepala Bagian Keuangan di Resimen.
Waktu itu saya
menjabat sebagai Komandan Gerilya Sektor Barat. Pelaku pembunuhan
adalah anggota pasukan Brigade Seberang, Sersan Mahmud dan
teman-temannya dari Pasukan 1001, yang terdiri dari orang-orang asal
Kalimantan. Saya langsung tangkap. Pemeriksaan juga juga dilakukan
terhadap Kapten Frits Runtunuwu dan Kapten Felix Tuyuh, karena Frits
adalah komandan sektor 1 dan Felix wakilnya, sementara pelaku berasal
dari wilayah sektornya. Tapi mereka semua mengemukakan alasan-alasan
yang logis, bahwa Soekardi memang bersalah, dan bahwa tindakan mereka
adalah benar dalam situasi perang. Akhirnya saya putuskan : menyarankan
para pelaku dipecat secara resmi, tapi saya minta mereka pergi menyusup
ke daerahnya di Kalimantan untuk meneruskan perjuangan pro-RI di
daerahnya masing-masing. Jalan, cara bagaimana, transportasi, dana, cari
sendiri.
Dengan berat hati mereka meninggalkan kesatuan,
meningalkan tanah Jawa. Tapi masih lebih baik daripada kena hukuman
militer. Lagi pula, saya pikir kami tidak mempunyai penjara yang aman
dalam situasi perang gerilya seperti sekarang ini. Adalah bukan sesuatu
yang sulit misalnya terjadi balas dendam dan kemungkinan penyusup
menghabisi mereka di penjara. Begitu juga halnya terhadap Felix dan
Frits. Dua perwira andalan Kawanua sejak KRIS ini saya perintahkan untuk
cepat berinflintrasi ke Sulawesi. Tapi mereka tidak dipecat, terbukti
di pedalaman Minahasa mereka aktif memimpin gerilya pro-RI. Saya
putuskan untuk mengambil alih tanggungjawab masalah ini. Saya bersama
Maulwi Saelan pergi mengurus penyelesaiannya dan menjelaskan semua duduk
perkaranya.
Waktu menghadap Letkol Soeharto, Letnan Wim Sigar
saya ajak serta. Setelah penjelasan Soeharto tidak langsung menanggapi.
Kami diam dan menunggu jawaban dari Komandan Brigade X ini. Tapi dia
tetap diam, lama sekali. Berpikir keras sambil berjalan mondar mandir
disekitar kami. Kami duduk diam, tegang, Maulwi Sealan sudah membatu
dari tadi. Tiba-tiba Letnan Wim berbisik,
“Bekeng mati jo.....Soeharto kita bereskan.....”
Wahhh...saya
marah sekali! Tanpa suara saya pelototin Wim. Yang begini inilah sering
menjadi masalah dalam pasukan ex-laskar, ekses-ekses seperti Sersan
Mahmud yang sudah mengakibatkan masalah ini. Letnan Wim rupanya masih
terbawa-bawa dengan sifat jelek kelaskaran yang sering bertindak
sembrono dan sembarangan, hanya mengandalkan fisik, apalagi dia
sekarang menjadi pimpinan pasukan combat yang terlatih, bukan laskar
lagi!. Wim lupa kalau ini adalah proses hukum yang sedang saya
selesaikan dengan cara baik-baik. Wim langsung diam menunduk.
Akhirnya saya lihat, Letkol Soeharto mulai mengangguk-angguk perlahan. Ia bilang,
“Ya sudah Je...selesai disini saja ya......”
Letkol
Kahar Muzakkar kecewa ketika Resimen Hasanuddin, badan kelaskaran yang
dibangunnya saat itu dilebur ke dalam KRU-X dan hanya menjadi 1
Batalyon. Dia mengingatkan pada kesepakatan awal berdirinya KRIS, bahwa
kepemimpinan harus berasakan keseimbangan antara Sulawesi Utara dan
Selatan. Kahar pura-pura tidak mau tahu bahwa kepemimpinan dalam Brigade
diputuskan oleh pimpinan di MBT dan Pemerintah. Kami dari pasukan hanya
mengusulkan. Lagipula kami sebenarnya sudah menyiapkan draf pengusulan
yang didalamnya termasuk Letkol Kahar Muzakkar sebagai Wakil Komandan
dan Mayor M. Saleh Lahade sebagai Kepala Staf.
Begitulah, Kahar
sudah terlanjur panas hati, dia juga sudah terlanjur memanas-manaskan
sejumlah pimpinan pasukan Resimen Hasanuddin. Suatu hari, saat kami
sudah menjadi Brigade XVI, Kahar memimpin pasukan yang telah dihasutnya
menduduki markas Brigade XVI di Saidan, Jogja. Semua staf dan pasukan
yang ada di markas dilucuti. Sejumlah senjata juga mereka ambil, dibawa
ke Klaten. Kolonel Lembong lagi tidak ada. Letkol Joop F. Warouw sebagai
pemegang komando tidak bisa apa-apa, dia hanya melaporkan ke Markas
Besar Komando Djawa. Kolonel AH. Nasution sendiri bingung, harus
bertindak...tapi bagaimana caranya...? Saya lantas bilang kepada Warouw,
“Biar jo...kita urus!”
Tanpa
membuang waktu, saya langsung berangkat ke Klaten, Markas Pasukan
Kahar. Turut serta bersama saya 2 Kompi dari Yon Palar. Satu dipimpin
Gerard Lombogia, dan satunya oleh Lucas Palar sendiri. Arahan strategi
baru saya infokan diperjalanan. Saya bilang, jangan harap untuk dapat
berunding dengan Kahar. Saya teman lama dia, kenal sekali wataknya,
keras seperti batu!. Begitu sampai di markas Kahar di Klaten, posisi
tempur langsung digelar. Resiman Hasanuddin dan 2 Kompi Yon Palar, 2
pasukan sepulau dan begitu akrabnya waktu di KRIS saling
berhadap-hadapan. Saya langsung memberi ultimatum ke Kahar.
Perhitungan
saya tidak meleset, pertempuran sengit sesama saudara pecah di siang
bolong. Pasukan Kahar menyambut kami dengan tembakan gencar, mereka
stelling disektar markasnya.
Tembakan gencar berlangsung, saling
balas-balasan berlangsung sekitar 2 jam. Tiba-tiba terdengar teriakan
dari markas Kahar meminta cease fire. Rupanya 1 perwira andalan Resimen
Hasanuddin tertembak, gugur ditempat, saya lupa namanya. Saya lantas
memenuhi tuntutan Kahar. Saya juga berfikir, untuk apa juga harus saling
menghabisi, toh mereka kan teman sendiri, sepulau, saudara, bukan
musuh. Pelor-pelor yang sangat berharga ini sayang sekali kalau harus
buat menumpahkan darah sesama bangsa sendiri. Dari Resimen Hasanuddin
gugur 4 orang, luka-luka 12 orang. Dari Yon Palar gugur 2 orang,
luka-luka 8 orang. Salah satunya yang gugur saya masih ingat namanya,
Bert Polii asal Airmadidi.
Perundingan akhirnya digelar di Markas
CPM. Komandan CPM Kapten Soenarso yang memimpin. Waktu itu, saya sampai
di Markas CPM, Soenarso dan Kahar sudah ada. Begitu melihat saya,
Soenarso langsung bilang sambil menunjuk ke Kahar,
“Hij is uw gevangene.... Ini dia tawanan anda !”
Sejenak
saya bingung juga. Tanpa perundingan, Kahar sudah menyerah? Ya sudah,
langsung Kahar saya ambil, saya juga membawa Palar dan Lambogia untuk
mengurus pengembalian senjata yang dirampas dari Markas Brigade. Tiba di
Jogja, Kahar saya serahkan ke CPM, ditahan oleh Mayor Sudirgo. Namun
atas berbagai macam pertimbangan, Letkol Joop F. Worouw melepaskannya.
Waktu
dalam perjalanan membawa Kahar dari Kalten, sepanjang perjalanan dalam
pikiran saya masih bertanya-tanya. Mengapa Kahar yang terkenal sangat
kepala batu dan keras hati begitu mudah menyerah, tanpa syarat pula?
Apakah dia benar-benar sudah insaf atas perbuatannya, dan ingin
menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak? Ataukah karena CPM sudah
menyiagakan pasukan besar dari Siliwangi yang berada di Klaten untuk
meringkus Kahar jika tetap membangkang?
Saya sering berfikir
tentang Kahar, bahkan sampai sekarang. Ia teman seperjuangan yang baik,
cerdas dan luar biasa beraninya. Dulu kami sama-sama sebagai perintis
penggabungan APIS dan GAPEIS dalam KRIS. Melalui wadah KRIS, kami
sama-sama banyak mencatat sukses besar, sehingga kami disegani baik
kawan maupun lawan. Ia sangat disegani dilingkungan MBD, MBT dan
pemerintahan. Bahkan Kolonel AH. Nasution, Gatot Subroto sangat segan
padanya. Memang ia luar biasa beraninya, bahkan cenderung nekad, sayang
sifatnya yang kepala batu dan cepat panas. Ia sudah berpangkat Letkol
waktu kejadian, sedangkan saya masih Kapten. Walau sudah Letkol, Kahar
Cuma mengurusi kesibukannya “keatas” dan kurang diimbangi dengan membina
prestasi pasukan-pasukan yang menjadi tanggungjawabnya. Makanya, meski
ia memegang mandat berupa Surat Perintah Panglima Besar Sudirman untuk
memimpin kesatuan yang kelak akan menjadi TRIP Sulawesi, ketika KRU-X
Brigade Seberang terbentuk yang salah satu mandatnya sama dengan mandat
Pangsar, ternyata oleh Nasution, Kahar tidak termasuk dalam hitungan,
apalagi memegang komando pasukan.
Begitu juga setelah pengakuan
kedaulatan RI oleh Belanda. Kahar mendapat mandat langsung dari Pangsar
Sudirman dan Kolonel Bambang Soepeno agar ia beserta Komando Grup
Seberang akan memimpin APRIS di Indonesi Timur. Namun ternyata APRIS
telah lebih dulu berdiri, dan pasukan-pasukan harus melalui proses
perjuangan yang berat, tanpa Kahar. Kekecewaan inilah yang kemudiannya
menjadi latar belakang pemberontakannya kelak, yang berakhir dengan
kematian tragis patriot besar ini. Sungguh tragis nasibnya, mungkin saja
seandainya dia tidak ikut campur dalam hal-hal politik, dan sedikit
bisa sabaran dan tidak keras kepala, mungkin nasibnya tidak berakhir
tragis begini. Apapun, sejarah bangsa tetap mengenangnya sebagai salah
satu patriot besar, jasa-jasanya besar dalam perjuangan kemerdekaan.
Kisah Jan Rapar lain lagi. Tapi sama-sama tragisnya. Dia adalah komandan
kami sejak KRIS, bahkan dari sebelumnya. Komandan kami ini ternyata
mengalami ketidak seimbangan emosional saat berada dalam sistem militer
reguler. Terlebih ketika kemudiannya, sebagai mantan Panglima KRIS, ia
sekarang aktif sebagai bawahan dari bekas orang yang pernah menjadi
bawahannya. Rapar semaki sering berulah, baik ketika komandan dijabat
Lembong, maupun Joop Worouw. Tapi, selama tidak sampai mengganggu policy
kesatuan, kami berusaha memakluminya, sebagai seorang senior dan
seorang pemberani yang juga berjasa besar.
Sekali waktu, Rapar
sudah bertindak keterlaluan. Waktu itu yang menjadi Komandan sudah saya,
juga merangkap sebagai Komandan Pasukan Gerilya Sektor Barat. Suatu
hari, kami sedang menuju ke kota Jogja untuk menyerang beberapa pos-pos
tentara Belanda, tiba-tiba Jan Rapar bilang tidak mau terus. Ini
jelas-jelas pelanggaran berat disiplin militer, meninggalkan tugas dalam
perang!. Tapi saya izinkan saja, berusaha memakluminya. Begitu juga,
sering dalam gerilya apabila pasukan terpaksa menyeberangi sebuah sungai
misalnya, ia selalu memerintahkan sampai 4 orang prajurit untuk
membopong tubuhnya yang besar menyeberangi sungai, hanya karena tidak
mau kena air, basah-basahan!.
Waktu itu kami baru saja kembali
dari bertempur, mendekati markas gerilya kami di Godean, seorang staf
berlari-lari menyampaikan laporan : Letkol Jan Rapar sudah melucuti
semua pasukan yang berada di Markas!. Tindakan Rapar yang keterlaluan
ini tidak mungkin lagi saya tolelir, langsung saya cari dia. Saya
menemukannya sedang bersantai dibawah pohon. Ternyata ia kaget juga
tiba-tiba saya muncul dihadapannya dan langsung membentaknya. Mungkin
tidak pernah dia bayangkan, saya sebagai junior sanggup membentaknya
yang lebih senior. Ia lantas berjanji akan mengembalikan semua senjata
yang telah dirampasnya.
Kemudian saya tahu, tindakannya itu
terutama bukanlah maksud “kudeta”. Ia rupanya membutuhkan senjata dalam
jumlah tertentu untuk pasukan kecilnya yang rencananya akan dibawanya
menyusup ke Jakarta. Jan Rapar ternyata merencanakan perang gerilya
didalam kota, terutama Jakarta karena ia memang mengenal sekali seluk
beluknya. Waktu Rapar dan beberapa teman Kawanua lainnya meninggalkan
kami, kami sangat terharu. Banyak tingkah lakunya
membuat menitikkan airmata. Sedih berpisah dengan pemimpin yang khas,
pemberani dan berkarakter ini. Jan Rapar menasehati kami semua,
“Kita pesan pa ngoni-ngoni semua...jaga torang pe keluarga Minahasa di Jogja !”
Itu
memang seakan menjadi etos bagi kami semua, sejak KRIS masih berdiri.
Saya memberinya sejumlah senjata yang ia minta, juga bekal buat mereka
di perjalanan.
Sebagai gerilyawan Rapar tahu apa yang
harus ia lakukan dalam perjalanan dari Jogja ke Jakarta. Jalan-jalan
telah mereka pilih untuk dilalui dan aman. Memasuki wilayah Jawa Barat,
dimana wilayah-wilayah pedalaman ternyata dikuasai oleh DI/TII. Rapar
kemudian memilih bergerilya dari kota ke kota dalam perjalanan ke
Jakarta yang dikuasai Belanda. Beberapa kali ia pura-pura menyerahkan
diri, kemudian melarikan diri setelah membawa sejumlah senjata dan
perbekalan. Pasukan Belanda benar-benar kesal dibuatnya. Mereka akhirnya
bisa selamat semua berkumpul di Jakarta setelah pengakuan kedaulatan RI
pada akhir 1949. Tidak ada yang gugur maupun terluka.
Tapi
menyusul peristiwa APRA di Bandung akhir Januari 1950, TNI mencurigai
Rapar dan pasukannya sebagai pro Belanda. Apalagi ketika ditempat mereka
kemudiannya ditemukan persenjataan yang demikian banyaknya. Namun
sebagaimana berita beberapa teman kemudian yang memberi kesaksian, Rapar
dan pasukannya memang sengaja masuk APRA dengan target untuk
mengeksekusi Westerling dari jarak dekat. Rapar memang suka aneh-aneh,
menempuh taktik seperti dalam filem-filem, ia mau buat suprise besar
dengan melumpuhkan jagoan sekaliber Westerling. Pada waktu itu, setelah
peristiwa Pembantaian di Sulawesi, banyak usaha-usaha untuk mengeksekusi
Westerling yang dilakukan baik oleh TNI maupun kelaskaran, namun semua
gagal. Mungkin atas dasar itu Rapar melaksanakan taktiknya.
Dalam
suatu peristiwa, Rapar dan pasukannya yang bersiap-siap untuk mengawal
Westerling dan selanjutnya sesuai rencana akan dieksekusi disuatu
tempat, di ambush oleh pasukan TNI yang tidak mengetahui akan taktiknya,
ditangkap dan langsung dieksekusi atas tuduhan pro-Belanda. Tragis! Jan
Rapar dan kawan-kawan – patriot perintis perang mempertahankan
kemerdekaan RI, justru tewas atas tuduhan pro Belanda, bahkan langsung
dieksekusi! Untuk kesekian kalinya Westerling terselamatkan nyawanya,
justru oleh pasukan TNI sendiri.
Kehidupan pribadi Jan Rapar
memang penuh liku-liku dramatis. Cerita-cerita sekitar dirinya, sejak
kami masih di Asrama Kaigun, Jakarta pun sangat banyak dibungkus mitos.
Para jagoan Senen bilang, pernah Rapar memukul seorang preman kawakan
yang sedang bersandar di tiang listrik, preman itu berhasil mengelak,
hasilnya tinju Rapar mendarat ditiang listrik yang lantas....bengkok!
Waktu
di Jogja, ia sudah menjadi Komandan Reguler Pasukan sebuah Brigade yang
berwibawa, yaitu Brigade XII. Rapar masih suka melakukan kebiasaan
lamanya dengan kemana-mana membawa ular Python besar yang dililitkan
dibadannya. Banyak sekali kisah tentang Jan Rapar, namun latar
belakangnya tidak banyak diketahui orang. Ada yang bilang Rapar itu nama
ibunya, sebenarnya dia vam (marga) Waworuntu.
Bersambung ...
♜ Diposkan Erwin Parikesit (Kaskuser)