Ketika agresi Cina di Laut Cina Selatan kian menguat, TNI masih sibuk mengurus ancaman hantu komunisme dan separatisme. Mampukah TNI melindungi klaim teritorial Indonesia seperti yang diminta Presiden Joko Widodo? Prajurit TNI pada upacara HUT ke-72 di Cilegon, Banten, Rabu (5/10) ☆
Susi Pudjiastuti bukan figur yang dikenal gemar bermanis kata. Namun keluhannya tentang kesiapan TNI menjaga kedaulatan maritim Indonesia terdengar sayup di tengah kegaduhan soal ambisi politik Panglima Gatot Nurmantyo. "Pemerintah tidak memperbaiki sistem alutsista untuk sektor kelautan, sebaliknya malah fokus melindungi daratan," cetusnya seperti dilansir Jakarta Post.
Keluhan menteri kelautan dan perikanan itu bukan tanpa alasan. Sejak tujuh dekade silam TNI diplot untuk melindungi kedaulatan di darat dari kekuatan kolonial dan gelombang separatisme. Hingga kini tulang punggung pertahanan Indonesia adalah Angkatan Darat, yang mengklaim 80% dari 400.000 prajurit TNI. Padahal, kata Susi, 70% wilayah Indonesia merupakan lautan.
Saat ini Angkatan Laut Indonesia punya 7 kapal fregat, 24 korvet, 4 kapal selam, 12 kapal penyapu ranjau dan 72 kapal patroli. Meski terdengar banyak, lebih dari separuh armada laut Indonesia telah berusia uzur dan harus dipensiunkan dalam beberapa tahun ke depan. Kekuatan TNI jauh berada di bawah Cina yang saat ini pun sedang giat menambah armada kapal induk, kapal berkapasitas berat, dan kapal selam untuk melindungi klaim teritorialnya di Laut Cina Selatan.
Beijing juga aktif membangun pangkalan militer di Kepulauan Spratly, termasuk landasan pacu. Menurut pengamat, Indonesia hanya punya waktu 15 menit untuk mempersiapkan pertahanan di Natuna jika Cina melancarkan serangan udara dari Laut Cina Selatan.
Belakangan Jakarta meningkatkan pengamanan di perairan Natuna. Saat ini Indonesia adalah kekuatan terbesar kedua setelah Cina dalam konflik di Laut Cina Selatan. TNI AL saat ini memiliki 2 kapal selam, 12 kapal fregat dan perusak, 27 korvet, 64 kapal patroli, 19 kapal pendarat tank dan 43 kapal penjaga pantai. Namun begitu usia armada laut Indonesia juga tergolong yang paling tua di kawasan.
Maka pembelian alutsista untuk pertahanan udara dan laut yang dilakukan pemerintah belakangan ini ibarat setetes air di padang pasir. Agustus silam Indonesia menyepakati pembelian 11 Sukhoi SU-35 dan menerima kapal selam seberat 1.400 ton buatan Daewoo, Korea Selatan. Sementara kapal perang teranyar milik TNI adalah 4 kapal perusak berpeluru kendali kelas SIGMA yang dibeli dari Belanda lebih dari sepuluh tahun silam.
Selain keterbatasan alat, TNI juga ditengarai kerepotan menggalang ketahanan energi. Hal ini pertamakali diungkapkan ke publik oleh Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo pada 2013 silam. "TNI enggak punya ketahanan energi. Pesawat ada, kapal ada, tapi tidak bisa digerakkan dengan air," ujarnya seperti dilansir Tirto.co.id.
Perlu diakui, melindungi wilayah perairan yang membentang sepanjang 5.000 kilometer dari timur ke barat bukan tugas ringan. Tugas tersebut menjadi lebih rumit ketika Cina menggunakan nelayan sipil untuk mengokohkan klaim teritorialnya atas kawasan perairan di sekitar kepulauan Natuna. Tahun 2016 silam, ketika Indonesia berusaha menangkap kapal nelayan ilegal asal Cina, Pasukan Penjaga Pantai dari negeri tirai bambu itu bereaksi cepat melindungi warganya.
Susi pernah mengklaim kerugian yang ditanggung Indonesia dari penangkapan ilegal sudah mencapai 240 trilyun Rupiah per tahun. Namun upayanya menghalau nelayan asing terbentur keterbatasan alat. "Fasilitas yang ada sangat terbatas. Kita hanya punya beberapa kapal patroli kecil," imbuh sang menteri.
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum.
Ancaman dari Laut Cina Selatan bukan satu-satunya tantangan yang harus dihadapi Indonesia. Sejak beberapa tahun silam TNI AL juga sibuk mengawasi perairan di sekitar Laut Sulu dan Celebes untuk meredam geliat terorisme yang sedang mengakar di Filipina. Provinsi Sulawesi Utara hanya berjarak 300km dari Mindanao yang sering didera terorisme lintas batas.
Sebab itu pula polemik seputar hak politik TNI dinilai tiba pada saat yang tidak tepat. "Sampai kapanpun juga kita harus waspada terhadap upaya dari luar yang merongrong keutuhan wilayah Indonesia," kata Presiden Joko Widodo dalam sambutan HUT ke-72 TNI di Cilegon, Rabu (5/10). Isyarat dari Istana Negara itu sulit dilewatkan, TNI harus fokus ke luar, bukan ke dalam.
Arah kebijakan pertahanan yang dilantunkan Istana tidak berbanding lurus dengan strategi militer Cilangkap. Kepada Tirto, Kusnanto Anggoro, peneliti politik dan keamanan internasional sekaligus dosen di Universitas Pertahanan Indonesia, mengatakan desain pertahanan yang tertuang dalam kebijakan Minimum Essential Force hingga 2024 masih berkutat pada ancaman internal berupa "separatisme dalam negeri."
"Melihat konstelasi Cina di Laut Cina Selatan, kisruh mereka dengan India dan penempatan pasukan AS di Darwin, saya tidak yakin TNI hanya cukup mengurus pertahanan internal sampai 2024," katanya.
Sejauh ini petinggi militer lebih suka tenggelam pada romantisme perang kemerdekaan. "Kita akan berjuang sampai titik darah penghabisan," kata Panglima TNI Gatot Nurmantyo ihwal ancaman dari Laut Cina Selatan. Tidak berbeda dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. "Kita punya 100 juta rakyat. Ada yang berani menyerang 100 juta? Pasti tidak berani."
Susi Pudjiastuti bukan figur yang dikenal gemar bermanis kata. Namun keluhannya tentang kesiapan TNI menjaga kedaulatan maritim Indonesia terdengar sayup di tengah kegaduhan soal ambisi politik Panglima Gatot Nurmantyo. "Pemerintah tidak memperbaiki sistem alutsista untuk sektor kelautan, sebaliknya malah fokus melindungi daratan," cetusnya seperti dilansir Jakarta Post.
Keluhan menteri kelautan dan perikanan itu bukan tanpa alasan. Sejak tujuh dekade silam TNI diplot untuk melindungi kedaulatan di darat dari kekuatan kolonial dan gelombang separatisme. Hingga kini tulang punggung pertahanan Indonesia adalah Angkatan Darat, yang mengklaim 80% dari 400.000 prajurit TNI. Padahal, kata Susi, 70% wilayah Indonesia merupakan lautan.
Saat ini Angkatan Laut Indonesia punya 7 kapal fregat, 24 korvet, 4 kapal selam, 12 kapal penyapu ranjau dan 72 kapal patroli. Meski terdengar banyak, lebih dari separuh armada laut Indonesia telah berusia uzur dan harus dipensiunkan dalam beberapa tahun ke depan. Kekuatan TNI jauh berada di bawah Cina yang saat ini pun sedang giat menambah armada kapal induk, kapal berkapasitas berat, dan kapal selam untuk melindungi klaim teritorialnya di Laut Cina Selatan.
Beijing juga aktif membangun pangkalan militer di Kepulauan Spratly, termasuk landasan pacu. Menurut pengamat, Indonesia hanya punya waktu 15 menit untuk mempersiapkan pertahanan di Natuna jika Cina melancarkan serangan udara dari Laut Cina Selatan.
Belakangan Jakarta meningkatkan pengamanan di perairan Natuna. Saat ini Indonesia adalah kekuatan terbesar kedua setelah Cina dalam konflik di Laut Cina Selatan. TNI AL saat ini memiliki 2 kapal selam, 12 kapal fregat dan perusak, 27 korvet, 64 kapal patroli, 19 kapal pendarat tank dan 43 kapal penjaga pantai. Namun begitu usia armada laut Indonesia juga tergolong yang paling tua di kawasan.
Maka pembelian alutsista untuk pertahanan udara dan laut yang dilakukan pemerintah belakangan ini ibarat setetes air di padang pasir. Agustus silam Indonesia menyepakati pembelian 11 Sukhoi SU-35 dan menerima kapal selam seberat 1.400 ton buatan Daewoo, Korea Selatan. Sementara kapal perang teranyar milik TNI adalah 4 kapal perusak berpeluru kendali kelas SIGMA yang dibeli dari Belanda lebih dari sepuluh tahun silam.
Selain keterbatasan alat, TNI juga ditengarai kerepotan menggalang ketahanan energi. Hal ini pertamakali diungkapkan ke publik oleh Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo pada 2013 silam. "TNI enggak punya ketahanan energi. Pesawat ada, kapal ada, tapi tidak bisa digerakkan dengan air," ujarnya seperti dilansir Tirto.co.id.
Perlu diakui, melindungi wilayah perairan yang membentang sepanjang 5.000 kilometer dari timur ke barat bukan tugas ringan. Tugas tersebut menjadi lebih rumit ketika Cina menggunakan nelayan sipil untuk mengokohkan klaim teritorialnya atas kawasan perairan di sekitar kepulauan Natuna. Tahun 2016 silam, ketika Indonesia berusaha menangkap kapal nelayan ilegal asal Cina, Pasukan Penjaga Pantai dari negeri tirai bambu itu bereaksi cepat melindungi warganya.
Susi pernah mengklaim kerugian yang ditanggung Indonesia dari penangkapan ilegal sudah mencapai 240 trilyun Rupiah per tahun. Namun upayanya menghalau nelayan asing terbentur keterbatasan alat. "Fasilitas yang ada sangat terbatas. Kita hanya punya beberapa kapal patroli kecil," imbuh sang menteri.
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum.
Ancaman dari Laut Cina Selatan bukan satu-satunya tantangan yang harus dihadapi Indonesia. Sejak beberapa tahun silam TNI AL juga sibuk mengawasi perairan di sekitar Laut Sulu dan Celebes untuk meredam geliat terorisme yang sedang mengakar di Filipina. Provinsi Sulawesi Utara hanya berjarak 300km dari Mindanao yang sering didera terorisme lintas batas.
Sebab itu pula polemik seputar hak politik TNI dinilai tiba pada saat yang tidak tepat. "Sampai kapanpun juga kita harus waspada terhadap upaya dari luar yang merongrong keutuhan wilayah Indonesia," kata Presiden Joko Widodo dalam sambutan HUT ke-72 TNI di Cilegon, Rabu (5/10). Isyarat dari Istana Negara itu sulit dilewatkan, TNI harus fokus ke luar, bukan ke dalam.
Arah kebijakan pertahanan yang dilantunkan Istana tidak berbanding lurus dengan strategi militer Cilangkap. Kepada Tirto, Kusnanto Anggoro, peneliti politik dan keamanan internasional sekaligus dosen di Universitas Pertahanan Indonesia, mengatakan desain pertahanan yang tertuang dalam kebijakan Minimum Essential Force hingga 2024 masih berkutat pada ancaman internal berupa "separatisme dalam negeri."
"Melihat konstelasi Cina di Laut Cina Selatan, kisruh mereka dengan India dan penempatan pasukan AS di Darwin, saya tidak yakin TNI hanya cukup mengurus pertahanan internal sampai 2024," katanya.
Sejauh ini petinggi militer lebih suka tenggelam pada romantisme perang kemerdekaan. "Kita akan berjuang sampai titik darah penghabisan," kata Panglima TNI Gatot Nurmantyo ihwal ancaman dari Laut Cina Selatan. Tidak berbeda dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. "Kita punya 100 juta rakyat. Ada yang berani menyerang 100 juta? Pasti tidak berani."