Jakarta - Ketika bangsa Indonesia memperingati ulang tahun kemerdekaan ke-68 pada 17 Agustus 2013, terasa sekali ada sesuatu yang tidak pada jalur yang benar. Nasionalisme, yang pada 1945 menjadi pendorong utama untuk berjuang merebut kemerdekaan dari penjajah, sekarang hampir tak terasa lagi di masyarakat Indonesia.
Nasionalisme adalah sikap, pikiran, dan perasaan anggota satu bangsa yang menyatakan keterikatan, hubungan emosional dengan bangsa dan negaranya, disertai harapan serta usaha agar bangsa dan negaranya memiliki tempat terhormat dan menonjol di antara negara dan bangsa lainnya. Hal itu membuat harga dirinya kuat serta menjadikannya bangga menjadi warga bangsa itu.
Dengan terjadinya globalisasi, banyak orang berpikir bahwa nasionalisme akan lenyap dari kehidupan manusia. Bahkan ada yang menyerukan bahwa pada akhir abad ke-20 dan sesudahnya, negara tidak memerlukan batas-batas kewilayahan lagi (nations without frontiers). Menurut mereka, pengertian negara-bangsa (nation states) akan hilang dari kehidupan umat manusia.
Namun pandangan itu dalam perkembangannya tidak terbukti. Memang makin banyak terbentuk asosiasi antar-negara, baik dalam hubungan regional maupun dalam rangka kepentingan yang lain, khususnya dalam rangka ekonomi. Tetapi, dalam asosiasi-asosiasi itu, tempat dan eksistesi negara tetap penting, tidak hilang pengertian kedaulatan satu negara. Faktor yang tetap kuat dalam eksistensi dan jalannya negara adalah nasionalisme.
Ada ideologi yang tidak menyukai nasionalisme, seperti komunisme, yang menilai nasionalisme merugikan kehidupan manusia. Namun, dalam kenyataan, betapapun kuat peran ideologi dalam satu negara, ternyata faktor itu tidak dapat menghilangkan nasionalisme. Terjadi perseteruan cukup seru antara Uni Soviet yang komunis dan RRC yang sama komunisnya, karena masing-masing mengejar kepentingan nasionalnya. Juga di lingkungan Barat, kita melihat hubungan kurang serasi antara Amerika Serikat dan Prancis yang sama-sama berada dalam kamp liberalisme-individualisme, tetapi sering berbeda kepentingan nasionalnya.
Malah RRC yang secara resmi negara komunis menjadi negara yang makin nasionalis serta mengejar kepentingan nasional yang tradisional pada Cina. Juga Amerika Serikat, yang mengobarkan globalisasi, malah makin kuat nasionalismenya, terutama setelah mendapat pukulan dari Al-Qaeda pada 11 September 2001.
Tampak sekali bahwa nasionalisme merupakan paham mendasar bagi eksistensi satu negara. Sikap itu secara naluri timbul untuk menjamin kelangsungan hidup dan mewujudkan kesejahteraan. Dalam kondisi dunia demikian, bangsa Indonesia juga perlu sekali memelihara nasionalisme yang tangguh seperti saat dikembangkan untuk merebut kemerdekaan dari penjajah.
Ada kalangan tertentu elite bangsa kita yang mencemooh nasionalisme. Mereka menganggap nasionalisme sebagai pandangan ketinggalan zaman. Hakikatnya sikap kaum elite ini melemahkan dan membahayakan masa depan bangsa kita, karena bangsa Indonesia menghadapi kondisi umat manusia dengan bangsa-bangsa yang mengutamakan nasionalisme bagi perkembangan negaranya.
Nasionalisme Indonesia Dilandasi Pancasila
Nasionalisme Indonesia tidak bisa dan tidak boleh lepas dari dasar negara RI, Pancasila. Nasionalisme bisa memiliki macam-macam muka, dan nasionalisme Indonesia yang benar dan kuat hanya terwujud bila dilandasi Pancasila.
Adalah Bung Karno, presiden pertama RI, yang pada 1 Juni 1945 menyampaikan pandangannya di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tentang Pancasila. Beliau katakan bahwa negara Indonesia yang akan kita dirikan memerlukan satu weltanschauung atau pandangan hidup bangsa.
Kemudian beliau menguraikan pandangan yang beliau namakan Pancasila. Bung Karno menyatakan bahwa negara yang kita dirikan harus dilandasi nasionalisme. Tetapi nasionalisme yang kita bangun harus nasionalisme yang tumbuh dalam taman sari internasionalisme, bukan nasionalisme yang sempit dan chauvinis, melainkan nasionalisme yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab.
Selain itu, nasionalisme yang kita bangun harus menjunjung tinggi kerakyatan atau demokrasi, bukan nasionalisme yang diktator. Sebab kedaulatan bangsa harus di tangan rakyat. Juga nasionalisme yang mengutamakan kesejahteraan yang tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia disertai keadilan sosial yang menjadikan rakyat selalu setia pada negara dan bangsa. Dan nasionalisme Indonesia ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan nasionalisme ateis atau sekuler. Nasionalisme yang menjunjung tinggi kehidupan bermoral sesuai dengan ajaran agama-agama yang ada dalam kehidupan umat manusia.
Sidang BPUPKI menerima dan menyetujui pandangan Bung Karno itu. Ketika kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merumuskan Pancasila, digunakanlah beberapa istilah lain dan susunan berbeda dari yang dikemukakan Bung Karno pada 1 Juni 1945, tapi pengertiannya tetap sama. Kata nasionalisme diganti dengan persatuan Indonesia, internasionalisme dengan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam susunan Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sila kedua, Persatuan Indonesia sila ketiga, sila keempat adalah Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sila kelima. Dasar negara Pancasila ini menjadi landasan setiap aspek kehidupan negara Republik Indonesia dan bangsanya.
Nasionalisme Indonesia akan tangguh dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa serta mencapai tujuan nasional bangsa selama ia dilandasi Pancasila sebagai dasar negara.
Keadaan Nasionalisme Indonesia
Merupakan satu kenyataan bahwa nasionalisme Indonesia dewasa ini dalam keadaan yang jauh dari memuaskan. Hal itu tidak selalu demikian. Nasionalisme Indonesia pernah kokoh dan kuat. Dengan nasionalisme yang kuat, bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dan mendirikan negara Republik Indonesia yang diakui semua bangsa di dunia. Bahwa keadaannya sekarang kurang baik, itu merupakan akibat perkembangan selama Indonesia merdeka.
Setelah negara RI berdiri kokoh pada 1951, sebetulnya kepemimpinan nasional harus melakukan konsolidasi ke dalam untuk memantapkan Pancasila sebagai dasar negara RI. Sebab mayoritas rakyat belum paham benar tentang Pancasila. Selain itu, dalam perjuangan kemerdekaan, cukup banyak orang Indonesia yang berpihak pada Belanda dan yang sikapnya setengah-setengah lebih banyak.
Memang Bung Karno sebagai presiden pertama bicara tentang perlunya nation and character building, tetapi dalam kenyataan tak pernah dilakukan secara sungguh-sungguh. Selain itu, Bung Karno kurang memperhatikan keseimbangan antara menciptakan kesejahteraan rakyat dan perjuangan politik dalam arena internasional. Akibatnya, pemahaman Pancasila tidak mendalam dan meluas. Ditambah makin menurunnya kesejahteraan rakyat membuat kurangnya pemeliharaan nasionalisme.
Dalam kepemimpinan Presiden Soeharto sebagai presiden kedua, mula-mula dicapai kemajuan ketika kesejahteraan rakyat membaik dan Pancasila diperluas pemahamannya melalui penataran, pemahaman, dan pengamalan Pancasila. Sayangnya, permulaan baik itu mengendur ketika kepemimpinan Pak Harto berat pada kepentingan keluarga beliau. Di samping itu, pembangunan ekonomi amat dipengaruhi IMF dan Bank Dunia yang membawa paham neoliberalisme.
Akibatnya, kesenjangan antara pihak kaya dan miskin makin lebar. Sikap masyarakat makin berorientasi pada individualisme dan materialisme, pada uang dan benda. Mulai meluas korupsi di berbagai aspek kehidupan. Sumber daya alam Indonesia yang tinggi potensinya makin dikuasai pihak asing, sedangkan rakyat Indonesia sendiri kurang menikmati manfaatnya. Makin sukar bagi rakyat untuk bangga akan negara dan bangsanya.
Kemudian datang masa reformasi yang bukannya menjadikan Pancasila kenyataan di bumi Indonesia, melainkan justru makin menghilangkan peran dan arti Pancasila dalam kehidupan bangsa. UUD 1945 diamandemen empat kali, yang menjadikan konstitusi itu penuh kontradiksi antara pembukaan yang memuat dasar negara dan batang tubuh yang penuh dengan pasal yang bertentangan dengan Pancasila.
Ekonomi makin didominasi paham neoliberal yang membanggakan kemajuan makro, seperti pertumbuhan 6% setahun, tapi tidak menghiraukan bahwa kemiskinan masih dan makin menjerat kehidupan rakyat banyak. Jadi, kalau sekarang nasionalisme Indonesia kurang kuat, itu merupakan akibat kepemimpinan yang kurang bermutu dan manajemen nasional yang tidak efektif.
Orang Indonesia senang bicara dan berteori, membuat Indonesia kaya dengan teori dan konsep yang brilyan, tapi amat lemah dalam implementasi yang konsisten dan efektif. Para pemimpin hebat sekali berwacana. Tapi, sayangnya, kebanyakan tinggal pada wacana belaka dan tidak merasa perlu mengimbangi wacana itu dengan tindakan nyata.
Maka, untuk membuat nasionalisme Indonesia tangguh dan kokoh kembali, syarat pertama adalah perbaikan dan peningkatan mutu kepemimpinan di semua tingkat dan aspek kehidupan bangsa, disertai pelaksanaan manajemen yang efektif. Khususnya kepemimpinan dan manajemen pada tingkat nasional. Kepemimpinan yang menyadari bahwa nilai-nilai Pancasila perlu hidup dan berkembang nyata dalam kehidupan bangsa Indonesia serta mengusahakan dengan penuh kesungguhan agar hal itu tercapai.
Dengan begitu, potensi nasional yang besar dan bernilai tinggi berupa sumber daya alam, sumber daya manusia, dan kondisi geografi yang menguntungkan akan mendatangkan kesejahteraan dan kemajuan untuk kehidupan rakyat banyak. Kalau rakyat sejahtera, negara akan kuat. Itulah wujud nasionalisme Indonesia yang tangguh.
(Sayidiman Suryohadiprojo)
Mantan Gubernur Lemhannas