Setelah pertempuran di Bukit Sudan, TNI menyusun siasat baru. Mengapa GAM susah ditekuk?
PETANG
menyapu perbukitan Sudan, Matang Kumbang, Bireuen, Senin pekan lalu.
Angin laut menusuk sumsum, awan di bukit kian tebal. Dari balik pohon
pinang, lamat-lamat terdengar suara rintihan. Letnan Dua Karno kontan
bergerak mendekati arah suara. Ia terperanjat bukan kepalang melihat
seorang anak buahnya tersungkur bersimbah darah. Tergesa-gesa Karno
membopong tubuh besar bawahannya itu.
Tak disangka, di
dekat tubuh sang prajurit itu bersembunyi seorang tentara Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), yang tiba-tiba melepas tembakan beruntun. Tretetet..,
braak, Karno langsung roboh. Ia tewas seketika. Rupanya serdadu GAM itu
terjebak di arena pertempuran dan gagal menyelamatkan diri. Ia lalu
bersembunyi di sebuah lubang kecil, dekat tentara Indonesia yang
tersungkur. Si GAM juga kemudian mati dihantam pelor tentara Republik
lainnya.
Di sisi selatan bukit yang terletak di belahan
utara Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam itu, pertempuran lebih sengit.
Puluhan pasukan Indonesia berusaha merangsek ke jantung musuh. Langkah
ini tergolong nekat. Sebab, di keremangan petang itu jarak pandang cuma
dalam hitungan meter. Dan benar saja, rentetan tembakan menyalak dari
atas bukit. Tiga tentara Indonesia tersambar peluru. Maut langsung
menjemput. Perang ini baru berhenti tengah malam.
Esoknya,
Selasa dini hari pekan lalu, pasukan TNI menyapu kawasan perbukitan
itu. Sebagaimana luas diberitakan, lima orang GAM ditemukan tewas,
termasuk seorang serdadu wanita, disebut Inong Balee dalam struktur
militer GAM. Di pihak TNI sendiri tercatat tujuh tentara yang tewas dan
tujuh orang lainnya luka parah (lihat boks Inong Balee, Dibakar Dendam).
Inilah
pertempuran yang paling berdarah-darah. “Paling heroik dan bernilai
tinggi selama perang ini,” kata Brigadir Jenderal Bambang Dharmono,
Panglima Komando Operasi Militer TNI, kepada wartawan sesaat setelah
evakuasi mayat pasukannya dari bukit jahanam itu. Sebuah pernyataan yang
jujur sekaligus menjadi bukti bahwa militer GAM ternyata tak gampang
ditekuk. Sejak berlakunya darurat militer 19 Mei lalu, pertempuran di
Bukit Sudan, Bireuen, itu memang yang terbesar. Tujuh tentara yang tewas
itu adalah korban terbesar di pihak Indonesia selama perang ini.
Bagi
GAM, inilah keberhasilan pertama mereka, setelah sebelumnya
terus-terusan dihajar TNI. Ketika dihubungi TEMPO Jumat pekan lalu,
Sofyan Daud, juru bicara GAM, mengumbar kata. “Perang di Bukit Sudan itu
adalah bukti bahwa di bukit-bukit dan di gunung-gunung, kami lebih
unggul,” tuturnya melalui sambungan telepon satelit. Ia pun mengancam
bahwa pertempuran berikutnya akan lebih dahsyat. “Catat itu,” sergahnya
dengan nada garang.
Sejak awal perang ini meletus, para
petinggi gerakan itu telah sesumbar bahwa satuan elite dalam tubuh GAM
yang akan mendikte ihwal di mana dan kapan perang akan berlangsung.
Sofyan Daud menyebut bahwa petinggi GAM telah memerintahkan
satuan-satuan khusus militer gerakan itu untuk mencegat tentara
Indonesia di wilayah pegunungan, bukit, dan daerah rawan lainnya.
Satuan
khusus GAM? Yang habis-habisan bertempur melawan TNI di Bukit Sudan itu
adalah Pasukan Singa Mate, satuan elite Angkatan Darat GAM, pimpinan
Darwis Jeneib. Menurut Sofyan, Darwis adalah panglima regional–semacam
Pangdam–untuk daerah Bireuen. “Darwis luput dari baku tembak itu, dan
kini siap melanjutkan pertempuran,” kata Sofyan.
Dalam
strukturnya, GAM memang memiliki sejumlah satuan khusus. Satuan elite
angkatan darat bernama Singa Mate itu, misalnya, juga kerap disebut
pasukan baret hijau, karena menggunakan topi berwarna hijau sebagai
baret kesatuannya. Di angkatan laut mereka memiliki satuan khusus
bernama Singa Metareng, yang juga disebut pasukan baret merah.
Para
pentolan pasukan khusus itu mendapat pendidikan istimewa. Mereka lama
digembleng di Tanjura, Libya. Di Negeri Muammar Qadhafi inilah ratusan
pemuda Aceh pernah dilatih secara militer. Kepada TEMPO yang menemuinya
di Stockholm, Swedia, beberapa waktu lalu, Hasan Tiro–Presiden
GAM–dengan bangga memperdengarkan rekaman pidatonya di hadapan pasukan
GAM di Tripoli, Libya, pada 1985.
Pidato Hasan
disampaikan dalam bahasa Arab, Prancis, Inggris, dan Aceh. Isinya heroik
dan penuh gelegar. Di situ jelas terdengar bahwa Tiro lebih menaruh
harapan pada para serdadu itu untuk memerdekakan Aceh, ketimbang
menuainya dari jalur diplomasi. Meski terbelah dalam pelbagai faksi,
kubu Hasan Tirolah yang sangat berpengaruh bagi para serdadu dan anggota
GAM.
Para serdadu itu, terutama pasukan elitenya,
hampir semuanya bersenjata lengkap. Selain menenteng AK-47, mereka punya
pelontar granat, juga handy talkie sebagai alat berkomunikasi.
Pertempuran di Bukit Sudan, Senin pekan lalu itu, dibuka dengan gelegar
serangan pelontar granat dari atas bukit ke arah truk-truk militer
Indonesia yang sedang berpatroli. Begitu tentara Indonesia terumpan ke
atas bukit, salakan Kalashnikov dari atas bukit langsung menyambut.
Di
tengah serunya baku tembak itu, sistem komunikasi TNI berhasil menyadap
lalu lintas pembicaraan para petinggi GAM. Di situ terdengar, mereka
meminta bantuan pasukan dari beberapa wilayah terdekat. Pada akhir
pertempuran itu, pasukan mereka terdesak lalu mengambil langkah seribu
ke balik bukit yang dirimbuni belukar. Selamat.
Memasuki
pekan keempat dalam perang ini, boleh dibilang pasukan Indonesia berada
di atas angin. Data yang dilansir TNI menyebutkan, hingga pekan lalu,
172 GAM tewas ditembak, 111 ditangkap, dan 144 menyerah. Walau petinggi
GAM mengklaim bahwa korban umumnya warga sipil, fakta di lapangan
terlihat bahwa tentara mereka terdesak hampir di semua wilayah.
Satuan-satuan elite GAM itu kini menyingkir ke perbukitan, ke gunung,
juga ke rawa-rawa.
Selain di kawasan Bukit Sudan,
pasukan GAM juga menyingkir ke kawasan Gunung Leuser dan di belantara
Mampree, Gunung Patisah, Kabupaten Pidie. Hutan Mampree itu menyimpan
heroisme dalam sejarah perjuangan gerakan ini. Di situlah, dulu, akhir
tahun 1970-an, Hasan Tiro, sang Wali Nanggroe, yang kini menetap dan
menjadi warga negara Swedia, bergerilya sebelum akhirnya hengkang ke
negeri seberang.
Selain ke gunung-gunung, tentara GAM
juga menyingkir ke sejumlah daerah rawa-rawa jika dijepit musuh. Juru
bicara GAM, Sofyan Daud, misalnya, diduga berada di daerah Jambo Aye,
Panton Labu, Aceh Utara. Kawasan ini disebut-sebut amat dicintai oleh
pasukan Sofyan. Sebab, jika terdesak musuh, mereka bisa menyelinap ke
rawa-rawa yang cukup luas (lihat Jalur Maut GAM).
Tak
mengherankan jika konsentrasi TNI mengarah ke kawasan rawan itu. Dua
pekan lalu, Pasukan Cakra dan Satgas Mobil Satu dari TNI mengurung ketat
selama tiga hari. Salakan peluru bersahut-sahutan. Panglima Komando
Operasi Militer, Brigadir Jenderal Bambang Dharmono, yang ikut mengawasi
jalannya pengepungan itu, bilang, “Kami mengintensifkan operasi ini
sampai titik di mana konsentrasi mereka berada. Kami datang, lalu kami
hancurkan.”
Tapi hingga akhir pengepungan itu, Sofyan
seperti raib. Loloskah juru propaganda yang juga Panglima GAM Wilayah
Pase ini? Sofyan mengaku bahwa jaringan intel mereka sudah mencium
adanya persiapan besar-besaran untuk mengurung kawasan ini. Itu
sebabnya, “Saya sudah meloloskan diri ke daerah rawa-rawa sesaat sebelum
dikepung,” katanya sembari tertawa.
Daerah rawa-rawa
memang menjadi kawasan paling nyaman bagi tentara GAM untuk kabur. Di
Aceh Timur, misalnya, kawasan rawa-rawa Matang Ibong, Peurlak, adalah
surga bagi anggota GAM untuk menyelamatkan diri. Di sini tentara mereka
gemar menggunakan siasat hit and run. Melesat keluar menyerang lawan,
menyelinap ke rawa-rawa jika musuh balik merangsek, lalu menyerang lagi
kalau musuh sedang lengah, dan begitu seterusnya.
Siasat
itulah yang mereka lakukan ketika anggota TNI dari Detasemen Pemukul
Baladika, pimpinan Kapten Riyanto, melintas di Peurlak, dua pekan lalu.
Mereka mendadak diberondong oleh puluhan tentara GAM. Desingan peluru
bersahut-sahutan memecah keheningan kampung kecil itu. Tiga GAM tewas di
situ. Merasa dijepit kiri-kanan, puluhan gerakan separatis bersenjata
lainnya kabur ke rawa-rawa. Sisanya ngacir menggunakan speedboat lewat
sungai. “Mereka tak terkejar dan lolos,” kata Riyanto.
Rute
lolos lainnya juga disiapkan. Mereka kabur ke kota-kota lain di kawasan
Sumatera dalam tiga pekan terakhir ini. Aparat kepolisian di Aceh sudah
mencium adanya rencana melarikan diri itu. Dan itu sebabnya, kepolisian
menem-patkan sejumlah personel di sejumlah pelabuhan laut dan
jalur-jalur keluar di seantero Aceh. Tugas para polisi adalah memelototi
setiap orang yang keluar melewati pelabuhan. Bila mencurigakan, tangkap.
Di
samping menjaga pelabuhan, aparat kepolisian juga melakukan razia KTP
di jalan-jalan. Memang, hingga sekarang pihak kepolisian Aceh belum
menangkap seorang pun selama pemeriksaan di jalan-jalan itu. “Tapi
paling tidak kita sudah menutup jalur-jalur keluar itu,” kata Ajun
Komisaris Besar Polisi Sayed Husaini, juru bicara Polda Aceh. “Jika
tidak disisir sekarang, setelah enam bulan masa darurat militer ini,
mereka bisa eksis lagi,” kata Bambang Dharmono.
Dengan
pengawalan ketat seperti itu, diharapkan GAM akan terkurung terus di
Aceh, hingga bisa ditekuk oleh tentara Indonesia. Tapi sejumlah anggota
GAM lolos juga ke luar Aceh. Kamis pekan lalu, misalnya, polisi Riau
menangkap tujuh anggota yang kabur ke wilayah itu. Ketujuh orang itu,
kata polisi, adalah tentara aktif GAM di wilayah Pidie. Mereka juga
terciduk di Pekanbaru. Di Medan, dua pekan lalu, polisi sukses mencokok
Mustafa Ibrahim, Panglima Sagoe–setingkat Komandan Rayon Militer dalam
TNI–GAM Wilayah Panggoi, Aceh Utara.
Bagaimana mereka
bisa lolos dari intaian aparat di Aceh? Menurut Kapolri Jenderal Da’i
Bachtiar, pasukan GAM yang kabur itu tidak melewati jalur-jalur umum
sebagaimana masyarakat biasa, tetapi melalui “jalan tikus”. Dengan cara
inilah mereka menyusup keluar perbatasan Aceh dan menetap di sejumlah
kota kecil di kawasan Sumatera–setelah menukar identitasnya.
Siasat
ganti identitas itu juga dilakukan di sejumlah kabupaten di Aceh. Jika
posisi mereka kian terjepit, para gerilyawan yang juga mengenakan
seragam loreng mirip tentara Indonesia itu akan segera melepas busana
perang itu dan berganti pakaian biasa. Mereka lalu hidup normal dan
luwes membaur di tengah masyarakat. Senjata-senjata dikuburkan di tanah,
untuk sewaktu-waktu digunakan lagi.
Taktik GAM itu
cukup menyulitkan tentara Indonesia. Sebab, bila para pemuda yang
menyaru itu ditembak, GAM dengan enteng mengklaim bahwa pasukan
Indonesia salah sasar, warga sipil ditembak mati. “Padahal,” kata sumber
yang merupakan petinggi TNI ini, “para penyamar itu amat berbahaya,
karena mereka sendiri memiliki senjata.”
Sebab itu,
belakangan ini TNI di Aceh aktif menyisir sejumlah kawasan yang diduga
sebagai tempat penguburan senjata. Lokasinya diduga ada di rawa-rawa dan
wilayah perbukitan. Lubang kecil, tempat Letnan Dua Karno tertembak di
Bukit Sudan itu, termasuk dicurigai sebagai tempat penguburan sejumlah
senjata milik GAM. Lubang seperti itu banyak ditemukan di lereng bukit
tersebut.
Setelah pertempuran itu, pekan-pekan ini para
petinggi sibuk mengubah taktik perang. “Kalau musuh mengubah-ubah
strategi, kita pun harus menangkalnya dengan bermacam-macam strategi,”
kata Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Ryamizard Ryacudu, kepada
wartawan di Lhokseumawe, Aceh, Rabu pekan lalu. Tapi Sofyan Daud tak mau
kalah. “Kami akan menyajikan banyak kejutan dalam perang ini.”
Saling
gertak, saling ancam, lalu korban berjatuhan di seantero negeri, juga
di Bukit Sudan. Kepedihan ini akan terpendam sepanjang hayat.
Wenselaus Manggut, Abdul Manan, Yuswardi ( Banda Aceh) Zainal Bakri (Lhokseumawe)
TEMPO Edisi 030622-016/Hal. 26 Rubrik Laporan Utama