Sabtu, 04 Januari 2020

Kawal Ketat Natuna

Indonesia Perlu Kapal jenis Ocean GoingKapal Iver Huitfeldt class telah beberapa kali ditinjau Kemhan [Toast Master]

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Indonesia kekurangan kapal patroli di Perairan Natuna. Oleh sebab itu, tak heran kalau tahu-tahu ada kapal negara lain yang masuk tanpa izin.

Contohnya kapal China yang masuk ke Natuna dan menimbulkan ketegangan di awal 2020 ini. Hal ini pun sudah dikoordinasikan Luhut dengan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.

Rencananya pemerintah akan menambah kapal besar dengan jenis ocean going (lintas samudera) untuk menjaga Natuna.

"Jadi ke depannya, Pak Bowo (Menhan Prabowo Subianto) tadi juga sudah bilang akan memperbanyak kapal angkatan laut. Tadi saya usul supaya ada ocean going kapal yang lebih panjang karena di situ kalau kamu beli kapal 105 meter, baru 2 hari kamu sudah muntah darah," ujar Luhut usai bertemu Prabowo Subianto di kantornya, Kementerian Koordinator Kemaritiman, Jakarta, Jumat (3/1/2020).

Menurut Luhut sejak Indonesia merdeka belum punya kapal ocean going. Soal pembeliannya sendiri diserahkan kepada Kementerian Pertahanan, baik harga maupun unitnya.

"Kita belum pernah punya selama republik ini merdeka. Jadi sekarang ini yang tadi dengan Pak Bowo itu, mau beli yang 138-140 meter frigate," kata Luhut.

"Kalau belinya ya nggak tahu itu urusannya Menteri pertahanan. Masa saya tanya-tanya gimana, walaupun saya tahu masa saya cerita," lanjutnya.

Luhut menambahkan pemerintah akan melengkapi pengamanan di Natuna. Dia menyatakan pemerintah akan membuat pangkalan angkatan laut dan pangkalan coast guard.

"Nah coast guard sendiri nanti akan kita lengkapi. Jadi nanti pangkalan angkatan laut di Natuna dan pangkalan coast guard di situ dan perikanan kita itu kan sudah dibuat tapi belum selesai semua," ungkap Luhut.
 

  detik  

Ada 30 Kapal Asing Dikawal Coast Guard China

Di NatunaKRI Tjiptadi dikerahkan untuk siaga mengamankan Laut Natuna (Antara Kepri/ Cherman)

Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) I terus melakukan pengawasan dan pengamanan laut Natuna Kepri. Dari hasil pengawasan, Pangkogabwilhan I Laksdya TNI Yudo Margono mengatakan, ada 30 kapal ikan asing yang terdeteksi masuk wilayah kedaulatan NKRI dengan dikawal 3 kapal Coast Guard China.

"Melalui udara tadi pagi kita telah pantau, ada 30 kapal ikan asing dengan dikawal 3 kapal pengawas mereka, dan mereka sengaja menghidupkan AIS mereka, ini ada apa?" kata Yudo saat memberikan pengarahan kepada para prajurit di Paslabuh, Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau, seperti dikutip Antara, Jumat (3/1/2020).

Yudo menjelaskan, Kapal Republik Indonesia (KRI) dalam posisi siaga tempur untuk pengamanan laut Natuna. Sebanyak tiga kapal dikerahkan untuk mencegah pelanggaran kedaulatan di laut Natuna.

"Ada dua KRI kita kerahkan dan ditambah jadi tiga menyusul besok, ini kita lakukan karena ada pelanggaran kedaulatan di Laut Natuna," ujarnya.

KRI Teuku Umar dan KRI Tjiptadi diberangkatkan ke lokasi perairan tersebut. Dalam menjalankan operasi, dia mengingatkan kepada prajurit untuk tidak terpancing. Prajurit diminta untuk mengutamakan cara persuasif agar 30 kapal pencari ikan dan 3 kapal Coast Guard China keluar dari laut Natuna.

"Operasi ini kita melibatkan semua unsur, baik darat, laut dan udara," ujarnya menegaskan. (idn/idn)

 Kemenhub Kerahkan Kapal Patroli Amankan Nataru
Foto: Ditjen HublaFoto: Ditjen Hubla

Kapal Patroli Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) KN Sarotama P-112 milik Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai (PLP) Kelas II Tanjung Uban bertolak dari dermaga pelabuhan Tanjung Uban. Hal ini dilakukan dalam rangka kegiatan patroli rutin di wilayah perairan Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau.

Kepala Kantor Pangkalan PLP Kelas II Tanjung Uban, Capt. Handry Sulfian mengatakan secara rutin Pangkalan PLP Tanjung Uban melakukan patroli rutin terkait penegakan hukum di laut. Patroli laut oleh Kapal Patroli KN. Sarotama P-112 tersebut selain merupakan patroli rutin, juga dilakukan dalam rangka pengawasan pengamanan Natal dan Tahun Baru 2020 serta penegakan hukum di laut berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Menurut Handry, patroli rutin tersebut adalah hal yang biasa dilakukan oleh jajarannya sebagai bentuk pelaksanaan tugas sesuai dengan kewenangannya dalam melaksanakan penegakan hukum di laut.

"Ini bentuk tanggung jawab kami untuk menciptakan rasa nyaman dan aman bagi kapal-kapal yang berlayar di Perairan Indonesia," ujar Handry dalam keterangan tertulis, Jumat (3/1/2020).

Handry menegaskan Pangkalan PLP Tanjung Uban bersinergi dengan kementerian atau lembaga lain untuk bersama-sama melaksanakan patroli bersama di laut.

Sebagai informasi, ada 5 pangkalan PLP milik Kementerian Perhubungan cq. Ditjen Perhubungan Laut yang tersebar di penjuru tanah air yaitu PLP Kelas I Tanjung Priok, PLP Kelas II Tanjung Uban, PLP Kelas II Surabaya, PLP Kelas II Bitung, dan PLP Kelas II Tual dengan total armada kapal patroli sebanyak 39 unit kapal dari berbagai kelas. (akn/ega)
 

  detik  

Bakamla Tambah Kekuatan Hadapi China di Natuna

Dibantu TNIKRI Tjiptadi-381 menghalau kapal Coast Guard China di Laut Natura Utara, kepri, Senin (30/12) lalu. (ANTARA FOTO/HO/Dispen Koarmada I).]

Badan Keamanan Laut (Bakamla) menyatakan pihaknya telah menambah kekuatannya di perairan Natuna. Penambahan kekuatan itu untuk merespons masuknya kapal Coast Guard China ke perairan Natuna.

"Jelas, saya saja sudah kirim lagi kok. Itu dinamika. Jadi tidak usah rapat pun sudah otomatis itu," ujar Kepala Bakamla Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrachman menuturkan langkah itu dilakukan usai rapat tertutup di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (3/12).

Achmad enggan membeberkan jumlah armada dan personel yang dikerahkan untuk menangkal kapal China masuk ke perairan Natuna. Dia hanya menyampaikan pihaknya akan bersiaga di perairan Natuna untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia.

Achmad mengatakan TNI juga sudah mengerahkan kekuatannya di perairan Natuna pasca kejadian tersebut. Namun, dia mengaku TNI hanya bertugas untuk mendukung operasi yang dilakukan oleh Bakamla.

"Orang sekarang lebih senang menggunakan white hull, daripada grey hull. Karena kalau kapal perang kan tensinya agak berbeda. Jadi Bakamla tetap di depan," ujarnya.

 Belum Ada Komunikasi

Achmad mengaku pihaknya belum punya rencana untuk berkomunikasi dengan Bakamla China guna membahas polemik batas wilayah di Natuna. Dia hanya menegaskan telah ada kesepakatan antara Bakamla di seluruh dunia agar tidak salah melakukan kalkulasi di lapangan karena berpotensi mengganggu hubungan bilateral antarnegara.

"Di seluruh dunia seperti itu. Karena ini tidak dalam keadaan perang. Artinya situasi seperti ini jangan hanya lihat dari sisi kita, semua akan berlaku dengan sama," ujar Achmad.

Achmad menjelaskan batas perairan antara Indonesia dengan China sejatinya sudah jelas sebagaimana ketentuan UNCLOS 1982. Dalam aturan itu, perairan Natuna diakui sebagai wilayah Indonesia.

Achmad menambahkan persoalan perarian Indonesia saat ini hanya dengan Vietnam. Dia menyebut batas perarian kedua negara masih belum ada kejelasan hingga saat ini. Achmad menyebut tidak ada penegakan hukum yang kuat di perarian antara Indonesia dengan Vietnam.

"Jadi kalau patroli di sana ketemu (kapal Vietnam), saya suruh pulang dia, kalau yang di grey area. Kalau di landas kontinen (Indonesia) kan sudah disepakati berarti dia melanggar, kita ambil, itu saja. Jadi kita dalam kondisi tidak perang," ujarnya.

Sejauh ini belum ada arahan khusus dari Presiden Joko Wiododo terkait polemik di Natuna. Sebab, dia menyampaikan polemik perairan Natuna dengan China sudah terjadi berulang kali sejak 30 tahun silam.

Oleh karena itu, Bakamla tetap mengedepankan langkah diplomasi lewat Kementerian Luar Negeri dalam rangka menyelesaikan persoalan tersebut.

"Kita di lapangan ya menyesuaikan dengan legitimasi," ujar Achmad. (jps)

 Bakamla Sebut Puluhan Kapal China Masih Berlayar Dekat Natuna

Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) menuturkan puluhan kapal nelayan China masih bebas berlayar di landas kontinen Indonesia di sekitar perairan Natuna, Kepulauan Riau.

Direktur Operasi Laut Bakamla, Laksamana Pertama Nursyawal Embun, menuturkan kapal-kapal penangkap ikan itu juga dikawal oleh kapal penjaga pantai dan kapal perang China jenis fregat.

"Per hari ini kapal-kapal China masih ada di perairan kita, masih, masih ada," kata Nursyawal saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Kamis (2/1) malam.

Nurayawal menuturkan telah berupaya melakukan pengusiran terhadap kapal-kapal China tersebut dari sekitar zona eksklusif ekonomi (ZEE) Indonesia di Natuna sejak 10 Desember lalu.

Ia menuturkan kapal-kapal China itu sempat menuruti permintaan untuk menjauh dari perairan Indonesia. Namun, beberapa hari setelahnya kembali memasuki dan mengambil ikan di landas kontinen Indonesia di sekitar Natuna.

"Kapal-kapal ikan itu saat dicek dari radar kami memang terdeteksi hanya beberapa tapi ketika kami cek ke lapangan kapal-kapal itu jumlahnya sampai 50-an, di atas 50-an bahkan dan dikawal dua coast guard dan satu kapal fregat Angkatan Laut China," kata Nursyawal.

Nursyawal menuturkan pihaknya tidak bisa berbuat banyak untuk mengusir kapal kapal China itu lantaran mereka dinilai lebih kuat.

Sejauh ini, katanya, Bakamla telah memerintahkan kapal-kapal China itu untuk hengkang dari perairan Indonesia melalui komunikasi radio.

Nursyawal juga menuturkan pihaknya sempat mengadang meski kapal-kapal China itu tetap berkeras berlayar di wilayah Natuna dengan dalih bahwa perairan itu milik mereka.

"Kami lalu lapor ke komando atas. Kami mencegah terjadi perseteruan di tengah laut saat itu karena kita berhitung secara kalkulasi kemampuan mereka memang lebih (kuat)," kata Nursyawal.

Akibat insiden ini, Indonesia-China kembali terlibat saling klaim wilayah perairan di sekitar Natuna. Jakarta menganggap kapal-kapal China tersebut telah menerobos wilayah ZEE Indonesia.

Sementara Beijing mengklaim wilayah perairan dekat Natuna itu masih bagian dari Laut China Selatan yang menjadi kedaulatan mereka.

China mengklaim memiliki hak sejarah di kawasan Laut China Selatan sehingga kapal-kapalnya berhak berlayar dan mencari ikan di perairan yang menjadi jalur utama perdagangan internasional tersebut.

Kementerian Luar Negeri RI telah melayangkan nota protes kepada China terkait pelayaran kapal-kapal ikan Tiongkok tersebut dan memanggil duta besar Negeri Tirai Bambu di Jakarta. Indonesia juga menolak klaim historis China terhadap perairan di dekat Natuna.

ZEE Indonesia ditetapkan berdasarkan United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB yang disahkan pada 1982. RRT sebagai pihak pada UNCLOS, harus menghormatinya.

Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan klaim historis China atas ZEE Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982.

Kemlu menegaskan Indonesia juga menolak istilah "perairan terkait atau relevant waters" yang digunakan China untuk merujuk pada wilayah di sekitar perairan yang mereka klaim di Laut China Selatan.

Menurut Kemlu, istilah "perairan terkait" tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982.

Kemlu menegaskan kembali bahwa Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan RRT. Indonesia tidak akan pernah mengakui 9 dash-line RRT karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016. (rds/ayp)
 

  CNN  

[Video] Kapal Perang RI Halau Coast Guard China di Laut Natuna

Diposkan CNBCKomando Armada I Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut melaporkan kehadiran Coast Guard China di perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara, Kamis (2/1/2020). Coast Guard China mengawal beberapa kapal nelayan Negeri Tirai Bambu yang sedang melakukan aktivitas perikanan.

Dalam rilis yang diterima CNBC Indonesia, Jumat (3/1/2020), Kepala Dinas Penerangan Koarmada I Letnan Kolonel Laut (P) Fajar Tri Rohadi mengatakan, kehadiran Coast Guard China menimbulkan reaksi dari KRI-KRI yang beroperasi di perairan tersebut. Salah satunya adalah KRI Tjiptadi-381.



  Youtube  

Jumat, 03 Januari 2020

China Merasa Berhak Atas Natuna

RI Tak TerimaFoto: Menlu Retno Marsudi dan jajaran menteri lainnya menyikapi perkembangan Laut Natuna. (LIsye SR/detikcom)]

Sengketa antara China dan Indonesia terkait perairan Laut Natuna terus berlanjut. China tetap merasa berhak atas wilayah Laut Natuna. Indonesia tak terima atas klaim ini dan akan mengambil langkah tegas.

Mulanya, pada Selasa (1/1) kemarin, Indonesia telah merilis keterangan untuk menanggapi klaim China atas bagian teritorial Indonesia. Ini adalah rentetan debat usai masuknya kapal nelayan dan kapal aparat (coast guard) China ke Laut Natuna. Klaim China atas bagian Perairan Natuna dinyatakan Indonesia sebagai klaim sepihak (unilateral) belaka.

Indonesia berpijak pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Pada 2016, pengadilan internasional tentang Laut China Selatan menyatakan klaim 9 Garis Putus-putus sebagai batas teritorial laut Negeri Tirai Bambu itu tidak mempunyai dasar historis.

Namun, China enggan menarik klaimnya itu. China masih merasa berhak atas kawasan Laut Natuna.

"Pihak China secara tegas menentang negara mana pun, organisasi, atau individu yang menggunakan arbitrasi tidak sah untuk merugikan kepentingan China," kata juru bicara Menteri Luar Negeri Republik Rakyat China, Geng Shuang, dalam keterangan pers reguler, 2 Januari 2020, dilansir dari situs Kementerian Luar Negeri RRC, Jumat (3/1/2020).

Pernyataan Geng ini merupakan tanggapan atas keterangan Kemlu RI pada Selasa (1/1) lalu. Indonesia menyatakan klaim China terhadap Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tidak punya dasar yang sah dan tak diakui UNCLOS.

"Saya menjelaskan posisi China dan dalil-dalil isu tentang Laut China Selatan sehari sebelum kemarin dan tak ada gunanya saya mengulangi lagi," kata Geng dalam keterangan pers tertulis berbentuk tanya-jawab itu.

"Saya ingin menegaskan bahwa posisi dan dalil-dalil China mematuhi hukum internasional, termasuk UNCLOS. Jadi apakah pihak Indonesia menerima atau tidak, itu tak akan mengubah fakta objektif bahwa China punya hak dan kepentingan di perairan terkait (relevant waters). Yang disebut sebagai keputusan arbitrase Laut China Selatan itu ilegal dan tidak berkekuatan hukum, dan kami telah lama menjelaskan bahwa China tidak menerima atau mengakui itu," tutur Geng.

 4 Sikap Tegas Indonesia

Melihat sikap China ini, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Lestari Priansari Marsudi mengatakan pemerintah Indonesia akan mengambil langkah tegas terkait Laut Natuna yang diklaim China.

Retno kemudian menegaskan ada 4 sikap yang diambil Indonesia terkait pelanggaran yang dilakukan China di Perairan Natuna, Kepulauan Riau itu. Sikap ini disampaikan Retno usai mengikuti rapat koordinasi di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2020).

Rapat koordinasi itu dipimpin langsung oleh Menko Polhukam Mahfud Md. Beberapa pejabat negara turut hadir dalam rapat itu. Seperti, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly.

Pada poin pertamanya, Retno menegaskan bahwa kapal ikan China telah melakukan pelanggaran di wilayah NKRI.

"Di dalam rapat tersebut kita menekankan kembali. Pertama, telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal Tiongkok (China) di wilayah ZEE Indonesia," kata dia.

Retno mengatakan bahwa Perairan Natuna adalah wilayah ZEE Indonesia. Hal itu telah ditetapkan pada Konvensi Peserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut pada tahun 1982 atau The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982).

"Kedua wilayah ZEE Indonesia telah ditetapkan oleh hukum internasional yaitu melalui UNCLOS 1982," ujarnya.

Retno menyebut China adalah anggota dari UNCLOS 1982. Sehingga Retno meminta China untuk menghormati hukum tersebut.

"Ketiga, Tiongkok merupakan salah satu part (anggota) dari UNCLOS 1982. Oleh karena itu merupakan kewajiban bagi Tiongkok untuk menghormati, implementasi dari UNCLOS 1982," tegas Retno.

Lebih lanjut, Retno menegaskan Indonesia tidak akan mengakui klaim 9 Garis Putus-putus atau Nine-Dash Line sebagai batas teritorial laut Negeri Tirai Bambu itu. Menurut Retno Nine-Dash Line tidak memiliki dasar hukum internasional.

"Keempat Indonesia tidak pernah akan mengakui Nine-Dash Line, klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum Internasional terutama UNCLOS 1982," ujarnya.

 Laut Natuna Diklaim, TNI Siap Tempur

Usai sikap ngotot China soal klaim Laut Natuna, TNI tergerak. TNI pun melaksanakan operasi siaga tempur terkait dengan adanya pelanggaran di kawasan tersebut.

Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I Laksdya Yudo Margono, mengatakan operasi siaga tempur dilaksanakan oleh Koarmada 1 dan Koopsau 1 dengan Alutsista yang sudah tergelar yaitu tiga KRI dan satu Pesawat intai maritim dan satu pesawat Boeing TNI AU. Dua KRI lagi masih dalam perjalanan dari Jakarta menuju Natuna.

"Selanjutnya dikatakan Pangkogabwilhan I bahwa operasi ini digelar untuk melaksanakan pengendalian wilayah laut khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) laut Natuna Utara," demikian keterangan tertulis yang disampaikan Kabid Penum Puspen TNI, Kolonel Sus Taibur Rahman, Jumat (3/1/2020).

Yudo Margono mengatakan wilayah Natuna Utara saat ini menjadi perhatian bersama. Karena itu, operasi siaga tempur diarahkan ke Natuna Utara mulai 2020.

"Operasi ini merupakan salah satu dari 18 operasi yang akan dilaksanakan Kogabwilhan I di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya," imbuhnya. (rdp/dnu)
 

  detik  

[Dunia] China Siapkan Undang-Undang Embargo Senjata

CH4 MALE UAV produk China [Jeff Prananda]

Para pembeli senjata buatan China patut waspada, negeri panda itu sekarang mulai menyusun undang-undang yang mengatur tentang pengendalian ekspor senjata kepada Negara-negara yang dianggap menjadi ancaman bagi China. Seperti diberitakan oleh Military Leak (29/12/2019) ini sama saja dengan upaya China untuk mengendalikan negara pengguna senjatanya dengan ancaman embargo.

Menurut sumber China tindakan ini untuk melindungi teknologi militer dan produk-produk terkait nuklir yang seharusnya tidak jatuh ke tangan yang salah. Singkat kata Undang-undang ini dapat melindungi teknologi sensitive dan melindungi keamanan nasional China, Undang-undang ini juga mengatur tentang embargo militer.

Menurut Menteri Perdagangan China Zhong San “dengan adanya undang-undang ekspor senjata yang baru kita bisa menjaga neraca perdagangan yang timbal balik dan seimbang pada mitra selain itu dalam Undang-undang ini otoritas terkait dapat mengevaluasi Negara/wilayah yang ditunjuk untuk menetapkan tingkat resiko

Aturan ini akan berujung pada larangan ekspor suatu barang (teknologi militer) ke Negara, orang atau organisasi tertentu” tegas Menteri Perdagangan Zhong San.

Rancangan itu dapat melindungi teknologi sensitif dan melindungi keamanan nasional, seperti halnya negara-negara Barat memblokir Tiongkok dari mengimpor teknologi militer canggih dari mereka, kata Li.

Tiongkok juga tidak akan membiarkan senjata berbahaya jatuh ke tangan orang yang salah yang bisa menggunakannya untuk menyabot perdamaian, sebuah langkah untuk memenuhi kewajiban internasional Tiongkok, kata Li.

Xu Guangyu, penasihat senior Asosiasi Perlucutan dan Pengendalian Senjata Tiongkok, mengatakan kepada Global Times bahwa rancangan undang-undang itu, jika disahkan, juga akan menjadi perlawanan yang penting bagi tuduhan salah negara-negara Barat tentang penjualan senjata Tiongkok.

Menyiapkan hukum transparan sesuai dengan praktik internasional dan menindaklanjutinya akan mempromosikan citra positif untuk penjualan senjata Tiongkok, kata Xu.

  Militermeter  

Kamis, 02 Januari 2020

China Klaim Kedaulatan di Dekat Natuna

Tolak Protes RI Kapal Coast Guard China di usir dari perairan Natuna pada bulan Juni lalu [antara]

China menolak protes Indonesia yang menuding kapal ikan Tiongkok sempat memasuki perairan Natuna, Kepulauan Riau, secara ilegal baru-baru ini.

Beijing menegaskan bahwa pihaknya memiliki kedaulatan di wilayah Laut China Selatan dekat perairan Natuna, Kepulauan Riau, sehingga kapal-kapalnya boleh berlayar dengan bebas di kawasan tersebut.

"China memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha dan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi atas perairan dekat dengan Kepulauan Nansha (yang terletak di Laut China Selatan)," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, dalam jumpa pers rutin di Beijing pada Selasa (31/12), seperti dikutip dari situs Kementerian Luar Negeri China.

Geng menegaskan China juga memiliki hak historis di Laut China Selatan. Menurutnya, nelayan-nelayan China telah lama melaut dan mencari ikan di perairan itu dan sekitar Kepulauan Nansha, yang menurut Indonesia masih merupakan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.

Padahal, klaim China atas perairan yang menjadi jalur utama perdagangan internasional itu juga tumpang tindih dengan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei.

Geng juga berdalih bahwa kapal yang berlayar di kawasan itu baru-baru ini adalah kapal penjaga pantai China yang tengah melakukan patroli rutin.

"Patroli rutin untuk menjaga ketertiban laut dan melindungi hak-hak dan kepentingan rakyat kami yang sah di perairan terkait," kata Geng.

Akibat insiden itu, Kemlu RI telah melayangkan protes kepada China dengan memanggil duta besarnya di Jakarta pada awal pekan ini.

Melalui pernyataannya pada Rabu (1/1), Kemlu RI menolak "klaim unilateral" China tersebut.

"Klaim historis China atas ZEE Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982. Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016," kata Kemlu RI.

"Indonesia juga menolak istilah 'relevant waters' yang diklaim oleh RRT karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982."

Meski berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, Indonesia tidak memiliki sengketa wilayah dengan China di perairan tersebut. Namun, Indonesia merupakan salah satu negara yang mendukung kode etik Laut China Selatan segera diterapkan.

Kode etik itu dibentuk sebagai pedoman negara-negara bertindak di perairan kaya sumber daya alam tersebut demi mencegah konflik.

  CNN  

Komponen PUNA MALE Buatan Indonesia Masih Impor

Ditargetkan Memiliki Komponen Lokal 60% PUNA MALE Black Eagle [antara]

Indonesia terus meningkatkan kemampuan membuat drone untuk keperluan pertahanan dan keamanan mulai dari urusan mata-mata hingga kombatan atau pertempuran. Pada Senin (30/12) drone bertipe Medium Altitude Long Endurance (MALE) yang bernama 'Black Eagle' atau Elang Hitam memasuki tahap roll out atau keluar hanggar di PT DI, Bandung.

Drone prototipe pertama ini merupakan hasil produksi konsorsium yang terdiri dari BPPT, Kemenhan, TNI AU, PT DI, PT Len, dan ITB. Deputi Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT Wahyu Widodo Pandoe mengatakan tak semua komponen drone MALE dibuat di dalam negeri.

"Komponen lokal 40%, target kita harus di atas 60%," kata Wahyu kepada CNBC Indonesia, Senin (30/12).

 Spanyol dan Turki 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPLeieSUqCkr0eR5FS7428CBXXGXG2xwRl7phQxu3OL9Q2spdSbcazi4lLQkT4JOucaaN7KnDn4vyo_BCFya7mSRK_xkmP1Y9Xtcuz_T2qTUutn4JqhAfNW1UmfmEEnPIcFdomPet7fw-3/s1600/Anka+uav+3D+model+-+TurboSquid.pngIlustrasi 3D ANKA dengan rudal [Turbosquid]

Ia mengatakan beberapa komponen drone MALE yang masih harus diimpor adalah flight control system, weapon system dan lainnya.

"Flight control system dari Spanyol, untuk selanjutnya akan dibuat oleh PT Len, kalau komponen body pesawat 100% di dalam negeri, yang belum weapon system kerja sama dengan pihak luar. Kita penjajakan kerja sama dengan Turki," katanya

Drone MALE ini mampu terbang selama 24 jam dan mencapai ketinggian 30.000 kaki, drone ini membawa kamera dan radar. Pesawat ini untuk pengawasan perbatasan yang difungsikan untuk pertahanan dan keamanan wilayah.

BPPT juga sempat mengembangkan drone tipe Alap-Alap PA-06D lebih kecil dengan bentang sayap 3,2 m, berat maksimum saat takeoff (payload) 31 kg, lama terbang hanya 5 jam.

Selain itu, ada drone Wulung mampu terbang dari pusat take off hanya radius 100-120 kilometer (km), dan mampu terbang hanya selama 4 jam non stop. Wulung mampu terbang dengan ketinggian 8.000 kaki.

  CNBC  

Rabu, 01 Januari 2020

BPPT Berencana Beli Pesawat Buatan PT DI

BPPT Incar NC-212i buatan PTDI [PTDI]

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berminat dan berencana untuk membeli pesawat terbang dari PT Dirgantara Indonesia (DI) melalui penandatanganan surat pernyataan minat. Pesawat itu secara khusus akan dibuat untuk membantu pelaksanaan hujan buatan.

"Sekarang ini sudah kita punya niat untuk diadakan pesawat pada tahun 2020-2021 itu untuk menyemai awan dengan garam supaya bisa melakukan percepatan hujan buatan," kata Kepala BPPT Hammam Riza di dalam acara Roll Out Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) atau Drone tipe Medium Altitude Long Endurance (MALE) di PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat, Senin (30/12).

Penandatanganan surat pernyataan minat itu dilakukan oleh Kepala BPPT dan Direktur utama PT Dirgantara Indonesia Elfien Goentoro di PT Dirgantara Indonesia di Bandung pada Senin. BPPT mengalokasikan anggaran Rp 260 miliar untuk membeli pesawat NC212 itu.

Dia berharap kontrak akan segera ditandatangani pada 2020 sehingga proses pengadaan pesawat terbang khusus untuk misi hujan buatan dapat dilakukan pada 2020 hingga 2021.

BPPT sejak tahun 1993 telah mengoperasikan pesawat NC212 buatan PT Dirgantara Indonesia untuk melakukan teknologi modifikasi cuaca mendatangkan hujan buatan. Sementara untuk melaksanakan misi hujan buatan, BPPT membutuhkan pesawat dengan konfigurasi hujan buatan (rain making).

Hammam mengatakan selama ini pergerakan BPPT terbatas untuk menyemai awan dalam upaya menciptakan hujan buatan karena hanya memiliki satu pesawat yang sudah beroperasi sejak 1993. Sementara, Thailand memiliki 20 pesawat untuk melakukan hujan buatan.

Untuk pengendalian kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sebelumnya, BPPT banyak mengandalkan pesawat dari TNI Angkatan Udara dengan meminjam pesawat mereka. Untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan teknologi modifikasi cuaca ke depan, BPPT akan menjajaki dan mengkaji pesawat terbang buatan PT DI yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan teknologi modifikasi cuaca.

Direktur utama PT Dirgantara Indonesia Elfien Goentoro mengatakan pesawat NC212 dapat mengangkut 3 ton sehingga bisa membawa banyak bahan yakni garam untuk proses penyemaian awan. "Kalau saya sebagai pembuat mudah-mudahan bisa kontrak bulan depan," ujarnya.

Dalam surat pernyataan minat itu, PT DI menyatakan sepakat melaksanakan pelaksanaan aspek teknis dan non teknis jenis pesawat terbang dengan konfigurasi hujan buatan.

  Republika  

Pemerintah Alokasikan Dana Rp 150 Miliar untuk Drone Pertahanan

BPPT investasi 60 persen dari total dana PUNA MALE Black Eagle [antara]

Pemerintah mengalokasikan total anggaran mencapai angka Rp 150 miliar khusus untuk pengembangan Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) atau Drone pada periode 2020 ini.

Anggaran tersebut pun merupakan hasil kolaborasi sejumlah lembaga pemerintah yang memiliki concern terkait bidang ini.

Dua diantaranya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Investasi yang digelontorkan BPPT khusus untuk pengembangan PUNA tipe Medium Altitude Long Endurance (MALE) ini sebesar Rp 81 miliar, sedangkan LAPAN menganggarkan Rp 23 miliar.

Seperti yang disampaikan Kepala BPPT Hammam Riza usai Roll Out PUNA MALE di PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat, Senin (30/12/2019).

"Saat mengembangkan pesawat ini, kami alokasi Rp 81 miliar dan anggarannya untuk 2020. Kemudian dari LAPAN masuk lagi Rp 23 miliar," ujar Hammam.

Namun jumlah total nilai investasi yang dialokasikan khusus program pengembangan PUNA MALE di 2020 ini adalah mencapai angka Rp 150 miliar, karena anggota konsorsium lainnya akan menyumbang dana pula.

"Paling besar BPPT, sekitar 60 persen dari total investasi 2020, jadi bisa dihitung totalnya ya sekitar Rp 150 miliar," kata Hammam.

Ia menambahkan, pengembangan PUNA MALE ini pun ditargetkan rampung pada 2024 mendatang.

Perlu diketahui, Inovasi pengembangan untuk wahana alutsista satu ini menggunakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang tinggi dan melibatkan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul.

Sementara itu, Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (Persero) Elfien Goentoro berharap pada 2024 mendatang, TKDN yang dimiliki untuk pengembangan program satu ini bisa mencapai angka di atas 50 persen.

Karena saat ini masih ada beberapa komponen pendukung PUNA MALE yang harus diimpor, seperti mesin dan persenjataan yang akan melengkapi tampilan wahana alutsista satu ini.

PT DI merupakan salah satu anggota konsorsium, selain Kementerian Pertahanan RI melalui Ditjen Pothan dan Balitbang, BPPT, TNI Angkatan Udara (AU) melalui Dislitbangau, Institut Teknologi Bandung/ITB (FTMD), BUMN melalui PT Dirgantara Indonesia (DI) dan PT Len Industri, serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

PUNA tipe ini pun nantinya akan ditugaskan untuk melakukan pengawasan terhadap wilayah perbatasan, baik darat maupun laut melalui pantauan udara.

Terkait konsorsium yang beranggotakan kementerian dan lembaga pemerintah ini, kata Hammam, telah memasuki fase sebelum purwarupa atau produksi airframe.

Fase ini pun akan dilaksanakan PT DI yang bertugas sebagai pelaksana program pengembangan PUNA tipe ini di 2020.

Purwarupa tersebut tentunya akan diproduksi untuk selanjutnya dilakukan uji terbang.

Kemudian tahapan pun berlanjut pada tahun berikutnya, yakni pembuatan purwarupa untuk kebutuhan uji statis.

Setelah tahapan itu rampung, maka konsorsium akan masuk pada tahapan berikutnya yang ditargetkan selesai pada 2024 yakni penyempurnaan tampilan PUNA tipe MALE yang dilengkapi alat penunjang misi peperangan, satu diantaranya berupa misil.

Alat ini rencananya akan dipersenjatai rudal dan mampu terbang selama 24 jam nonstop dengan ketinggian jelajah hingga 23.000 ft.

Terkait sistem kontrol penerbangan pada PUNA MALE ini menyedot anggaran mencapai angka Rp 36 miliar dan masih menggunakan produk yang harus diimpor dari Spanyol.

Kendati demikian, diharapkan komponen ini bisa disupport secara penuh oleh produsen lokal seperti PT Len Industri (Persero) yang juga menjadi salah satu anggota konsorsium untuk program pengembangan PUNA tipe MALE ini.

 Kecanggihan PUNA MALE 
Grafik PUNA MALE [sindonews]

Pemerintah terus berupaya mendorong pengimplementasian teknologi dan inovasi di berbagai sektor, termasuk pertahanan.

Di era revolusi industri 4.0, pemerintah optimis Indonesia mampu mandiri dan bersaing dengan negara lain di dunia dalam memproduksi alutsista lewat peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

Sejumlah institusi pemerintah pun turut ambil bagian dalam mensukseskan impian tersebut.

Kali ini, sebagai lembaga yang berfokus pada bidang kaji-terap teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menghadirkan inovasi dalam bidang pertahanan.

Inovasi tersebut berupa pengembangan Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) atau Drone, tipe Medium Altitude Long Endurance (MALE) atau disebut PUNA MALE.

PUNA tipe ini memiliki pengendalian multiple UAV secara bersamaan (simultan) dan diyakini mampu terbang secara non-stop selama 24 jam.

Konsep operasi PUNA MALE ini tentu saja memungkinkan untuk melakukan pengawasan khususnya dalam menjaga kedaulatan NKRI.

Baik penjagaan di wilayah darat maupun laut melalui pantauan udara.

Melalui PUNA MALE, upaya penjagaan wilayah diyakini akan sangat efisien.

Selain itu, mampu meminimalisir risiko kehilangan jiwa karena dioperasikan tanpa pilot.

Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan PUNA MALE merupakan inovasi untuk alutsista hasil karya anak bangsa.

"Pesawat Tanpa Awak MALE ini hasil rancang bangun, rekayasa, dan produksi anak bangsa," ujar Hammam, di Bandung, Jawa Barat, Senin (30/12/2019).

Penjagaan kedaulatan negara melalui upaya pengawasan yang efisien memang menjadi satu fokus pemerintah.

Seiring dengan makin meningkatnya ancaman yang terjadi di wilayah perbatasan serta kasus lainnya seperti terorisme hingga pencurian Sumber Daya Alam (SDA), pemerintah tentunya memerlukan alat yang canggih serta SDM yang memadai untuk mengantisipasi permasalahan tersebut.

"Kebutuhan pengawasan dari udara yang efisien dan kemampuan muatan (payload) yang lebih besar dan jangkauan radius terbang yang jauh secara continue menjadi kebutuhan yang harus diantisipasi," kata Hammam.

Perlu diketahui, inisiasi pengembangan PUNA MALE ini telah dimulai sejak 2015 silam oleh Balitbang Kementerian Pertahanan (Kemhan).

Hal tersebut ditandai melalui kesepakatan rancangan, kebutuhan dan tujuan (DR&O) PUNA MALE yang akan dioperasikan TNI, khususnya TNI Angkatan Udara (AU).

"Proses perancangan dimulai dengan kegiatan preliminary design, basic design dengan pembuatan dua kali model terowongan angin dan hasil uji nya di tahun 2016 dan tahun 2018," jelas Hammam.

Proses berikutnya dilanjutkan dengan pembuatan engineering document and drawing tahun 2017 melalui anggaran dari Balitbang Kemhan dan BPPT.

Lalu perjanjian bersama pun dibentuk dengan adanya Konsorsium Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA MALE) pada tahun yang sama pada 2017.

Kerja sama ini dibangun Kemhan RI melalui Ditjen Pothan dan Balitbang, BPPT, TNI AU (Dislitbangau), Institut Teknologi Bandung/ITB (FTMD), serta BUMN melalui PT Dirgantara Indonesia (DI) dan PT Len Industri.

Kemudian pada 2019 ini, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pun masuk sebagai anggota konsorsium tersebut.

Hammam menyampaikan, tahap manufacturing pun dimulai melalui beberapa tahapan pada 2019.

"Langkah ini diawali dengan adanya proses design structure, perhitungan Finite Element Method, pembuatan gambar 3D serta detail drawing 2D yang dikerjakan oleh engineer BPPT dan disupervisi oleh PT Dirgantara Indonesia," kata Hammam.

Kemudian dilanjutkan melalui proses pembuatan tooling, molding, cetakan dan fabrikasi dengan proses pre-preg dengan autoclave.

Pada tahun yang sama, dilakukan pula pengadaan Flight Control System (FCS) yang diproduksi di Spanyol.

Rencananya FCS ini akan diintegrasikan di awal 2020 pada prototype PUNA MALE pertama (PM1) yang telah dibuat oleh engineer BPPT dan PT Dirgantara Indonesia.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPyAhJJjDcCd4FElY5tY6kvdl1tWROsdbv4ab_4aaHiMXsW6K6cwBuhTm4Mm6etndzAcZ0kCrHjTesO6aV_Nbr6RoQzyxR_D-3SbYdhoWRdgA8sXs8ZHyWhQZI-RHj1kFTbwz2c5Sm_dj7/s1600/PTTA+MALE+Control+Station_2422871165698572288_def.pk.jpgPUNA MALE Ground Control Station [def.pk]

Para engineer ini pun telah memperoleh pelatihan untuk mengintegrasikan dan mengoperasikan sistem kendali tersebut pada prototype yang dibuat di PT Dirgantara Indonesia.

Sebanyak 2 unit prototype pum akan dibuat pada 2020 dan rencananya akan diterbangkan dan dilakukan uji kekuatan strukturnya di BPPT.

Sementara terkait proses sertifikasi produk militer telah dimulai tahun ini dan diharapkan akan mendapatkan sertifikat tipe dari Pusat Kelaikan Kementerian Pertahanan RI (IMAA) pada akhir 2021.

Untuk pengintegrasian sistem senjata pada prototype PUNA MALE, akan dilakukan mulai 2020 dan diharapkan memperoleh sertifikasi tipe produk militer pada tahun 2023 mendatang.

Lebih lanjut Hammam menekankan harapannya agar kehadiran PUNA MALE ini mampu menjawab tantangan terkait pengawasan kedaulatan NKRI.

Selain itu, agar alat tersebut mampu mendorong Indonesia menjadi negara yang tidak hanya memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) unggul, namun juga maju, mandiri dan berdaya saing.

"Diharapkan dengan kemandirian ini maka PUNA MALE buatan Indonesia dapat mengisi kebutuhan squadron TNI AU untuk dapat mengawasi wilayah NKRI melalui wahana udara," kata Hammam.

Pengembangan PUNA tipe MALE ini seratus persen dilakukan putra-putri terbaik bangsa.

Alat ini rencananya akan dipersenjatai rudal dan mampu terbang selama 24 jam nonstop dengan ketinggian jelajah hingga 23.000 ft.

Dalam upaya realisasinya, BPPT bekerjasama dengan Kemhan dan TNI AU sebagai pengguna, ITB sebagai mitra perguruan tinggi, PT Dirgantara Indonesia sebagai mitra industri pembuatan pesawat, serta PT LEN Persero yang mengembangkan sistem kendali dan muatan.

Program flagship MALE Kombatan ini sengaja dirancang untuk memperkuat terjadinya transfer teknologi kunci serta menghidupkan industri nasional pendukung Tier 2, Tier 3 dan seterusnya.

Disinergikan dengan proses pengadaan yang tengah berlangsung di Kemhan, program MALE Kombatan ini tentunya diharapkan dapat memaksimalkan manfaat dari proses tersebut.

Diharapkan pula, pembangunan industri pertahanan baru ini akan berdampak pada peningkatan pergerakan roda perekonomian nasional.

Serta mampu mengedepankan kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang harus diposisikan sebagai kebijakan strategis.

Tentunya kebijakan ini harus dijalankan secara konsisten untuk menghasilkan teknologi kunci pendukung MALE seperti teknologi-teknologi Flight Control System yang mampu Auto Take-Off Auto Landing (ATOL), Mission System, Weapon-platform integration dan Teknologi Komposit, Radar SAR, Inertial Navigation System (INS), Electro-Optics Targeting System (EOTS) dan Guidance System.

 Terkait Performance PUNA tipe MALE : 


Operational Radius : 250 km (LOS)
Ceiling : 7200 m
Endurance : up to 30 hours
Aircraft Dimension
Length : 8.30 m
Wing Span : 16 m

  Tribunnews  
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...