Sabtu, 17 Agustus 2013

4 Kapal Perang Indonesia Gelar Upacara HUT RI di Perbatasan Malaysia

Ilustrasi Pengibaran Bendera di Ambalat
Ambalat • Bendera merah putih berkibar di perairan Ambalat, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-68, Sabtu (17/8). Sebanyak empat unit kapal perang ikut ambil bagian dalam upacara peringatan HUT ke-68 RI di daerah perbatasan dengan Malaysia tersebut.

Empat kapal perang Indonesia tersebut yaitu KRI Sultan Hasanuddin (366), KRI Malahayati (362), KRI Tedung Selar (824), dan KRI Tedong Naga (819). Mereka melakukan pengibaran bendera di daerah Karang Ungaran.

Pelaksanaan peringatan HUT RI di Pulau Sebatik dan Karang Ungaran itu sengaja dilakukan, karena berada di posisi perbatasan. Diharapkan, aksi tersebut dapat menumbuhkan rasa patriotisme di kawasaan perbatasan.

  MetroTv  

Rusia Tawarkan Sepuluh Kapal Selam Kepada Indonesia

Rusia menawarkan sepuluh unit kapal selam kepada Indonesia. Meski demikian, tidak bisa serta-merta diterima sebab pemerintah masih harus mengeluarka biaya perawatan.

Selain itu pemerintah masih mempertimbangkan masa pakai alat utama sistem senjata (alutsista) tersebut.

"Memang ada tawaran lagi 10 kapal selam dari Rusia," kata Menteri Pertahanan (menhan) Purnomo Yusgiantoro, Purnomo di kompleks Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (17/8).

Dia mengatakan, kapal selam yang ditawarkan Rusia merupakan kapal selam bekas. Penawaran 10 unit tersebut atas dasar kedekatan kedua negara.

"Tentu kita pertimbangkan karena nanti juga ada biaya perawatan, biaya pemeliharaan, perbaikan dan lain sebagainya itu kita hitung dulu jangan buru-buru," lanjutnya.

Sementara itu Indonesia juga sudah memesan kapal selam yang dibangun di Korea Selatan. Diharapkan, kapal pembangunan selam tersebut selesai pada tahun depan. Saat ini pemerintah sedang melakukan survei untuk meletakkan kapal-kapal selam tersebut. Wilayah yang dibidik antara lain di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng).

  Berita Satu  

Pemerintah Siapkan Anggaran Modernisasi Alutsista pada RAPBN 2014

Jakarta • Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemerintah dalam tahun anggaran 2014 menganggarkan dana untuk mendukung terlaksananya modernisasi dan peningkatan alat utama sistem persenjataan atau Alutsista, agar tidak tertinggal dengan negara lain.

"Tujuannya agar percepatan pembangunan kekuatan dasar minimum dan pengembangan industri pertahanan nasional dapat kita capai. Di samping penyediaan anggaran, kita juga telah menetapkan kebijakan untuk meningkatkan kontribusi industri pertahanan nasional," kata Presiden Yudhoyono Pidato Penyampaian Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2014, beserta Nota Keuangannya di Gedung MPR/DPR/DPD Jakarta, Jumat.

Yudhoyono mengatakan, upaya ini dilakukan dengan memperluas pendayagunaan industri pertahanan nasional, dan mengutamakan pengadaan alutsista hasil produksi industri dalam negeri.

Dengan modernisasi dan pembangunan kekuatan pertahanan ini, TNI akan makin berkemampuan untuk menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI dari ancaman manapun.

"Generasi dan teknologi persenjataan kita juga tidak tertinggal dibandingkan negara-negara lain, termasuk negara-negara tetangga kita," kata Presiden.

Ditambahkan Presiden, tidak kalah pentingnya dengan pertahanan negara, prioritas alokasi anggaran untuk Kepolisian Negara Republik Indonesia juga diprioritaskan.

Alokasi ini ditujukan untuk peningkatan rasa aman dan ketertiban masyarakat melalui pelaksanaan reformasi Polri.

Anggaran juga disediakan untuk memenuhi fasilitas, sarana dan prasarana, serta peralatan Polri, untuk meningkatkan kemampuan pengamanan di daerah hingga pelosok-pelosok.

Selain itu, kita juga meningkatkan rasio polisi dengan jumlah penduduk sebesar satu berbanding 575, yang dilaksanakan antara lain dengan menambah jumlah personil Polri sebanyak 20.350 personil pada tahun 2014.

"Dalam tahun 2014, akan kita penuhi persentase alat utama dan alat khusus kepolisian secara bertahap, yang direncanakan mencapai 41 persen," kata Presiden.

Dengan pembangunan ini, diharapkan Polri dapat menjalankan tugas-tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dengan lebih baik lagi.

Dalam RAPBN tahun 2014 Kementerian Pertahanan mendapat alokasi anggaran Rp 83,4 triliun, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Rp 41,5 triliun.

  Antara  

Sepercik Kisah di Antara Dua Istana

Istana MerdekaPeristiwa penting itu terjadi pada 28 Desember 1949 ketika bendera Belanda ‘si tiga warna’ diturunkan dari tiangnya. Merah Putih pun perlahan berkibar. Ratusan pasang mata yang memenuhi halaman dan tangga-tangga di muka istana ini terpaku pada tiang bendera dan sebagian meneteskan air mata haru. “Merdeka…merdeka…merdeka,” teriak kerumunan orang-orang tanpa henti. Teriakan itulah yang mengil hami nama bangunan itu, Istana Merdeka.

Istana ini mulai dibangun pada 1873 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Louden dan selesai pada 1879 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johan Willem van Landsbarge. Adalah arsitek Drossares yang merancang bangunan di atas tanah seluas 2.400 meter persegi ini.

Setelah penandatanganan naskah kedaulatan Republik Indonesia Serikat, nama tempat yang tadinya disebut Istana Gambir diubah menjadi Istana Merdeka. Tempat ini merupakan kediaman resmi Presiden Republik Indonesia. Serambi depannya biasa digunakan untuk panggung kehormatan pada upacara peringatan detik-detik proklamasi setiap tanggal 17 Agustus.

Presiden juga menyambut tamu negara yang diterima dengan upacara militer di halaman depan Istana Merdeka. Malam hari setiap tanggal 17 Agustus, di dalam istana diadakan resepsi kenegaraan, saat kepala perwakilan negara-negara asing memberi ucapan selamat pada presiden.

Ruangan terbesar di Istana Merdeka adalah ruang resepsi. Terdapat pula ruang Jepara yang didominasi ukiran Jepara, ruang Raden Saleh, serta ruangan untuk meletakkan bendera pusaka setiap tanggal 16-17 Agustus.

Istana Kepresidenan Jakarta terdiri atas dua bangunan istana, yaitu Istana Merdeka, yang menghadap ke Taman Monumen Nasional, dan Istana Negara yang menghadap ke Sungai Ciliwung, Jalan Veteran. Kedua istana ini dihubungkan dengan halaman tengah yang luasnya kira-kira sete ngah lapangan bola. Ada pula bangun an lain yang termasuk ke dalam lingkungan Istana Jakarta, yaitu Kantor Presiden, Wisma Negara, Masjid Baiturrahim, dan Museum Istana Kepresidenan.

Sedangkan Istana Negara dibangun tahun 1796 untuk kediaman pribadi seorang warga negara Belanda JA van Braam. Pada 1816, bangunan ini diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda dan digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta kediam an para Gubernur Jenderal Belanda.

Pada mulanya bangunan yang berarsitektur gaya Yunani kuno itu bertingkat dua. Namun pada 1848 bagian atasnya dibongkar dan bagian depan lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Bentuk bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang.

Istana ini menjadi saksi bisu saat Jenderal de Kock menguraikan rencananya kepada Gubernur Jenderal Baron van der Capellen untuk menindas pemberontakan Pangeran Diponegoro. Juga saat Belanda merumuskan strategi dalam menghadapi Tuanku Imam Bonjol. Sistem tanam paksa atau cultuur stelsel yang dicetuskan Gubernur Jenderal Johannes van de Bosch juga ditetapkan di gedung ini.

Setelah kemerdekaan, tanggal 25 Maret 1947, di Istana Negara terjadi penandatanganan naskah persetujuan Linggarjati. Pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir dan pihak Belanda oleh Dr Van Mook.

Kini Istana Negara berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan, di antaranya menjadi tempat penyelenggaraan acara-acara yang bersifat kenegaraan. Misalnya pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah, dan rapat kerja nasional, pembukaan kongres bersifat nasional dan internasioal, dan tempat jamuan kenegaraan.

Sejak masa pemerintahan Belanda dan Jepang sampai masa pemerintah an Republik Indonesia, sudah lebih kurang 20 kepala pemerintahan dan kepala negara yang menggunakan Istana Negara sebagai kediaman resmi.

  Republika 

KRI Pati Unus – 384 Sandar di Pontianak

Tergabung Dalam Operasi Alur Pari

pati-subJAKARTA – KRI Pati Unus – 384 salah satu unsur kapal perang Komando Armada RI Kawasan Barat jenis Parchim yang tergabung dalam operasi keamanan laut dengan nama sandi “Operasi Alur Pari – 2013” dibawah kendali operasi Gugus Keamanan Laut Koarmabar sandar di Pelabuhan Pontianak untuk melaksanakan bekal ulang operasi.

KRI Pati Unus – 384 yang dikomandani oleh Mayor Laut (P) Agustinus Djoko, salah satu unsur kapal perang dibawah jajaran Satuan Kapal Eskorta Komando Armada RI Kawasan Barat (Satkor Koarmabar) yang bermarkas di pangkalan TNI AL Pondok Dayung, Jakarta Utara, melaksanakan operasi Alur Pari -2013 selama kurang lebih 3 bulan.

Operasi Alur Pari melibatkan sejumlah unsur KRI yang digelar Gugus Keamanan Laut Koarmabar melaksanakan deteksi dini dan mengidentifikasi terhadap kapal-kapal serta para pengguna laut khususnya di wilayah perairan yang memiliki tingkat kerawanan terjadinya tindak pelanggaran di laut kawasan barat Indonesia, di sepanjang Selat Malaka dan di Alur Laut Kepualauan Indonesia (ALKI) I.

Selama sandar di Pontianak, KRI Pati Unus – 384 melaksanakan kegiatan Open Ship bagi para kalangan pelajar dan masyarakat umum. Kegiatan ini bertujuan untuk lebih mengenalkan TNI Angkatan Laut kepada masyarakat umum, serta menumbuhkan jiwa dan semangat bahari khususnya kepada generasi muda penerus bangsa.

Selain melaksanakan open ships bagi masyarakat Pontianak, Komandan KRI Pati Unus – 384, Mayor Laut (P) Agustinus Djoko beserta beberapa perwira KRI melaksanakan kunjungan ke Walikota Pontianak dan para pejabat daerah setempat dalam rangka menjalin silaturahmi dan meningkatkan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Pontianak.(dispenarmabar/sir)

  Poskota  

Dua Polisi Pondok Aren Tewas Ditembak Orang Tak Dikenal

 Sebelumnya dua polisi juga ditembak di lokasi terpisah di Ciputat. 

Aksi teror terhadap anggota kepolisian kembali terjadi, Jumat 16 Agustus 2013. Kali ini menimpa dua orang anggota Polsek Pondok Aren, Tanggerang Selatan.

Peristiwa penembakan ini terjadi pada pukul 21.30 WIB di Jalan Graha Raya, Pondok Aren, Tangerang, dekat Masjid Bani Umar. "Dua anggota menjadi korban penembakan, keduanya tewas," ujar Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto kepada VIVAnews.

Dua korban atas nama Brigadir Kepala Maulana dan Aiptu Kus Hendratma. Keduanya merupakan anggota satuan pembinaan masyarakat dan satuan Reserse Kriminal.

Kedua jenazah korban, lanjut Rikwanto sedang menuju RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur untuk dilakukan autopsi. "Kami masih melakukan olah TKP," ujar Rikwanto.

Sebelumnya, dua polisi juga ditembak mati di tempat terpisah di Ciputat.

 Jasad 2 Polisi Pondok Aren Dibawa ke RS Kramatjati 

Dua polisi tewas ditembak orang tak dikenal di Pondok Aren.

Dua polisi menjadi sasaran penembakan lagi, Jumat 16 Agustus 2013. Kedua jasad polisi tersebut sempat dibawa ke Rumah Sakit Premier Bintaro, Tangerang.

"Polisi membawa mereka ke rumah sakit ini sekitar jam 10," kata Stella, petugas UGD RS Premier Bintaro. Kedua polisi yang tertembak itu bernama Brigadir Kepala (Bripka) Maulana dan Aiptu Kus Hendratma. Keduanya bertugas di Polsek Pondok Aren.

Petugas yang membawa dua jasad korban ingin memastikan, "Apakah masih hidup atau tidak," imbuhnya.

Setelah dipastikan tewas, jasad dua polisi langsung dibawa ke Rumah Sakit Polri Kramatjati Jakarta Timur. "Saya tidak tahu persis berapa lama kedua jasad polisi ini berada di RS Premier," kata Stella.(umi)

 Kronologi Penembakan Dua Polisi Pondok Aren 

Kedua polisi tersebut tengah menjalankan tugas.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto menjelaskan kronologi penembakan dua anggota Polsek Pondok Aren, Tangerang Selatan, Jumat 16 Agustus 2013. Saat itu, kedua polisi, Bripka Maulana dan Aiptu Kus Hendratna, tengah menjalan tugas mereka.

Aiptu Kus Hendratna, kata Rikwanto, mendatangi Mapolsek saat akan apel pukul 22.00 WIB. Apel dilakukan dalam rangka persiapan operasi cipta kondisi usai Operasi Ketupat Jaya 2013 yang selesai, hari ini.

"Saat mau masuk ke Polsek, Aiptu Kus dipepet dua orang yang mengendarai Mio matic warna hitam dan langsung ditembak pada bagian belakang kepala. Korban langsung terjatuh dan meninggal di tempat," ujar Rikwanto kepada VIVAnews.

Melihat aksi tersebut, empat orang yang tergabung dalam tim buru sergap mengejar pelaku menggunakan mobil Avanza. "Anggota Buser kemudian menabrak motor pelaku."

Namun, mobil Polisi itu terperosok ke got tanggul jalan. Pelaku yang turun dari motor datang dan menembak supir Avanza, Bripka Maulana, yang baru keluar dari pintu. "Dia meninggal di tempat," jelas Rikwanto.

Kedua korban, saat ini sedang dibawa ke RS Polri Kramatjati untuk diautopsi. Petugas sendiri, kata Rikwanto, masih melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) dan memeriksa saksi di lokasi kejadian.

Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Putut Eko Bayuseno dan juga Kabareskrim Komisaris Jenderal Sutarman sudah berada di lokasi kejadian untuk melihat langsung peristiwa tersebut.(umi)

 Polda: Pelaku Sempat Adu Tembak dengan Polisi 

Dua polisi dari Polsek Pondok Aren, Tangerang Selatan tewas ditembak.

Aiptu Kus Hendratma dan Bripka Maulana tewas ditembak orang tak dikenal di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan, Jumat 16 Agustus 2013 malam. Para korban menjadi sasaran pelaku saat akan melakukan patroli operasi cipta kondisi menjelang HUT RI ke-68.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto, menjelaskan, pelaku yang diketahui menggunakan sepeda motor itu bukan hanya menembakkan amunisinya pada dua korban, tetapi juga ke anggota kepolisian yang lain.

"Sempat terjadi baku tembak antara pelaku dengan tim buser. Pelaku melarikan diri dengan merampas motor masyarakat ke arah Pamulang," ujar Rikwanto kepada VIVAnews.

Rikwanto menambahkan, data yang diperoleh sementara di lapangan menyebutkan, pelaku juga terluka karena tertembak petugas. "Saksi dari masyakat melihat pelaku ada yang terluka dan ada yang memegang pistol. Kami belum mengetahui jenis senjata yang digunakan," jelas Rikwanto.(umi)

 Penembak Polisi Kabur Pakai Motor Supra Rampasan B 6620 SFS 

Masyarakat yang melihat diminta segera menginformasikan polisi.

Terjadi baku tembak antara pelaku penembakan Bripka Maulana dan Aiptu Kus Hendratma dengan tim buser Polsek Pondok Aren saat pelaku akan melarikan diri dengan merampas motor masyarakat ke arah Pamulang.

"Pelaku tertembak, keduanya rampas motor masyarakat warna hitam Honda Supra Fit Hitam B 6620 SFS. Masyarakat yang melihat diminta segera menginformasikan polisi," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Rikwanto.

Rikwanto menambahkan, saat melarikan diri, motor pelaku jenis Yamaha Mio tertinggal di lokasi. Seorang pelaku dipastikan terkena tembakan. Sementara satu pelaku terlihat menenteng pistol.

"Untuk korban saat ini dikirim ke RS Polri Kramatjati. Olah TKP masih berlangsung. Untuk motor pelaku diamankan di Polsek Pondok Aren," katanya lagi.(umi)

 Penembak Polisi Tinggalkan Motor di TKP 

Hingga kini, Polri belum berhasil mengungkap kasus teror sebelumnya. 

Dua orang tak dikenal menembak mati dua polisi dari Polsek Pondok Aren, Tangerang Selatan, Jumat malam 16 Agustus 2013. Sebelum melarikan diri, keduanya sempat baku tembak dengan tim buser.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto mengungkapkan, para pelaku meninggalkan sepeda motor mereka di tempat kejadian (TKP). Lalu, kedua pelaku kabur ke arah Pamulang setelah merampas sepeda motor milik warga.

"Kami sudah amankan sepeda motor milik pelaku di Polsek Pondok Aren," jelas Rikwanto kepada VIVAnews. Adapun dua anggota polisi yang ditembak mati pelaku adalah Aiptu Kus Hendratma dan Bripka Maulana.

Kepolisian masih punya pekerjaan rumah yang banyak terkait teror kepada anggotanya itu. Sebab, teror ini bukan kali pertama.

Catatan VIVAnews, aksi penembakan juga menewaskan anggota Satuan Lalu Lintas Wilayah Jakarta Pusat, Aipda Patah Saktiyono di Jalan Cirendeu Raya, Ciputat, Tangerang Selatan pada 27 Juli 2013, pukul 04.30.

Disusul kemudian insiden serupa yang melanda anggota polisi satuan Binmas Polsek Metro Cilandak, Aiptu Dwiyatna, 7 Agustus lalu. Dia pun tewas.

Pada 13 Agustus lalu, rumah anggota Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Tulam, di Perum Banjar Wijaya Blok B 49/6 RT 02/07 Cluster Yunani, Kelurahan Cipete Pinang, Kota Tangerang, ditembaki orang tak dikenal.

Dan hingga kini, polisi belum berhasil mengungkap satu pun pelaku teror-teror tersebut.(umi)

  Vivanews 

APBN 2014, Kementerian Pertahanan Dapat Anggaran Terbesar

Jakarta - Kementerian Pertahanan mendapatkan alokasi anggaran terbesar dibandingkan kementerian lain untuk pagu anggaran 2014. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014, pemerintah mengalokasikan Rp 83,4 triliun untuk Kementerian Pertahanan.

"Dalam RAPBN Tahun 2014 terdapat tujuh Kementerian Negara dan Lembaga yang akan mendapat alokasi anggaran di atas Rp 30 triliun. Ketujuh kementerian dan lembaga itu adalah Kementerian Pertahanan dengan alokasi anggaran sebesar Rp 83,4 triliun," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menyampaikan keterangan pemerintah atas RUU APBN 2014 di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2013.

Sementara Kementerian lain yang mendapatkan pagu anggaran yang tinggi adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan alokasi sebesar Rp 82,7 triliun, Kementerian Pekerjaan Umum Rp 74,9 triliun, Kementerian Agama Rp 49,6 triliun, Kementerian Kesehatan Rp 44,9 triliun, Kepolisian Negara Republik Indonesia Rp 41,5 triliun, dan Kementerian Perhubungan Rp 39,2 triliun.

Selain itu, SBY mengatakan dalam RAPBN 2014 pemerintah tetap dapat memenuhi amanat konstitusi untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Menurut dia, setiap tahun alokasi anggaran untuk pendidikan terus ditingkatkan. "Dalam tahun 2013 anggaran pendidikan telah mencapai Rp 345,3 triliun dan tahun 2014 mendatang kita rencanakan sebesar Rp 371,2 triliun, atau naik 7,5 persen," katanya.

  ● Tempo  

Indonesia-Amerika Susun Kontrak Jual-Beli Apache

Laporan DCSA 2012
Jakarta - Kementerian Pertahanan membenarkan kepastian pembelian delapan unit helikopter serang canggih AH-64-D Apache Longbow dari Amerika Serikat. Saat ini Indonesia dan Amerika Serikat sedang menyusun kontrak jual-beli helikopter ini.

"Sedang dalam pembicaraan intensif oleh kedua negara," kata Kepala Badan Sarana Pertahanan, Laksamana Muda Rachmad Lubis, saat dihubungi Tempo, Jumat, 16 Agustus 2013.

Materi pembicaraan kontrak, dia melanjutkan, antara lain harga kedelapan helikopter dan skema pembayaran. Termasuk soal pembayaran uang muka sebagai tanda jadi jual-beli.

Soal berapa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk membeli delapan unit Apache, Rachmad memilih bungkam. Begitu pula soal uang muka yang sudah disiapkan pemerintah. "Prinsip uang muka dibayarkan setelah kontrak berlaku efektif," kata dia.

Kemarin, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Moeldoko mememastikan pembelian delapan unit helikopter Apache Longbow dari Amerika Serikat. Sesuai rencana, kedelapan helikopter akan diterima Indonesia secara bertahap mulai tahun 2018 hingga 2021.

Komisi Pertahanan DPR akhirnya merestui pembelian helikopter ini. Padahal sebelumnya, DPR bersikukuh menolak pembelian dengan alasan harga Apache yang terlalu mahal.

Wakil Komisi Pertahanan Tubagus Hasanuddin, salah satu anggota dewan yang sebelumnya menolak Apache, mengatakan parlemen akan membicarakan pengajuan anggaran ini pada rapat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2014. "Harganya sekitar Rp 3,1 triliun, nanti kami alokasikan," kata dia.

  ● Tempo 

Papua dan Aceh merupakan wilayah RI

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta negara-negara lain menghormati keberadaan Papua sebagai bagian wilayah Indonesia, dengan menghindari propaganda dan provokasi kelompok tertentu.

"Hendaknya semua pihak, di dalam dan luar negeri, menghindari segala bentuk propaganda dan provokasi yang dapat menganggu kedaulatan wilayah Indonesia," kata Presiden SBY, dalam pidato kenegaraan di depan sidang bersama DPD dan DPR, di Gedung DPR, Jumat (16/08), ketika menyinggung persoalan gerakan separatisme di Papua.

"Selama ini, kita, bangsa Indonesia, senantiasa menghormati kedaulatan dan integritas negara lain, negara-negara sahabat kami. Oleh karena itu, prinsip yang sama juga diterapkan secara resiprokal," kata Presiden, dalam pidatonya.

"Jangan lukai perasaan bangsa indonesia," tandas Yudhoyono, yang disambut tepuk tangan peserta sidang. "Karena kami juga tidak ingin melukai bangsa lain".

Presiden dalam pidatonya tidak secara eksplisit menyebut nama negara yang dimaksudnya. Namun sebelumnya, Indonesia mengecam pembukaan kantor perwakilan Organisasi Papua Merdeka, OPM di Oxford, Inggris, pada Mei 2013 lalu.

Saat itu, Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa Klik memanggil Duta Besar Inggris, Mark Canning terkait acara tersebut yang juga dihadiri anggota parlemen Inggris dan Walikota Oxford.

Kemenlu Indonesia menyebut pemanggilan ini sebagai bentuk protes keras Indonesia, walaupun Dubes Inggris kemudian menyatakan, Inggris mendukung kedaulatan Indonesia dan tidak mendukung aksi kelompok yang berupaya untuk memerdekakan Papua.

Pernyataan Presiden ini juga terjadi setelah OPM mengklaim akan meresmikan Klik kantor perwakilannya di Denhag, Belanda, Kamis (15/08), yang kemudian diikuti unjuk rasa ribuan para pendukungnya di sejumlah kota di Papua.

Di hadapan peserta sidang, SBY berulangkali menegaskan bahwa Klik Papua dan Aceh merupakan "bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI... Pendirian ini merupakan harga mati... Ini bersifat fundamental dan tidak bisa ditawar-tawar."

Mengubur masa lalu

Secara khusus, Presiden SBY juga menyinggung perkembangan terbaru di Aceh, yang pada Kamis (15/08) kemarin memperingati Klik delapan tahun perjanjian damai Helsinki, antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, GAM.

Presiden mengajak semua pihak untuk menghindari "segala hal yang berpotensi menciptakan kemunduran dan kembali ke situasi tidak aman seperti di masa lalu".

"Semua pihak,"demikian harapan Presiden, "memegang teguh semangat dan ketulusan hati untuk mengubur konflik di masa lalu dan melangkah ke depan untuk membangun diri dalam naungan NKRI."

Pernyataan Presiden ini kemudian mendapat balasan tepuk tangan dari peserta sidang.

Persoalan terbaru yang muncul di Aceh adalah polemik antara Jakarta dan pemerintah Aceh terkait Perda tentang Klik bendera Aceh.

Pemerintah pusat mengganggap simbol bendera Aceh mirip dengan bendera GAM, sehingga mereka meminta diubah.

Namun permintaan ini ditolak Pemerintah Aceh dan DPR Aceh, yang menganggap simbol bendera itu tidak melanggar peraturan dan MOU Helsinki.

Sejauh ini perundingan terhadap persoalan ini masih berlangsung, dan diperpanjang sampai Oktober nanti.

  ● BBC  

☆ Kisah Veteran, Samawi Memotong Dua Telinga Tentara Jepang

Kisah Veteran, Samawi Memotong Dua Telinga Tentara Jepang
Serka (Purn) TNI Samawi B Rejo (kiri)
PALEMBANG - Tubuhnya masih terlihat gagah, semangatnya juga masih terus berkobar. Terlebih ketika meneriakkan kata merdeka saat akan difoto. Dialah Serka (Purn) TNI Samawi B Rejo yang menjadi pejuang sejak tahun 1945 hingga 1948 untuk merebut kemerdekaan Republik Indonesia.

Ketika ditemui Tribun Sumsel (Tribunnews.com Network) di gedung Legiun Veteran Republik Indonesia Kota Palembang, mantan Kopassus Barisan Berani Mati ini menceritakan bagaimana ia bersama teman-temannya berjuang melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan Indonesia.

Ceritanya, pertama kali ia bertempur di Pulau Jawa. Saat itu, ia bertempur melawan Belanda bersama Jenderal Besar Sudirman. Dari Pulau Jawa, ia bersama puluhan temannya sesama pejuang dipindahkan untuk berjuang dan melawan Belanda di Sumsel tepatnya di Muba saat itu.

"Saya pernah memotong dua teliga tentara Jepang setelah saya tembak, senjatanya saya ambil untuk tambahan persenjataan. Dua kali Belanda masuk Indonesia dan Jepang, semuanya saya ikut berperang," ceritanya.

Penerima penghargaan Bintang Gerilya ini mengungkapkan, selama di Sumsel, ia bersama teman-temannya selalu berpindah-pindah melakukan perlawanan baik terhadap Belanda ataupun Jepang yang berusaha menduduki Indonesia.

Terlebih ketika untuk kali keduanya Belanda masuk ke Indonesia dengan menyewa tentara bayaran dari India. Ia bersama pejuang lainnya terus berpindah-pindah mencari markas dan kekuatan, untuk dapat melumpuhkan tentara Belanda yang menduduki Sumsel. Berbagai tempat didatangi, salah satunya Sungsang yang dijadikan sebagai markas para penjuang. Disana, mereka mengatur strategi untuk melawan Belanda yang telah menduduki Sumsel terutama Palembang.

"Saat itu di Sungsang sangat sulit mencari air tawar, jadi untuk minum dan mandi harus menggunakan air asin. Itu dijalani selama enam tahun, bila ingin minum air tawar harus ke Sungai Gerong dahulu dan itu jangan sampai ketahuan tentara Belanda," katanya itu pengalaman yang salah satunya tidak terlupakan.

Ketika disinggung mengenai kemerdekaan saat ini, menurutnya dengan adanya kemerdekaan ini setidaknya bisa memberikan kepuasan tersendiri meski saat bertempur harus mempertaruhkan nyawa. Namun ia sangat sedih ketika melihat generasi muda saat ini yang tidak mensyukuri kemerdekaan dengan kegiatan yang tidak bermanfaat.

Banyak generasi muda lebih mementingkan diri sendiri dari pada bangsanya dan tidak mau memperhatikan kepentingan orang lain. Tak hanya itu saja, bila dilihat di media banyak pejabat atau orang-orang penting di Indonesia yang hanya mementingkan dirinya ketimbang rakyat dan bangsa.

"Pemerintah seharusnya selalu memperhatikan para pejuang dan veteran yang selama ini telah berjuang. Tidak perlu penghargaan saja, tetapi kehidupan layak bagi para veteran. Kaum muda juga harus tetap menjaga kemerdekaan ini, karena kemerdekaan bukan diperoleh dari pemberian tapi dari perjuangan," ujar kakek berumur 89 tahun ini.

  ● Tribunnews  

Submarine Warfare and Upgrades

The submarine is far superior, in terms of influencing a maritime situation, than any battleship for it combines firepower with covert flexible operation, opening the way to a wide variety of other roles, especially in the modern world. Maritime domination was the submarine’s original role focusing upon denying waters to hostile warships; indeed the first modern submarine attack in 1912 was by the Greek submarine Delfin against a Turkish ironclad. A century later this remains a relevant role as demonstrated in 1982 when the sinking of an ancient cruiser by a submarine saw the Argentinean navy confined to harbour for most of theSouth Atlantic campaign. The presence of submarines remains a major inhibitor to enemy surface strike or amphibious groups and therefore a deterrent to precipitous action.

The submarine then rapidly expanded into interdicting maritime lines of communication and destroying mercantile fleets. The impact of German attacks upon the British Empire in two world wars, and the way US submarines strangled the Japanese Empire in the Second World War are well known. Indeed the latter helped to shape Asian history by weakening Japanese control on the mainland and the offshore islands and archipelagos. Asian economies are increasingly dependent upon maritime trade over great distances both for importing raw materials and for exporting manufactured goods. The threat from pirates off the Horn of Africa as well as ‘choke points’ such as the Straits of Malacca demonstrates their vulnerability.

Submarine attack, or the threat of submarine attack, can wreak havoc on maritime trade; indeed the Japanese Maritime Self Defence Force is shaped to securing the island kingdom’s sea lanes, although most modern navies appear to be in denial and prefer to focus more upon the original role of Fleet attack.

Compared with wartime boats, submarines have high underwater speeds, and through hull shaping, ‘rafting’ machinery and shaping moving parts such as propellers they are much quieter, indeed so much so that in 2009 British and French nuclear submarines collided without being aware of each other’s presence. The endurance of diesel-electric boats has been greatly extended through the introduction of air independent propulsion allowing them to remain on station far longer, compensating for a decline. It is also worth nothing that US anti-submarine forces have difficulty detecting foreign diesel-electric boats during training exercises.

The submarine can now deploy sophisticated torpedoes, such as wave-homers, as well as anti-ship missiles, but another option is to use the mine, which can be laid covertly and with great precision as well as being carefully activated and operated. All submarines can carry mines in lieu of other weapons and the presence alone of mines can disrupt trade as demonstrated by incidents around the Arabian Peninsula during the mid 1980s.

The past half century has seen a new threat emerge from under the sea, the ballistic missile submarine. These can vanish into the world’s oceans beyond the ability of any potential enemy to detect them and remain on station almost indefinitely, the limitation being food for the crew. Nuclear-powered vessels can deliver colossal fire power across the globe, and while once the prerogative of the Great Powers they are now in the inventories ofAsia’s Great Powers.China has had the Xia since 1987 and is adding the Jin (Type 094) class with a dozen JL-2 missiles with a 4,300 nautical mile (8,000 kilometre) range, while India’s first domestically-produced nuclear submarine, INS Arihant, will be similar but with dozen Sagarika ballistic missiles with a more modest 400 nautical mile (750 kilometres) range. While the capital costs of these strategic deterrents are very high, while India’s first domestically-produced nuclear submarine, INS Arihant, will be similar but with dozen Sagarika ballistic missiles with a more modest 400 nautical mile (750 kilometres) range. While the capital costs of these strategic deterrents are very high the operating costs are relatively low. The Trident force, which provides 54 per cent of the US strategic deterrent, uses 35 per cent of Washington’s strategic budget but only 1.5 per cent of naval personnel.

The successors to INS Arihant are scheduled to receive ‘cruise’ or ‘air breathing’ missiles, turbofan-powered miniature aircraft with inertial navigation systems capable of flying long missions at low level and concluding with a precision attack upon the target. These weapons have been launched from torpedo tubes by attack submarines of the US Navy and the Royal Navy since 1991 and provide an impressive, non-nuclear means of strategic strike hundreds of kilometres from the sea. It is a capability that will increasingly be at the disposal of major Asian navies that wish to acquire it, and it is worth recalling that 40 per cent of the world’s population lives within 100 nautical miles (185 kilometres) of the sea in an area which produces 67.6 per cent of the world’s Gross Domestic Product (GDP).

Significantly, India’s Russian-built Kilo (Project 877) or Sindhughosh class submarines are being upgraded at Severodvinsk to operate the Klub missile system family, and while most boats are being adapted to use the 3M54 (SS-N-27) anti-ship missile two have been adapted to take 3M14 (SS-N-30) land attack missiles with a 160 nautical mile (300 kilometre) range. India is also developing a submarine-launched version of the supersonic Brahmos missile, which has a similar range to the 3M14, and while this might be primarily for anti-ship, a land attack role cannot be ruled out. In fact, conventional land attack now lies within the reach of smaller navies using anti-ship missiles for manufacturers have responded to the growing demand for littoral warfare by adapting these weapons initially to engage vessels operating in the radar clutter from the coast or a harbour and later directly to attack land targets. This capability exists in the latest Exocets, supplied to Malaysia for its Scorpenes, and the turbojet-propelled Block 3 version has a range of 95 nautical miles (180 kilometres).

The submarine has a key role even in peace time, or in crises short of hostilities, by providing covert Intelligence, Surveillance and Reconnaissance (ISR) a legacy capability enhanced by modern technology. During the war against Japan submarines regularly exploited the high magnification rates of their optical periscopes to conduct visual and photographic reconnaissance; indeed, using them to count the number of latrines, US Navy intelligence was able to determine with great accuracy the size of the garrison on the island of Tarawa in 1943.

The introduction of mast-mounted television cameras, which can be augmented by image intensifier and/or thermal imager systems, has enhanced this capability. These masts can be raised, turn up to 360 degrees capturing and recording an image with a television camera and then be lowered all within 10 seconds and the images can then be studied at leisure upon a console. Interestingly, the new Japanese Souryu class submarines have the licence-built Thales Optronics CM 10 mast-mounted system and it seems likely this technology will be acquired by other Asian navies in the coming years especially in new-build vessels such as Australia’s Collins successor.

Wartime submarines were also used to deliver special forces both for reconnaissance and commando raids. Modern special forces may be delivered through the traditional inflatable boat but it is more likely they will use swimmer delivery vehicles (SDVs) which can pull them through the water saving time and energy. Major navies are looking at dedicated miniature submarines attached to nuclear-powered attack submarines to deliver special forces from longer ranges, and the concept has already been accepted by some Asian navies such as North and South Korea as well as Pakistan which operate conventional miniature submarines specifically for this role.

Modern submarine design is increasingly incorporating features to support special operations and these will undoubtedly filter into Asian navies. Germany’s new batch of Type 212A submarines will include a lock-out chamber for up to four special forces troopers at a time while Israel’s German-built Dolphins have a similar feature and the four 650mm (25.6 inch) torpedo tubes in these boats are reported to be for SDVs. Kockums recently revealed their design for the Swedish Navy’s A26 which included a bay on the casing for an SDV or even a miniature submarine, while the conventional torpedo compartment has been replaced by a multi-role space which can also house SDVs that will depart or enter through a 1.5 metre wide multi-mission portal in the bow between the torpedo tubes. Behind this is a 6-metre long airlock which can hold up to eight personnel.

Submarines can also use their electronic sensors in the ISR role. Sonars can not only monitor traffic and build up a picture of maritime and naval movements but also be used to create a library identifying individual ships to provide further detail of naval activity. This is not new; in 1943 US submarines were able to identify a particular Japanese destroyer operating in the waters of what is now Indonesia because it had nicked a propeller blade and had a very distinctive signature. The sophisticated processing of modern sonar systems carries this further forward by monitoring, and recording, the whole of a ships’ acoustic signature.

Electronic signal measures (ESM) systems are in all submarines, detecting and monitoring radar and communications signals in order to alert them to the presence of hostile ships and aircraft. The same systems can also be used to monitor radio traffic and to detect and to locate radar stations and help a nation covertly build up a picture of potentially hostile activity in a neighbour. This picture can include technical details of aircraft and of ships, organisation of command and control assets with supporting sensor and weapons as well as clues to strategic intentions as well as operational capabilities.

The development of robot submarines, both remotely operated vehicles (ROVs) and Autonomous Underwater Vehicles (AUVs), may well extend this ISR function. They could be deployed through torpedo tubes- after all heavyweight torpedoes are wire guided so wire guidance should not be impossible- but there remain questions of control, and the difficulties of recovering these vehicles make it likely they will be disposable assets; but they could be used for hydrographical surveys, to plot enemy minefields (whose presence would be discovered by the submarine’s mine detection and obstacle avoidance sonar) and possibly to neutralise them. Indeed, if mine fuzes can be designed to switch on or off based upon a timer, then it is technically feasible for ROVs to attach disposal charges with their own timer fuzes to neutralise the mines at a preferred time such as when an amphibious group arrives off its objective. Interestingly the US Navy has announced plans to deploy Unmanned Air Vehicles (UAV) from submerged submarines during the RIMPAC (Rim of the Pacific) exercise possibly adding an aerial reconnaissance capability to the submarine’s already broad inventory of tasks.

The existing and potential capabilities of submarines mean that the Asian market remains dynamic with new build and upgrades. In the past 12 months Indonesia has ordered two submarines from South Korea, and Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME) has been awarded a contract to build the first two 3,000-tonne Korean Submarine Phase 3 (KSS 3) boats with Seoul having a requirement for up to nine. Singapore has received the second former Swedish Västergötland class boat, RSS Swordsman which, like RSS Archer, has been comprehensively upgraded, refurbished and tropicalised.

Building of Scorpenes to meet India’s Project 75 requirement has slipped at least a year although New Delhi’s preparing to launch the Project 75A programme while Australia is in a similar position with the Collins class successor in Project Sea1000. In the distaff side there is no sign of Taiwan getting its longed for new submarines, while Thailand’s plans to acquire German Type 206 coastal boats was scuttled by inter-service financial wrangling. Thailand retains a submarine requirement while Bangladesh and the Philippines would both like submarines, Manila defining the requirement at three boats, but financial hurdles remain too high to overcome. Upgrade programmes continue but news is muted; Pakistan’s Khalids (Agosta 90B) are receiving MESMA air independent propulsion systems and Australia’s Collins will have their Scylla sonars improved, while Russia continues to upgrade India’s Kilo class boats.

Besok, 4 Kapal Perang Indonesia Show Force Balas Provokasi Malaysia

BALIKPAPAN - Empat unit kapal perang dan satu kapal selam TNI Angkatan Laut, bakal ikut ambil bagian dalam upacara peringatan HUT ke-68 RI, di daerah perbatasan dengan Malaysia.

Pangdam VI Mulawarman Mayjen TNI Dicky Wainal Usman mengatakan, parade kapal laut itu, salah satu bentuk show force angkatan perang Indonesia kepada negeri jiran tersebut.

"Kapal perang itu, akan ikut parade di Karang Ungaran. Saya sendiri akan ikut upacara di daerah perbatasan dengan Malaysia, yakni di Pulau Sebatik," kata Dicky Wainal Usman, Jumat (16/08/2013).

Selain menyiapkan kapal perang, Dicky juga mengungkapkan 12 penerjun dari Korps Pasukan Khusus (Kopasus) TNI AD siap unjuk kebolehan di Pulau Sebatik, Sabtu (17/08/2013) besok.

"Kami memang mau show force ke negara tetangga, karena selama ini mereka lebih banyak melakukan provokasi. Kami juga ingin menunjukkan bahwa kemerdekaan kita ini bukan pemberian atau hadiah melainkan dengan perjuangan dan darah," tegasnya.

Ia menilai, pelaksanaan peringatan HUT RI di Pulau Sebatik dan Karang Ungaran sudah tepat. Pasalnya, kedua pulau itu berada di posisi perbatasan dan untuk menumbuhkan rasa patriotisme di kawasaan perbatasan.

  Tribunnews 

Jumat, 16 Agustus 2013

Kalau 1998 saya ambil, Indonesia bisa seperti Mesir sekarang

https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQtM-gICVKuSS6vgn6ngPU3Hn1DkzZBaO-M8PGD6vbJbOB2gqIJJalan bagi Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto menghuni istana masih panjang dan berliku. Mantan ajudan Presiden Soeharto ini harus meyakinkan publik untuk memilih partainya.

Tanpa suara minimal 20 persen, sulit bagi Wiranto dan pasangannya, Hary Tanoesoedibjo, maju dalam pemilihan presiden. Satu-satunya cara adalah berkoalisi dengan partai lain buat menggenapkan syarat pengajuan kandidat.

Wiranto mengaku mempunyai strategi biar bisa lolos. "Secara aklamasi seluruh peserta rapat pimpinan (partai) meminta saya sebagai calon presiden di 2014, ujarnya kepada merdeka.com akhir bulan lalu.

Berikut penuturan Wiranto saat ditemui Arbi Sumandoyo, Alwan Ridha Ramdani, Faisal Assegaf, dan juru foto Muhammad Luthfi Rahman di kantor Dewan Pimpinan Pusat Hanura.

Apa strategi Anda untuk mencapai syarat 20 persen buat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden?

Saya tanya dulu supaya kita diskusi, yang kita akan pakai undang-undang lama atau baru? Hanura, Gerindra, ingin yang baru. Ini belum selesai. Kalau belum selesai, jangan kita mengada-ada. Jangan kita mengandai-andai. Politik itu realitas.

Melihat betapa pentingnya pemimpin Indonesia masa depan, kita menghadapi kompetisi global sangat ketat, maka kita butuh pemimpin betul-betul punya pengetahuan, perilaku baik, dan kalau setuju punya kekuatan spritual memadai. Ini persyaratan tidak mudah.

Rakyat akan memberikan mandat kepada pemerintah tentu ingin melihat lebih banyak calon, lebih bagus. Dimana pun kalau kita berbicara kompetisi, memilih yang terbaik, lebih banyak calon akan lebih banyak pilihan. Saat dikompetisikan secara jujur, adil, dan terbuka, maka akan menemukan betul-betul calon punya integritas dan kompetensi diharapkan bangsa ini.

Hanura berpendapat kita kembalikan saja pada UUD 1945. Semua partai politik secara sendirian atau gabungan berhak mengusung presiden dan wakil presiden. Kami berpendapat partai sudah lolos ambang batas parlemen, berarti dia sudah dibenarkan untuk eksis, dibenarkan untuk hidup sebagai partai politik di Indonesia. Berarti dibenarkan untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Itu pendapat kami.

Bagaimana kesolidan dukungan partai terhadap Anda?

Anda melihat beda antara saya dicalonkan lewat konvensi dengan dicalonkan oleh Hanura lewat rapimnas secara aklamasi minta saya sebagai calon presiden. Saya bersyukur Anda mempunyai penilaian pencalonan saya di 2004 tidak didukung sepenuhnya oleh Golkar.

Hal tersebut tidak akan terjadi di 2014, kala saya dicalonkan dari partai saya sendiri. Yang mendirikan saya, ketua umumnya masih saya, dan juga secara aklamasi seluruh peserta rapat pimpinan meminta saya sebagai calon presiden di 2014. Dengan demikian tidak ada keraguan sedikitpun Hanura tidak mendukung saya sebagai calon presisden.

Kesempatan Anda saat 1998 sangat terbuka untuk jadi presiden, kenapa tidak diambil?

Saya sangat bersyukur penjelasan saya dulu barangkali meragukan masyarakat, di mana saya tidak mengambil saat itu. Karena justru sikap saya untuk tidak mengorbankan rakyat hanya sekadar satu jabatan.

Pada 1998 saat pergantian antara Orde Baru ke Orde Reformasi, tuntutan masyarakat adalah melakukan reformasi total. Kalau saya sebagai tokoh militer memanfaatkan keadaan seperti itu dan dengan alasan keamanan mengambil alih pemerintahan, pasti akan menimbulkan perang saudara. Akan menimbukan pro dan kontra tingkat nasional, akan melibatkan banyak rakyat. Berarti saya akan berhadapan dengan rakyat. Saya akan menghadapkan tentara dengan rakyat.

Kedua, waktu itu masalah moneter dan ekonomi buruk. Dolar Rp 15 ribu, ekonomi morat marit. Kita butuh dukungan luar negeri. Rezim militer waktu itu sangat tidak populis. Kita lihat Myanmar, Pakistan, waktu itu tidak dapat dukungan dari dunia internasional, maka diembargo. Bagaimana kita memulihkan ekonomi kalau kita mendapatkan embargo.

Ketika pemerintahan akan kita jalankan, kita harus mengosongkan gedung MPR dan DPR dari pendudukan mahasiswa. Waktu itu saya perhitungkan korban 200 orang dalam gebrakan pertama. Kalau Anda menjadi saya, apa Anda tega sekadar untuk kedudukan dan jabatan taruhannya adalah masyarakat. Waktu itu banyak orang tidak percaya.

Sekarang setelah Mesir kejadian seperti ini, Suriah, saya katakan ini gambaran nyata. saya terima kasih ada gambaran bisa mengatakan kalau waktu itu saya ambil alih maka gambaranya seperti di Mesir sekarang. Tidak jelas reformasi itu bagaimana, korban terus berjatuhan, terus masih berhadapan militer dengan rakyat dengan jumlah besar. Sehingga keputusan saya tidak mengambil alih adalah keputusan tepat. Paling tidak bagi saya.

Apakah majunya Anda saat ini bentuk kecemasan Anda?

Salah satu pertimbanganya itu. Karena saya ini melihat apa yang saya lakukan di 1998. Sebenarnya Anda sudah bisa menarik kesimpulan, saya bukan orang gila kekuasaan. Saya masih cukup waras untuk menempatkan kekuasaan sebagai instrumen untuk pengabdian. Saat inipun sama.

Saat saya ingin maju 2004-2009, 2009-2014, perjuangan saya untuk melihat negeri kita masih bisa lebih baik dikelola dari sekarang ini. Masih ada potensi-potensi bisa kita manfaatkan untuk menghasilkan pemerintahan dan negara lebih baik. Ini tentu juga sesuai keyakinan saya sebagai orang Islam.

Ada hadis Rasulallah, wajib hukumnya untuk setiap muslim berbuat sesuatu. Kalau dia merasa mampu dan melihat di depannya ada sesuatu tidak benar dengan tangannya. Kalau tidak mampu dengan mulutnya, mulutnya tidak mampu diam. Itu ajaran sangat bagus.

Saya merasa punya pengalaman mendampingi tiga presiden: Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid. Pernah menjadi pejabat pada level nasional, ikut mendesain reformasi belum selesai waktu itu. Saya kalau ingin melanjutkan perjuangan boleh-boleh saja.

  Merdeka  

KKOP Polonia Harus Aman untuk F-16

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSBS8km92E6yd7XMdMXDfiApAyJ2a60VlIpl1wJubRcV4Jf_djYPolemik mengenai Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) di bandara Polonia, yang sekarang berubah nama menjadi Pangkalan Udara (Lanud) Suwondo, masih terus berlanjut.

Sebagai sebuah pangkalan militer, penentuan KKOP Lanud Suwondo ditentukan oleh TNI AU, bukan oleh Kementerian Perhubungan.

Tokoh senior TNI AU, yang juga Ketua Komite Nasional Keamanan Transportasi (KNKT) Marsma TNI (Purn) Tatang Kurniadi, mengatakan, memang KKOP untuk bandara sipil berbeda dengan KKOP bandara militer. Bandara sipil ketentuan KKOP mengacu standar internasional yang ditetapkan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yakni International Civil Aviation Organization (ICAO).

"Sedang bandara militer KKOP-nya ditetapkan masing-masing negara, yakni pihak militernya, tergantung jenis pesawat yang keluar-masuk di bandara itu," ujar Tatang Kurniadi kepada JPNN kemarin (14/8).

Dia mengingatkan, untuk Lanud Sowondo KKOP-nya jangan diubah, biarkan saja tetap sama dengan KKOP yang lama, sewaktu Polonia masih menjadi bandara sipil. Sejumlah alasan dia kemukakan.

Pertama, Lanud Sowondo merupakan lanud yang strategis di kawasan Sumatera. Strategis dari aspek pertahanan keamanan negara, maupun dalam situasi darurat seperti ketika terjadi bencana.

"Jadi KKOP-nya jangan diotak-atik. Bayangkan, pesawat militer itu membawa roket, bom, dan sejenisnya, yang bisa membahayakan masyarakat sekitar," pesan Tatang mengingatkan.

Pria yang selalu sibuk tatkala terjadi kecelakaan pesawat itu memberi contoh. Untuk pesawat tempur jenis F-16, kata dia, perlu ancang-ancang jauh untuk bisa melesat.

"Idealnya, sepanjang 15 ribu meter dari ujung landasan tak boleh ada bangunan tinggi. Pesawat F-16 itu melesat dengan kecepatan 200 kilometer per jam. Lima belas ribu meter itu hanya ditempuh lima menit," kata pria kelahiran 1946 itu.

Berapa ketinggian yang dilarang di sepanjang 150 ribu meter itu? Tatang menyebut, idealnya 150 meter. "Tak boleh lebih tinggi 150 meter karena bisa mengganggu penglihatan pilot," cetusnya.

Kedua, jika situasi darurat perang, maka Lanud Sowondo juga akan dimasuki pesawat-pesawat sipil. "Itu terjadi jika militer membutuhkan bantuan pesawat-pesawat sipil berbadan lebar, yang besar-besar, untuk mengangkut pasukan misalnya," ujar Tatang.

Jika ketentuan KKOP diubah, misal aturan ketinggian bangunan di sekitar Lanud Suwondo diperpendek, maka otomatis hanya jenis pesawat-pesawat kecil saja yang bisa masuk ke sana. "Hanya Cassa atau Heli saja," imbuhnya.

Ketiga, Lanud Sowondo itu selevel dengan Lanud Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur. Selain menjadi pangkalan militer, Lanud Halim juga menjadi semacam bandara cadangan bagi penerbangan sipil. Karenanya, KKOP Lanud Halim juga sangat ketat, yang memungkinkan penerbangan pesawat-pesawat sipil berbadan lebar, aman keluar-masuk.

"Ketika suatu saat bandara Kualanamu ada masalah, maka mau tak mau penerbangan sipil juga dialihkan sementara ke Lanud (Suwondo, red). Ini seperti hubungan Halim dengan Soekarno-Hatta," terang dia.

Keempat, jika terjadi situasi darurat bencana di wilayah Sumut dan sekitarnya, maka pesawat-pesawat yang membawa logistik bantuan tetap harus mendarat ke Lanud Sowondo. "Karena kalau ke Kualanamu, bisa mengganggu jadwal penerbangan sipil, yang memang sudah padat," imbuhnya.

Terkait dengan keinginan Pemko Medan yang ingin melakukan pengembangan kota, tapi terbentur ketentuan KKOP bekas bandara Polonia itu, Tatang mengatakan, pengembangan kota memang penting tapi keselamatan penerbangan jauh lebih penting.

Malah, Tatang mengingatkan Pemko Medan agar tetap ikut menjaga 'kebesaran' bandara yang sudah beken dengan nama bandara Polonia itu. "Karena kebesaran sebuah kota akan hilang jika bandaranya mengecil," kata Tatang.

  JPNNl  

Pesan SBY ke negara lain: Jangan lukai perasaan Indonesia

Sikap saling menghormati dan menghargai antara satu negara dengan negara lain menjadi syarat mutlak dalam hubungan internasional. Hal itu telah diterapkan Indonesia dalam hubungan global.

Namun demikian, tak selalu Indonesia mendapat hal yang sama dari negara lain. Pelanggaran batas wilayah dan kedaulatan Indonesia kerap dilakukan oleh negara tetangga.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki pesan khusus terhadap negara-negara lain mengenai hal itu.

"Jangan lukai perasaan bangsa Indonesia, karena kami juga tidak ingin melukai perasaan bangsa lain," kata Presiden SBY dalam pidato kenegaraan di sidang tahunan, Gedung DPR, Jakarta, Jumat (16/8).

SBY mengatakan, selama ini Indonesia selalu menghormati negara lain. Karena itu, SBY berharap Indonesia mendapat hal yang sama dari negara lain.

"Selama ini kita bangsa Indonesia senantiasa menghormati integritas dan kedaulatan negara sahabat kami. Oleh karena itu kita juga berharap mendapat hal yang sama," kata SBY.(mdk/dan)

SBY Tegaskan Aceh dan Papua bagian NKRI

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan Aceh dan Papua merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk itu, ia minta semua pihak, baik yang di dalam negeri maupun luar negeri,  menghormatinya.

"Kita perlu sekali lagi menegaskan bahwa Aceh dan Papua adalah bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI. Pendirian ini merupakan harga mati bagi bangsa Indonesia. Kita berharap pendirian ini dipahami oleh semua pihak," dalam pidato kenegaraan di Gedung Parlemen, Jakarta, Jumat (16/8).

SBY melanjutkan, melalui penegasan ini, dirinya berharap agar semua pihak bekerja secara aktif untuk mencegah aktivitas politik yang dapat mengakibatkan terganggunya hubungan baik Indonesia dengan negara-negara sahabat.

"Jangan lukai perasaan bangsa Indonesia, karena kami juga tidak ingin melukai bangsa lain," katanya menegaskan.

  Merdeka | MetroTv 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...