TNI AL yang tergabung dalam Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) berhasil menangkap kapal STS-50 pencuri ikan yang menjadi buronan Interpol di wilayah Aceh pada Jumat 6 April 2018. [Foto/Ist] ★
Kapal STS-50 pencuri ikan yang menjadi buronan The International Criminal Police Organization (Interpol) berhasil ditangkap Indonesia. Penangkapan itu dilakukan setelah Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) mendapatkan permintaan resmi dari Interpol melalui NCB Indonesia pada Kamis 5 April 2018.
Akhirnya, TNI Angkatan Laut (AL) menangkap kapal tersebut di wilayah Aceh pada Jumat 6 April 2018, tepatnya di sekitar 60 mil dari sisi tenggara Pulau Weh. "Setelah diikuti dari Maldives," ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam jumpa pers di Rumah Dinasnya, Kompleks Widya Chandra, Jakarta, Sabtu (7/4/2018).
Susi mengungkapkan bahwa kapal STS-50 itu merupakan kapal tanpa bendera kebangsaan alias kapal stateless. Dia menambahkan, kapal STS-50 menggunakan delapan bendera, Sierra Leone, Togo, Kamboja, Korea Selatan, Jepang, Mikronesia, Filipina dan Namibia.
"Selain melakukan ilegal fishing, kapal STS-50 diduga melakukan pemalsuan dokumen kebangsaan kapal untuk menghindari pengawasan dan penegakan hukum," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, dari informasi yang didapat, kapal STS-50 terakhir mengibarkan bendera Togo. "Namun Pemerintah Togo telah menolak identitas kebangsaan kapal tersebut," ungkapnya.
Diduga Terlibat Perdagangan Manusia
Kapal STS-50 pencuri ikan yang menjadi buronan The International Criminal Police Organization (Interpol), juga diduga melakukan perdagangan manusia (human trafficking). Adapun kapal STS-50 berhasil ditangkap TNI Angkatan Laut (AL) dengan KAL Simeuleu di sekitar 60 mil dari sisi Tenggara Pulau Weh, Aceh pada Jumat 6 April 2018.
Penangkapan itu dilakukan setelah Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) mendapatkan permintaan resmi dari Interpol melalui NCB Indonesia pada Kamis 5 April 2018.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkapkan, jumlah anak buah kapal (ABK) STS-50 itu sebanyak 30 orang. Dari jumlah itu, 10 orang diantaranya warga Rusia dan 20 orang lainnya merupakan warga negara Indonesia (WNI).
"Dugaan kuat yang dilakukan oleh STS-50 adalah melakukan kejahatan lintas negara yang telah lama berlangsung dan terorganisir," ujar Susi saat jumpa pers di rumah dinasnya, Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, Sabtu (7/4/2018).
Susi membeberkan, dalam purple notice Interpol disebutkan bahwa kapal STS-50 terafiliasi dengan perusahaan bernama Red Star Company Ltd yang berdomisili di Belize.
"Negara ini adalah negara yang seringkali digunakan oleh perusahaan pelaku kejahatan terorganisir sebagai modus operandi penggelapan identitas pemilik manfaat," ujarnya.
Kapal STS-50 juga beberapa kali menggunakan identitas palsu dan memalsukan jenis ikan yang ditangkap. Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut (AL) Laksamana Madya TNI Achmad Taufiqoerrochman, mengatakan, banyak kecurigaan muncul saat menangkap kapal STS-50 itu. "Terutama surat-surat dokumen tidak lengkap," ujar Achmad dalam kesempatan yang sama.
Salah satu contohnya, pemalsuan informasi jumlah ABK. Dari informasi awal, jumlah ABK STS-50 sebanyak 20 orang, yang terdiri atas 14 orang WNI dan enam orang warga Rusia.
"Ternyata begitu kami cek, di situ ada 30 orang, 10 orang warga Rusia dan 20 WNI. Kemungkinan dari pengalaman saya menangkap, itu ada empat WNI yang tidak dibayar, jadi lama dia di laut tapi tidak dibayar," ungkapnya.
Informasi dugaan itu juga didengarnya saat dia di Hawai. "Jadi ada orang kami kerja di kapal-kapal ikan, ternyata paspornya tidak ada, dia tidak bisa pulang dan dia tidak dibayar," pungkasnya.
Konsultasi dengan Interpol dan 3 Negara
Pemerintah Indonesia akan bekerja sama dengan Pemerintah Tiongkok, Togo, Mozambik, dan Interpol untuk menindaklanjuti dugaan kejahatan lintas negara yang telah lama berlangsung dan terorganisir atau transnational organized fisheries crime.
"Tim gabungan akan bekerja sama dengan Interpol dan pemerintah negara-negara tersebut untuk mengejar tidak hanya saja pelaku intelektual, tetapi juga pemilik manfaat dari kapal STS-50," ujar Menteri Susi saat jumpa pers di rumah dinasnya, Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, Sabtu (7/4/2018).
Menurut Susi, kapal STS-50 merupakan kapal tanpa bendera kebangsaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 92 UNCLOS, sehingga sangat dimungkinkan disita oleh negara, agar dapat digunakan untuk kepentingan publik atau ditenggelamkan seperti kapal FV Viking.
"Perlakuan terhadap kapal ini akan diputuskan segera dengan berkonsultasi dengan negara-negara yang berkepentingan dan Interpol," tandasnya. (thm)
Kapal STS-50 pencuri ikan yang menjadi buronan The International Criminal Police Organization (Interpol) berhasil ditangkap Indonesia. Penangkapan itu dilakukan setelah Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) mendapatkan permintaan resmi dari Interpol melalui NCB Indonesia pada Kamis 5 April 2018.
Akhirnya, TNI Angkatan Laut (AL) menangkap kapal tersebut di wilayah Aceh pada Jumat 6 April 2018, tepatnya di sekitar 60 mil dari sisi tenggara Pulau Weh. "Setelah diikuti dari Maldives," ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam jumpa pers di Rumah Dinasnya, Kompleks Widya Chandra, Jakarta, Sabtu (7/4/2018).
Susi mengungkapkan bahwa kapal STS-50 itu merupakan kapal tanpa bendera kebangsaan alias kapal stateless. Dia menambahkan, kapal STS-50 menggunakan delapan bendera, Sierra Leone, Togo, Kamboja, Korea Selatan, Jepang, Mikronesia, Filipina dan Namibia.
"Selain melakukan ilegal fishing, kapal STS-50 diduga melakukan pemalsuan dokumen kebangsaan kapal untuk menghindari pengawasan dan penegakan hukum," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, dari informasi yang didapat, kapal STS-50 terakhir mengibarkan bendera Togo. "Namun Pemerintah Togo telah menolak identitas kebangsaan kapal tersebut," ungkapnya.
Diduga Terlibat Perdagangan Manusia
Kapal STS-50 pencuri ikan yang menjadi buronan The International Criminal Police Organization (Interpol), juga diduga melakukan perdagangan manusia (human trafficking). Adapun kapal STS-50 berhasil ditangkap TNI Angkatan Laut (AL) dengan KAL Simeuleu di sekitar 60 mil dari sisi Tenggara Pulau Weh, Aceh pada Jumat 6 April 2018.
Penangkapan itu dilakukan setelah Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) mendapatkan permintaan resmi dari Interpol melalui NCB Indonesia pada Kamis 5 April 2018.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkapkan, jumlah anak buah kapal (ABK) STS-50 itu sebanyak 30 orang. Dari jumlah itu, 10 orang diantaranya warga Rusia dan 20 orang lainnya merupakan warga negara Indonesia (WNI).
"Dugaan kuat yang dilakukan oleh STS-50 adalah melakukan kejahatan lintas negara yang telah lama berlangsung dan terorganisir," ujar Susi saat jumpa pers di rumah dinasnya, Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, Sabtu (7/4/2018).
Susi membeberkan, dalam purple notice Interpol disebutkan bahwa kapal STS-50 terafiliasi dengan perusahaan bernama Red Star Company Ltd yang berdomisili di Belize.
"Negara ini adalah negara yang seringkali digunakan oleh perusahaan pelaku kejahatan terorganisir sebagai modus operandi penggelapan identitas pemilik manfaat," ujarnya.
Kapal STS-50 juga beberapa kali menggunakan identitas palsu dan memalsukan jenis ikan yang ditangkap. Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut (AL) Laksamana Madya TNI Achmad Taufiqoerrochman, mengatakan, banyak kecurigaan muncul saat menangkap kapal STS-50 itu. "Terutama surat-surat dokumen tidak lengkap," ujar Achmad dalam kesempatan yang sama.
Salah satu contohnya, pemalsuan informasi jumlah ABK. Dari informasi awal, jumlah ABK STS-50 sebanyak 20 orang, yang terdiri atas 14 orang WNI dan enam orang warga Rusia.
"Ternyata begitu kami cek, di situ ada 30 orang, 10 orang warga Rusia dan 20 WNI. Kemungkinan dari pengalaman saya menangkap, itu ada empat WNI yang tidak dibayar, jadi lama dia di laut tapi tidak dibayar," ungkapnya.
Informasi dugaan itu juga didengarnya saat dia di Hawai. "Jadi ada orang kami kerja di kapal-kapal ikan, ternyata paspornya tidak ada, dia tidak bisa pulang dan dia tidak dibayar," pungkasnya.
Konsultasi dengan Interpol dan 3 Negara
Pemerintah Indonesia akan bekerja sama dengan Pemerintah Tiongkok, Togo, Mozambik, dan Interpol untuk menindaklanjuti dugaan kejahatan lintas negara yang telah lama berlangsung dan terorganisir atau transnational organized fisheries crime.
"Tim gabungan akan bekerja sama dengan Interpol dan pemerintah negara-negara tersebut untuk mengejar tidak hanya saja pelaku intelektual, tetapi juga pemilik manfaat dari kapal STS-50," ujar Menteri Susi saat jumpa pers di rumah dinasnya, Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, Sabtu (7/4/2018).
Menurut Susi, kapal STS-50 merupakan kapal tanpa bendera kebangsaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 92 UNCLOS, sehingga sangat dimungkinkan disita oleh negara, agar dapat digunakan untuk kepentingan publik atau ditenggelamkan seperti kapal FV Viking.
"Perlakuan terhadap kapal ini akan diputuskan segera dengan berkonsultasi dengan negara-negara yang berkepentingan dan Interpol," tandasnya. (thm)