Rabu, 30 Juli 2014

Pemberontakan Kapal Tujuh

77 Tahun Pemberontakan Zeven Provincien Ilustrasi Zeven Provincien

Peter A Rohi

Surabaya, 4 Februari 1933. Ini merupakan puncak dari sebuah unjuk rasa besar para pelaut Indonesia terhadap Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Melalui seorang marconis (petugas radio) berita itu disampaikan kepada semua pelaut yang bertugas di luar Surabaya.

Telegram itu sampai juga di atas Kapal Perang De Zeven Provincien yang sedang melakukan patroli di sebelah barat Aceh. Dari kamar marconis, telegram itu dibocorkan seorang kelasi Belanda Moud Boshart kepada para pelaut Indonesia. Peristiwa berdarah itu kemudian memengaruhi kebijakan politik Kerajaan Belanda terhadap jajahannya, Hindia Belanda, sedangkan Gubernur Hindia Belanda De Jonge ­mengeluarkan UU yang ­kemudian dikenal sebagai Hatzai Artikelen (yang ­kemudian dipakai juga oleh rezim Soeharto).

Setelah 77 tahun berlalu, peringatan Pemberontakan Kapal Tujuh atau yang juga dikenal sebagai De Zeven Provincien Affair tidak pernah dilakukan secara resmi. Oleh karena itu, generasi sekarang sangat asing dengan peristiwa heroik itu, karena jenjang waktu yang sangat panjang dan tidak tertulis dalam sejarah Indonesia. Padahal, ketika Taman Makam Pahlawan Kalibata baru jadi dan masih kosong, Presiden Soekarno memerintahkan untuk mengisi TMP itu dengan kerangka para pejuang yang tewas dalam peristiwa itu, dipindahkan dari Pulau Kelor di Kepulauan Seribu.

Pemberontakan itu oleh pers Amerika dilukiskan sebagai pertama kali terjadi di dunia, di mana marinir (anggota Angkatan Laut) pribumi di sebuah kapal perang kolonial mengambil alih sebuah kapal perang. Kelasi-kelasi Indonesia yang berada dalam tubuh Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang selalu dipandang rendah, tiba-tiba memberontak. Dengan gagahnya, sebagaimana ditulis Moud Boshart, kelasi Belanda yang berpihak pada para pemberontak: tanpa mengikuti sekolah pelayaran, kelasi Martin Paradja meng­ambil alih pimpinan da­lam pelayaran membangkang, yaitu “Kembali ke Surabaya”. Paradja sebelumnya tidak pernah mengikuti sekolah pelayaran. Akan tetapi, lelaki yang lahir dalam deburan ombak Laut Sawu itu dengan percaya diri memimpin teman-temannya kembali ke Surabaya untuk mendukung gerakan mogok yang dilakukan para marinir di sana.

Para kelasi Indonesia berhasil melumpuhkan para perwira Belanda mengambil alih kapal itu dari para opsir Belanda. Kelasi Paradja bertindak memegang komando, Ke­lasi kelas satu Kawilarang yang punya pengalaman di Eropa ber­fungsi sebagai navigator. Ke­lasi Rumambi berada di bagian komunikasi telepon, Hendrik sebagai pengatur bahan bakar, dan Kopral Gosal yang meng­urusi bagian kesehatan.

Moud Boshart dalam ma­jalah De Ulienspiegel edisi 3 Februari 1963, sebagaimana dikutip dalam Surat Pembaca nomor 3 Komisi Indonesia CPN: “Saya merasa jenuh, karena semalaman tidak bisa tidur. Keesokan harinya Ko­mandan dengan sia-sia mencoba berunding dan mengambil hati pelaut Indonesia yang kini menjadi majikan di kapal perang Belanda itu.”

 Solidaritas 

Pemberontakan Kapal Tujuh itu terjadi karena rasa nasionalisme yang mulai menjalar ke tubuh anggota marinir pribumi dalam korps Angkat­an Laut Kerajaan Belanda. Rasa penghinaan yang lama dirasakan karena adanya perbedaan perlakukan di antara para kelasi Belanda dan pribumi sangat mencolok. Ratusan pelaut di Surabaya melakukan pemogokan tanggal 3 Februari 1933 untuk memprotes keputusan penurunan gaji pegawai pemerintah Hindia Belanda sebesar 17%, yang diumumkan pada tanggal 1 Januari 1933.

Tanggal 5 Februari, awak pribumi di Kapal Zeven Provincien yang sedang melakukan pelayaran dinas dan patroli di wilayah barat Sumatera menyatakan solidaritas dengan gerakan rekan-rekan mereka di Surabaya. Ketika itu, suasana politik sedang menghangat. Di Eropa, Hitler bersiap mengambil alih pimpinan, dan gerakannya menakutkan tetangga-tetangganya, termasuk Belanda. Sementara itu, di Hindia Belanda sejak 1926 banyak terjadi pemberontakan hebat yang menentang kekuasaan pemerintahan Belanda. Ditangkapnya kembali Bung Karno yang sudah menjadi ikon pergerakan malah menambah berkobarnya semangat nasionalisme.

Pemogokan marinir dimulai di Surabaya, dan para pelaut di Kapal Tujuh mengirimkan telegram mendukung: “lanjutkan aksimu”. Suasana di kapal pun menjadi sangat panas. Para anggota marinir pribumi sudah bertekad akan berjuang sampai titik darah terakhir. Untuk menenangkan situasi para perwira Belanda malah membuat blunder. Mereka mengadakan pesta di kantin KNIL di Uleelheue, Aceh, dengan membuang duit sebesar 500 gulden, dan menyediakan nona-nona Belanda untuk berdansa dengan para pelaut pribumi. Tetapi pelaut Indonesia menolak hadir.

Malam harinya, tiba-tiba seorang letnan yang berpesta di darat memerintahkan Boshart membawanya pulang ke kapal. Ternyata perwira jaga di kapal sudah tewas. M Sapiya dalam bukunya, Pemberontakan Kapal Tujuh, mengisahkan bahwa ia dibantai Martin Paradja di tangga kapal. Kapal sudah dikuasai marinir Indonesia yang bersenjata. Meriam sudah terisi, lampu sein dicopot. Martin Paradja dan Gosal memberi perintah. Raut wajah para marinir Indonesia yang bersenjata terlihat sangat keras, tulis Moud Boshart. Seorang perwira, Baron De Vos van Steenwijk, yang semula masih mencoba menguasai ruang marconis, kemudian mundur dan meletakkan senjatanya.

Awalnya, pemberontakan direncanakan pukul satu dini hari. Akan tetapi, siang hari tanggal 6 Februari 1933, Martin Paradja tertangkap basah ketika dia membongkar gudang amunisi. Ketika menghadap opsir Paradja ia hanya mengenakan jins pendek dan kaus belel. Opsir itu membentak marah. Paradja dianggap tidak sopan. Paradja malah membalas dengan mengeluarkan komando agar pemberontakan dimulai. Ini lebih awal dari rencana.

Dalam pemberontakan itu semua marinir Indonesia sehati untuk melayarkan Kapal Tujuh kembali ke Surabaya. Kenyataan ini merupakan tamparan bagi rasa sombong orang Eropa yang menganggap bahwa orang Indonesia hanyalah pekerja rendahan yang bisa dibohongi. Tanpa mengikuti sekolah pelayaran pun, ternyata kelasi Paradja mampu memimpin pelayaran kali ini. Hal ini sangat merendahkan para perwira Belanda.

Keesokan harinya, opsir mencoba berunding untuk mengambil hati marinir Indonesia yang telah menjadi majikan di kapal perang Belanda. Upaya perundingan ditolak oleh para pemberontak. Gubernur General De Jonge di Batavia memutuskan mengirimkan pasukan dengan kapal perang Aldebaran. Martin Paradja membidikkan meriam kaliber 15 cm untuk mengancam Aldebaran.

Pada hari kelima setelah melewati Selat Siberut, ada masuk telegram untuk mengikuti perintah di bawah pengawasan Kapal Penjelajah Java, tetapi Martin Paradja pemimpin Kapal Tujuh menolak mentah-mentah perintah ini dan membalas telegram: “Tetap berlayar ke Surabaya”. Komandan Kapal Perang Java, Kapten van Dulm terus membuntuti Kapal Zeven Provincien. Ia juga memberi ultimatum agar pemberontak segera menyerah dan mengibarkan bendera putih. Akan tetapi, peringatan tersebut tidak dipedulikan oleh para pemberontak. Akhirnya, van Dulm mengambil tindakan kekerasan untuk menghentikan pemberontakan tersebut.

 Menyerah 

Pada hari Jumat, 10 Februari 1933, tepat Jam 09.18 pagi, bom pertama dijatuhkan dari pesawat terbang militer Dornier, tepat di atas geladak Kapal Zeven Provincien, menewaskan 20 awak Indonesia dan tiga awak Belanda. Pemimpin pemberontakan Martin Paradja termasuk yang tewas dalam pengeboman itu. Melihat banyak korban yang bergelimpangan, Kawilarang yang mengganti posisi Paradja sebagai pemimpin, akhirnya menyatakan menyerah dan meminta bantuan medis segera.

Para pemberontak yang masih hidup dibawa dengan Kapal Java dan rekan-rekan pemberontak berkebangsaan Belanda dibawa dengan Kapal Orion menuju Pulau Onrust. Para awak Indonesia yang ditahan terdiri dari 100 orang yang tidak diborgol dan 50 orang yang diborgol. Sementara itu, awak Belanda terdiri dari 28 orang yang diborgol dan empat orang yang tidak diborgol dijebloskan ke penjara militer di Sukolilo, Madura, di mana sudah terdapat sekitar 400 marinir pemberontak di sana. Secara keseluruhan, para pemberontak dituntut 644 tahun oleh Mahkamah Militer.

Gubernur Jenderal De Jonge mendapat serangan atas terjadinya pemberontakan para pelaut Indonesia di atas Kapal Perang Zeven Provincien itu. Apalagi, ada beberapa pelaut orang Eropa yang membantu pelaut-pelat Indonesia itu, seperti Moud Boshart. Kaum nasionalis, seperti Soekarno, menjadi kambing hitam sebab-sebab terjadinya pemberontakan itu. Akibat berita itu mendapat tempat di halaman muka pers Amerika, beberapa media di Indonesia terkena getahnya. Harian Soeara Oemoem milik Dr Soetomo diberedel. Pemimpin redaksinya, Raden Tahir Tjindarboemi, ditahan, diadili, dan dipenjara. Raden Tahir Tjindarboemi, setelah lulus dari Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya, lebih memilih menjadi wartawan ketimbang menjadi dokter Belanda.

Ketika kemerdekaan, para pelaut dilepas dari Penjara Sukolilo dan mendirikan Ikatan Bekas Marine, dan selalu memperingati gerakan mereka pada setiap tanggal 3 Februari dan menyanyikan lagu “Mars Sukolilo”. Andre Therik, seorang pelaku mengatakan: “Penurunan gaji hanya momentum bagi meletusnya pemberontakan itu. Para pelaut Indonesia yang sudah bermimpi akan kemerdekaan Indonesia yang mendorong kami memberontak.”

Walau pemberontakan hanya berlangsung seminggu, tetapi dampaknya sangatlah besar. Implikasinya di dalam negeri, kebanggaan nasional makin menjalar. Organisasi pergerakan yang tersebar menyatu dalam Parindra (Partai Indonesia Raya) pimpinan dokter Soetomo, mendapat tekanan dan diberedel.

Selain beberapa media diberedel, tokoh-tokoh politik seperti Hatta dan Sjahrir dibuang ke Boven Digul, menyusul Soekarno dibuang ke Ende. Pengawasan terhadap gerakan politik diperketat. Di luar negeri, Belanda sangat merasa malu, apalagi Jerman dan Jepang dapat mengukur kelemahan Angkatan Laut Kerajaan Belanda, karena peristiwa itu terjadi di ambang Perang Dunia II. Media Jepang bahkan mengutip ucapan Kawilarang setelah dijatuhi hukuman 17 tahun: “Dihukum mati pun saya merasa bangga, karena bagaimanapun saya pernah memimpin De Zeven Provincien, kapal perang kebanggaan Kerajaan Belanda”(sumber: Sinar Harapan).
Pemberontakan Pelaut Pribumi di Kapal Perang Kebanggaan Belanda https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghjOWnfZNbIhEdSBxgdNXStRKz1_Vt72I9aP-Y6AQL6Rvi0xsKjMa2cY6sYNA57_irS7_9CcTxxJ1WhVhc08ru18U2qQM08wkRHdZxj7gURNNBn4QEcwrYf2nu6kjPjt3K0U206JsBk2Q/s1600/Zeven+Provincien.jpgAdityo Nugroho

Hampir luput dalam catatan sejarah mengenai pemberontakan pelaut pribumi di kapal perang Belanda, De Zeven Provincien atau biasa disebut Kapal Tujuh. Peristiwa itu terjadi pada 3 Febuari 1933, dan menjadi bukti, pribumi masa kolonial memiliki keberanian luar biasa dalam memperjuangkan harkat dan martabat.

Peristiwa bermula dari kebijakan pemerintah kolonial menurunkan gaji pegawai sebesar 17 persen sejak 1 Januari 1933. Alasan kebijakan tersebut, pemerintah mengalami defisit anggaran pasca-terjadinya krisis ekonomi dunia.

Terjadi pemogokan besar yang dilakukan anggota Korps Marinir pribumi Angkatan Laut Belanda pada 3 Febuari 1933 di Surabaya. Para pelaut Kapal Tujuh menyatakan simpati dan dukungannya terhadap rekan-rekannya yang melakukan aksi di Surabaya. Kapal Tujuh yang sedang berada di perairan Sumatera juga mengalami hawa panas di antara awak-awak kapalnya. Terutama kesenjangan antara pelaut Belanda dan pelaut pribumi.

Momentum pemberontakan tepat ketika para pelaut Belanda mengadakan pesta di kantin KNIL di Uleelheue Aceh, menghamburkan uang 500 gulden untuk menyewa nona-nona yang akan dihidangkan ke pelaut pribumi. Tidak ada satu pun pelaut pribumi yang hadir dalam pesta tersebut. Ketika seorang Letnan kembali ke kapal, terkejutlah kala melihat perwira jaga kapal tewas di tangga kapal.

Ternyata dalam waktu seketika, kapal sudah dikuasai oleh marinir Indonesia yang bersenjata lengkap di bawah pimpinan Martin Paradja dan Gosal. Dalam pemberontakan itu, semua marinir Indonesia sehati untuk melayarkan Kapal Tujuh kembali ke Surabaya. Kenyataan ini merupakan tamparan bagi rasa sombong orang Eropa yang menganggap bahwa orang Indonesia hanyalah pekerja rendahan yang bisa dibohongi. Tanpa mengikuti sekolah pelayaran pun, ternyata kelasi Paradja mampu memimpin pelayaran. Hal ini sangat merendahkan para perwira Belanda.

Keesokan harinya, opsir mencoba berunding untuk mengambil hati marinir Indonesia yang telah menjadi majikan di kapal perang Belanda. Upaya perundingan ditolak oleh para pemberontak. Gubernur General De Jonge di Batavia mengirimkan pasukan dengan kapal perang Aldebaran. Martin Paradja membidikkan meriam kaliber 15 cm untuk mengancam Aldebaran.

Pada hari kelima setelah melewati Selat Siberut, masuk telegram untuk mengikuti perintah di bawah pengawasan Kapal Penjelajah Java, tetapi Martin Paradja pemimpin Kapal Tujuh menolak mentah-mentah perintah ini dan membalas telegram, “Tetap berlayar ke Surabaya.”

Komandan Kapal Perang Java, Kapten van Dulm, terus membuntuti Kapal Zeven Provincien. Ia juga memberi ultimatum agar pemberontak segera menyerah dan mengibarkan bendera putih. Akan tetapi, peringatan tersebut tidak dipedulikan oleh para pemberontak. Akhirnya, van Dulm mengambil tindakan kekerasan untuk menghentikan pemberontakan tersebut.

Pada Jumat, 10 Februari 1933, tepat Jam 09.18 pagi, bom pertama dijatuhkan dari pesawat terbang militer Dornier, tepat di atas geladak Kapal Zeven Provincien, menewaskan 20 awak Indonesia dan tiga awak Belanda. Pemimpin pemberontakan Martin Paradja termasuk yang tewas dalam pengeboman itu. Melihat banyak korban yang bergelimpangan, Kawilarang yang mengganti posisi Paradja sebagai pemimpin, akhirnya menyatakan menyerah dan meminta bantuan medis segera.

Akan tetapi ada versi lain yang menyebutkan Martin Paradja selamat dan berhasil meloloskan diri, hingga kembali ke kampung asalnya di daerah Sawu, NTT. Kisah lain pun menyebutkan, Martin Paradja sempat bertemu Soekarno saat di buang ke Ende, Flores. Di sana ia membantu Soekarno dalam hal pengiriman surat ke Jawa.

Sementara itu, nasib Kawilarang beserta anak buahnya ketika menyerah, divonis 644 tahun penjara oleh Mahkamah Militer. Mereka ada yang dipenjarakan di Sukolilo, Madura, dan Pulau Onrust. Beberapa pelaut Belanda yang membantu perjuangan pelaut Indonesia seperti Moud Boshart juga dijatuhi hukuman penjara.

 Gelora Nasionalisme 

Dalam peristiwa ini, dukungan para tokoh-tokoh pergerakan seperti Soekarno dan Dr Soetomo juga mengalir kepada para pelaku pemberontakan. Tidak salah kemudian jika Belanda mengaitkan peristiwa ini karena akibat ulah tokoh-tokoh pergerakan yang menggelorakan nasionalisme sebagai semangat perlawanan terhadap Belanda.

Ketika kemerdekaan, para pelaut dilepas dari Penjara Sukolilo dan mendirikan Ikatan Bekas Marine, dan selalu memperingati gerakan mereka pada setiap tanggal 3 Februari dengan menyanyikan lagu ‘Mars Sukolilo’.

Andre Therik, seorang pelaku mengatakan, “Penurunan gaji hanya momentum bagi meletusnya pemberontakan itu. Para pelaut Indonesia yang sudah bermimpi akan kemerdekaan Indonesia yang mendorong kami memberontak.”

Walau pemberontakan hanya berlangsung seminggu, tetapi dampaknya sangatlah besar. Implikasinya di dalam negeri, kebanggaan nasional makin menjalar. Organisasi pergerakan yang tersebar menyatu dalam Parindra (Partai Indonesia Raya) pimpinan dokter Soetomo, mendapat tekanan dan dibreidel.

Selain beberapa media dibreidel, tokoh-tokoh politik seperti Hatta dan Sjahrir dibuang ke Boven Digul, menyusul Soekarno dibuang ke Ende. Pengawasan terhadap gerakan politik diperketat. Di luar negeri, Belanda sangat merasa malu, apalagi Jerman dan Jepang dapat mengukur kelemahan Angkatan Laut Kerajaan Belanda, karena peristiwa itu terjadi di ambang Perang Dunia II.

Media Jepang bahkan mengutip ucapan Kawilarang setelah dijatuhi hukuman 17 tahun, “Dihukum mati pun saya merasa bangga, karena bagaimanapun saya pernah memimpin De Zeven Provincien, kapal perang kebanggaan Kerajaan Belanda.”

  Dekin | Jurnal Maritim 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...