☆ Divisi Sistem Senjata
Menyelusuri kemampuan putera-puteri Indonesia dibidang pembuatan sistem senjata merupakan tugas yang sangat menantang. Salah satu cerita menarik kami dapat tatkala menelusuri keberadaan Divisi Sistem Senjata di wilayah produksi PT Dirgantara Indonesia (DI). Satu dari 27 divisi di perusahaan itu ternyata jarang di perkenalkan kepada umum. Itu karena, pertama, sifat produknya yang terbilang 'sensitif', dan kedua, karena unit bisnis ini pernah menjadi unit produksi yang berlabel top secret.
Meski begitu, pemuatan Divisi Sistem Senjata di media massa tidaklah perlu di risaukan. Karena bagaimanapun masyarakat perlu tahu dan harus bangga dengan kemampuan unit bisnis ini sebagai bagian dari kekuatan industri senjata dalam negeri. Di banyak negara, keberadaan divisi persenjataan di dalam tubuh industri kedirgantaraan sendiri bukan format yang luar biasa. Boeing (AS), British Aerospace (Inggris), Samsung (Korea selatan), dan lain-lain misalnya, juga memiliki divisi sejenis, justru sebagai salah satu program diversifikasi untuk menompang bisnis induk perusahaannya.
Dibanding dengan perusahaan Boeing, BAE, Samsung yang umumnya sarat dengan teknologi tinggi, persenjataan produk Divisi Sistem Senjata masih tergolong senjata konvensional yang masih digunakan hingga saat ini.
Menyelusuri kemampuan putera-puteri Indonesia dibidang pembuatan sistem senjata merupakan tugas yang sangat menantang. Salah satu cerita menarik kami dapat tatkala menelusuri keberadaan Divisi Sistem Senjata di wilayah produksi PT Dirgantara Indonesia (DI). Satu dari 27 divisi di perusahaan itu ternyata jarang di perkenalkan kepada umum. Itu karena, pertama, sifat produknya yang terbilang 'sensitif', dan kedua, karena unit bisnis ini pernah menjadi unit produksi yang berlabel top secret.
Meski begitu, pemuatan Divisi Sistem Senjata di media massa tidaklah perlu di risaukan. Karena bagaimanapun masyarakat perlu tahu dan harus bangga dengan kemampuan unit bisnis ini sebagai bagian dari kekuatan industri senjata dalam negeri. Di banyak negara, keberadaan divisi persenjataan di dalam tubuh industri kedirgantaraan sendiri bukan format yang luar biasa. Boeing (AS), British Aerospace (Inggris), Samsung (Korea selatan), dan lain-lain misalnya, juga memiliki divisi sejenis, justru sebagai salah satu program diversifikasi untuk menompang bisnis induk perusahaannya.
Dibanding dengan perusahaan Boeing, BAE, Samsung yang umumnya sarat dengan teknologi tinggi, persenjataan produk Divisi Sistem Senjata masih tergolong senjata konvensional yang masih digunakan hingga saat ini.
NDL 40 |
Produk mereka adalah FFAR (Folded Fin Aerial Rocket) 2,75 inci berikut sistem peluncur roketnya (NDL-40 Army / Navy) serta SUT Torpedo. Namun demikian, sebagai satu-satunya penyedia kebutuhan roket udara ke darat untuk pesawat tempur TNI AU dan Helikopter AD, serta torpedo untuk kapal perang TNI AL, eksistensinya di dalam negeri tidak bisa dipandang sebelah mata.
Kecuali sistem peluncur roket, baik FFAR maupun SUT Torpedo dibuat berdasarkan lisensi dari pabrikan luar negeri. Lisensi FFAR berasal dari FZ-Belgia, dikerjakan sejak 1982. Sementara SUT Torpedo berasal dari AEG-Telefunken, Jerman, telah digarap sejak 1986. Seperti juga pesawat NC 212 dan BO 105, lisensis FFAR dan SUT Torpedo diambil DI untuk misi transfer teknologi.
"Kini 60% bagian dari FFAR sudah bisa dibuat didalam negeri. Yang kami impor praktis tinggal propelan atau bahan bakar roket. Demikian pula SUT Torpedo, sebagian besar sudah dibuat di Indonesia," ujar sumber Angkasa.
Pernyataan tersebut membuktikan bahwa transfer teknologi telah berjalan mulus. Namun setelah sekian lama, wajar jika ada pertanyaan tambahan. "Mengapa hingga kini , Indonesia belum juga mampu membuat propelan? Apakah karena tidak memiliki tenaga ahlinya atau sulit mendapat bahan mentahnya?"
Menurut sumber Angkasa, Divisi Sistem senjata tak memiliki masalah dalam hal tenaga ahli, dan Indonesia punya banyak sumber bahan mentah.
Kecuali sistem peluncur roket, baik FFAR maupun SUT Torpedo dibuat berdasarkan lisensi dari pabrikan luar negeri. Lisensi FFAR berasal dari FZ-Belgia, dikerjakan sejak 1982. Sementara SUT Torpedo berasal dari AEG-Telefunken, Jerman, telah digarap sejak 1986. Seperti juga pesawat NC 212 dan BO 105, lisensis FFAR dan SUT Torpedo diambil DI untuk misi transfer teknologi.
"Kini 60% bagian dari FFAR sudah bisa dibuat didalam negeri. Yang kami impor praktis tinggal propelan atau bahan bakar roket. Demikian pula SUT Torpedo, sebagian besar sudah dibuat di Indonesia," ujar sumber Angkasa.
Pernyataan tersebut membuktikan bahwa transfer teknologi telah berjalan mulus. Namun setelah sekian lama, wajar jika ada pertanyaan tambahan. "Mengapa hingga kini , Indonesia belum juga mampu membuat propelan? Apakah karena tidak memiliki tenaga ahlinya atau sulit mendapat bahan mentahnya?"
Menurut sumber Angkasa, Divisi Sistem senjata tak memiliki masalah dalam hal tenaga ahli, dan Indonesia punya banyak sumber bahan mentah.
Roket FFAR 2,75 inci |
Indonesia juga punya fasilitas industri yang tinggal direvitalisasi untuk pengembangan kemampuannya. "Yang jadi masalah justru keinginan pemerintah saja. Hingga kini pemerintah praktis belum berkeinginan untuk sungguh-sungguh mendirikan pabrik roket dan torpedo yang benar-benar mandiri. Padahal untuk mendirikan pabrik propelan, double base atau composite, hanya diperlukan modal kurang lebih 100 juta dollar AS," ujar sumber Angkasa (diberitakan tahun 2011 ini kita sedang membangun pabrik khusus propelan).
Agar lebih mudah, "Pemerintah juga tinggal menggerakan industri yang berkaitan dengan ini, dari hulu sampai ke hilir. Dilain pihak, sesungguhnya banyak negara tertarik jadi mitra kerja dalam industri ini," tambahnya.
Kemandirian dalam industri pertahanan sangat penting untuk menangkal embargo dan lepas dari ketergantungan dengan negara lain. Pemerintah harusnya tak perlu khawatir dengan kelayakan ekonomisnya. Karena, besar - kecilnya kapasitas industri dan berapa jumlah produk yang perlu dihasilkan tinggal disesuaikan dengan kebutuhan TNI dan anggaran yang ada.
☆ Proyek Menang
Cita-cita kemandirian di bidang pembuatan roket senjata sejatinya sudah dibangun jauh sebelum PT DI diresmikan berdiri tahun 1976. Cita-cita ini pertama di lontarkan oleh Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Surjadi Suryadarma. AURI ingin memproduksi sendiri karena pada masa itu banyak memerlukan roket-roket seperti ini untuk berbagai operasi militer dan penumpasan pemberontakan.
Suryadarma bahkan telah memilih desa daerah terpencil di Madiun, Jawa Timur, bernama Menang. Dipilihnya tempat tersebut untuk proyek tersebut bebas dari incaran pihak-pihak yang ingin menggagalkannya. Proyek yang akhirnya di resmikan KSAU Omar Dhani dengan nama sandi 'Proyek Menang' dengan dasar keputusan Menteri/ KSAU no.47/1963.
Saat itu sebagai pelaksana yang ditunjuk langsung oleh KSAU Omar Dhani, Deputi Logistik Budiardjo terpaksa mengalihkannya ke lain tempat karena keterbatasan fasilitas di Desa Menang. Produk yang dikerjakan adalah roket Lesca, yang lisensinya berasal dari salah satu negara di Eropa. Proyek ini menghasilkan roket-roket yang kemudian menjadi senjata andalan pesawat P-51D Mustang AURI.
"Mengingat saat itu kekuatan AURI banyak dikerahkan untuk merendam konflik di berbagai tempat, demi keamanannya, proyek inipun di kategorikan Top Secret. Hanya beberapa orang yang tahu," kenang Mantan Marsda (Pur) RJ Salatun, salah seorang tokoh AURI sejawat Suryadarma, kepada Angkasa. "Maksud kita sekaligus untuk mempelajari know-how nya. Kenyataannya, membuat roket seperti ini lebih rumit dari yang dibayangkan." sambung Salatun sambil tersenyum.
Dalam perjalanannya Proyek Menang berhasil menghasilkan sejumlah roket. diantaranya Sura FL, PRM-62 mm, PRM-70 mm dan roket darat ke darat R-80. Tekad yang kuat telah menuntun mereka menembus semua kesulitan dalam menguasai know-how tentang roket.
SUT Torpedo |
Sekedar catatan, kebetulan pada masa-masa itu di Yogyakarta dan Bandung sendiri sedang diliputi demam pembuatan roket ilmiah oleh kelompok mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Roket-roket rancangan mahasiswa ini dipantau penuh oleh AURI, ADRI dan Pindad, terlebih setelah Presiden Soekarno menyatakan ketertarikannya terhadap rangkaian penelitian ilmiah ini.
Para Mahasiswa tidak saja mampu membuat badan roket, juga meracik sendiri propelan yang komposisinya tak pernah dibeberkan oleh satu negarapun. Khusus dikalangan mahasiswa UGM, mereka mendapat bimbingan dari Prof Petrov, ilmuwan Universitas California of Los Angeles mantan Direktur Teknik Cessna, AS, yang pada tahun 1962 pernah datang ke Yogyakarta memberikan kuliah di Jurusan Mesin Fakultas Teknik UGM.
Belakangan, pada tahun1975, Proyek Menang dipecah dua menjadi Proyek Menang I yang kemudian berubah namanya menjadi Pabrik roket Menang I, dan Proyek Menang II yang selanjutnya bernama Perum Dahana, pabrik bahan peledak. Enam tahun berselang perubahan kembali terjadi didalam tubuh Menang. Kala itu KSAU menyerahkan Pabrik Roket Menang I kepada PT Nurtanio dan disahkan menjadi Divisi ke 5, yakni Divisi Sistem Senjata, PT Nurtanio.
Di tangan PT Nurtanio yang kemudian berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia inilah, pada tahun 1981 mereka kemudian memperoleh lisensi pembuatan roket FFAR 2,75 inci. Tiga tahun kemudian kembali mendapat kepercayaan membuat SUT Torpedo, dengan lisensi dari Jerman.
☆ Roket Penjaga Selat
Para Mahasiswa tidak saja mampu membuat badan roket, juga meracik sendiri propelan yang komposisinya tak pernah dibeberkan oleh satu negarapun. Khusus dikalangan mahasiswa UGM, mereka mendapat bimbingan dari Prof Petrov, ilmuwan Universitas California of Los Angeles mantan Direktur Teknik Cessna, AS, yang pada tahun 1962 pernah datang ke Yogyakarta memberikan kuliah di Jurusan Mesin Fakultas Teknik UGM.
Belakangan, pada tahun1975, Proyek Menang dipecah dua menjadi Proyek Menang I yang kemudian berubah namanya menjadi Pabrik roket Menang I, dan Proyek Menang II yang selanjutnya bernama Perum Dahana, pabrik bahan peledak. Enam tahun berselang perubahan kembali terjadi didalam tubuh Menang. Kala itu KSAU menyerahkan Pabrik Roket Menang I kepada PT Nurtanio dan disahkan menjadi Divisi ke 5, yakni Divisi Sistem Senjata, PT Nurtanio.
Di tangan PT Nurtanio yang kemudian berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia inilah, pada tahun 1981 mereka kemudian memperoleh lisensi pembuatan roket FFAR 2,75 inci. Tiga tahun kemudian kembali mendapat kepercayaan membuat SUT Torpedo, dengan lisensi dari Jerman.
☆ Roket Penjaga Selat
Ujicoba Rhan 122 mm |
Adakah impian atau harapan ke depan? seperti industri strategis lainnya di berbagai negara, Divisi Sistem Senjata juga ingin dipercaya membuat persenjataan lain rancangan sendiri, life-circle dari produk yang telah dikuasai selama ini. Diantara yang diidam-idamkan adalah roket 122 mm jarak 20-40 km, roket semi kendali daya jangkau 300 km, dan light weight torpedo.
Menurut mereka roket 122 mm jarak 20-40 km adalah produk paling reasonable untuk Indonesia. Roket-roket taktis yang tidak terlalu rumit pembuatannya ini sangat penting untuk menjaga selat-selat di wilayah terluar Indonesia. Roket-roket ini praktis akan menjadi deteren tersendiri apabila di tempatkan di sekitar Selat Malaka, Selat Sunda, selat di wilayah Timtim, hingga ke wilayah Banda dan Merauke.
Tak sulit sebenarnya membayangkan roket 122 mm. Roket ini bisa dibilang sekelas BM 21 Grad buatan Rusia atau Katyusha. Sosoknya memang ketinggalan zaman, namun oleh karena pengoperasiannya mudah dan praktis, banyak negara tetap mengandalkan roket ini.
Semasa pemerintahan Orde Baru, pembuatan roket 122 mm diam-diam telah dijadikan sasaran fase II dalam pengembangan Divisi Sistem Senjata yang pada waktu itu bernama SBU Defence. Roket ini diharapkan segera dibuat setelah mereka menuntaskan fase I, yakni penguasaan teknologi FFAR 2,75 inci. Kala itu pemerintah memandang penting persenjataan taktis ini mengingat selat-selat itu kerap di terobos kapal-kapal asing.
Setelah menguasai fase II, Divisi ini beralih ke fase III, yakni membangun roket kendali berdaya jangkau 300 km. Semua fase ini telah dimasukan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Pada masa itu Pemerintah RI telah menempatkan industri senjata dalam kerangka grand strategy petahanan nasional yang cukup baik, lengkap dengan perangkat kebijakannya. Sebagaimana diketahui, industri-industri seperti ini dikelola oleh Badan Pengelola Industri Strategis. Sayang, Fase I tak pernah tuntas di kerjakan. DI, atau yang dahulu dikenal sebagai IPTN, keburu ambruk akibat krisis moneter.(adr)
Menurut mereka roket 122 mm jarak 20-40 km adalah produk paling reasonable untuk Indonesia. Roket-roket taktis yang tidak terlalu rumit pembuatannya ini sangat penting untuk menjaga selat-selat di wilayah terluar Indonesia. Roket-roket ini praktis akan menjadi deteren tersendiri apabila di tempatkan di sekitar Selat Malaka, Selat Sunda, selat di wilayah Timtim, hingga ke wilayah Banda dan Merauke.
Tak sulit sebenarnya membayangkan roket 122 mm. Roket ini bisa dibilang sekelas BM 21 Grad buatan Rusia atau Katyusha. Sosoknya memang ketinggalan zaman, namun oleh karena pengoperasiannya mudah dan praktis, banyak negara tetap mengandalkan roket ini.
Semasa pemerintahan Orde Baru, pembuatan roket 122 mm diam-diam telah dijadikan sasaran fase II dalam pengembangan Divisi Sistem Senjata yang pada waktu itu bernama SBU Defence. Roket ini diharapkan segera dibuat setelah mereka menuntaskan fase I, yakni penguasaan teknologi FFAR 2,75 inci. Kala itu pemerintah memandang penting persenjataan taktis ini mengingat selat-selat itu kerap di terobos kapal-kapal asing.
Setelah menguasai fase II, Divisi ini beralih ke fase III, yakni membangun roket kendali berdaya jangkau 300 km. Semua fase ini telah dimasukan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Pada masa itu Pemerintah RI telah menempatkan industri senjata dalam kerangka grand strategy petahanan nasional yang cukup baik, lengkap dengan perangkat kebijakannya. Sebagaimana diketahui, industri-industri seperti ini dikelola oleh Badan Pengelola Industri Strategis. Sayang, Fase I tak pernah tuntas di kerjakan. DI, atau yang dahulu dikenal sebagai IPTN, keburu ambruk akibat krisis moneter.(adr)
Prototipe Rhan 122 mm (Foto Handy Eka Chaya Kurniawan) |
Sekarang cita-cita itu mulai diwujudkan Pemerintah RI dengan di berdayakan beberapa BUMNIS (Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis) bersama Kemhan, yang mulai melanjutkan atau mewujudkan cita-cita kemandirian bangsa terhadap industri senjata.
Banyak cita-cita Proyek Menang yang telah di ujicoba seperti roket 122 mm yang berhasil dan akan di produksi massal Pindad bersama Dahana, roket berdaya jangkau 300 km telah dibuat prototipe oleh LAPAN dan sudah beberapa kali ujicoba dan sukses. Sedangkan Pemerintah RI bekerjasama dengan China untuk memproduksi rudal darat ke darat C-705, yang berdaya jangkau 120-170 km.
Diharapkan dengan memproduksi sendiri rudal tersebut, ke depannya Indonesia mampu membuat sistem pengendali untuk roket-roket lapan menjadi rudal pertama Indonesia, sehingga Kemandirian dalam industri pertahanan khusus rudal sudah 'tercapai' dan bisa menangkal embargo dan lepas dari ketergantungan dengan negara lain. Peningkatan penguasaan teknologi roket kendali serta teknologi pandu dan kontrol roket pengorbit satelit secara berkelanjutan tetap dilakukan LAPAN dalam upaya menunjang kemandirian teknologi peroketan.
Sumber :
♆ Majalah Angkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.