Nine-dash line, garis imajiner yang digunakan China untuk mengklaim wilayah di Laut China Selatan yang dipersengketakan sejumlah negara Asia, menjorok hingga teritori Indonesia di perairan Natuna. (CNN Indonesia/Fajrian) ★
Hasil keputusan pengadilan arbitrase atas sengketa Laut China Selatan akhirnya dirilis pada Selasa (12/7). Salah satu hasil keputusan itu menyebutkan bahwa pengadilan menolak klaim China atas hak ekonomi di wilayah yang selama ini ditandai dengan sembilan garis putus-putus atau nine-dash line.
"Tak ada dasar hukum bagi China untuk mengklaim hak berdasarkan sejarah terhadap sumber daya di wilayah perairan yang termasuk di dalam 'nine-dash line,'" demikian bunyi keputusan pengadilan tersebut seperti dikutip Reuters.
Klaim China ditandai dengan sembilan garis putus-putus, atau nine-dash line, meliputi ratusan pulau, terumbu karang dan wilayah perairan yang tumpang-tindih dengan Filipina, Taiwan, Malaysia, Brunei, dan Vietnam.
China kerap menangkap ikan di wilayah yang masuk dalam garis imajiner itu atas dasar historis, meskipun daerah tersebut masuk dalam zona ekonomi eksklusif negara lain.
Dalam siaran pers berisi rangkuman hasil keputusan tersebut, para hakim mengatakan bahwa klaim China atas sumber daya berdasarkan sejarah itu tidak sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hukum Laut (UNCLOS).
Dilansir Reuters, keputusan ini dapat dianggap sebagai kemenangan bagi Filipina yang mengajukan tuntutan ini ke Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag pada 2013 lalu.
Dalam keputusan setebal 497 halaman tersebut, para hakim juga menyebutkan bahwa patroli aparat penegak hukum di sekitar wilayah sengketa Laut China Selatan juga dapat berisiko kecelakaan dengan kapal penangkap ikan Filipina.
Akibatnya, terjadi kerusakan terhadap terumbu karang. Kerusakan ini tidak dapat diperbaiki dengan konstruksi.
China sebagai pihak yang sejak awal sudah memboikot kasus ini, mengatakan tidak akan mematuhi keputusan pengadilan tersebut.
Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Yasay, pun meminta semua pihak untuk menahan diri dan tenang dalam menanggapi keputusan ini.
"Para ahli kami mempelajari keputusan ini dengan hati-hati dan teliti. Kami meminta semua pihak untuk menahan diri dan tenang. Filipina menekankan penghormatan kami terhadap keputusan penting ini," ujar Yasay dalam jumpa pers.
China Tolak Hasil Arbitrase Laut China Selatan
Pengadilan arbitrase juga memutuskan bahwa pulau buatan China tidak memberikan hak zona ekonomi eksklusif bagi Beijing. (Reuters/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/Handout)
China menolak hasil keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) atas tuntutan Filipina mengenai sengketa Laut China Selatan.
"Menanggapi hasil Pengadilan Arbitrase mengenai Laut China Selatan atas permintaan Filipina, Kementerian Luar Negeri China mendeklarasikan bahwa hasil ini tidak sah dan tak mengikat. China juga tak menerima dan mengakuinya," demikian bunyi pernyataan Kemlu China melalui siaran persnya, Selasa (12/7).
Salah satu hasil keputusan itu menyebutkan bahwa pengadilan menolak klaim China atas hak ekonomi di wilayah yang selama ini ditandai dengan sembilan garis putus-putus atau nine-dash line.
Selain itu, pengadilan juga memutuskan bahwa pulau buatan China tidak memberikan hak zona ekonomi eksklusif bagi Beijing.
Selama ini, China membangun pulau buatan di wilayah Kepulauan Spratly, wilayah ZEE yang tumpang tindih dengan sejumlah negara, termasuk Filipina. Melalui tuntutan ini, Filipina meminta pengadilan memutuskan sejauh mana sebuah negara dapat mengeksploitasi sumber daya di perairan.
Dalam hasil keputusan tersebut, para hakim di pengadilan merujuk pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut (UNCLOS). Dalam konvensi tersebut dijelaskan bahwa setiap pulau memiliki zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut dan landas kontinen.
Namun, "Bebatuan yang tidak memiliki habitat manusia atau kehidupan ekonomi sendiri tidak memiliki zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen."
Atas dasar tersebut, pengadilan menyimpulkan bahwa, "semua yang ada di Kepulauan Spratly (termasuk, contohnya, Itu Aba, Thitu, West York Island, Spratly Island, North-East Cay, South-West Cay, merupakan 'bebatuan' yang tidak memberikan zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen."
Namun, China kembali menampik keputusan ini dan mengatakan bahwa Beijing memiliki hak zona ekonomi eksklusif atas di wilayah Spratly.
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, pun mengatakan bahwa hasil pengadilan ini justru memperburuk tensi dan konfrontasi. (stu)
Hasil keputusan pengadilan arbitrase atas sengketa Laut China Selatan akhirnya dirilis pada Selasa (12/7). Salah satu hasil keputusan itu menyebutkan bahwa pengadilan menolak klaim China atas hak ekonomi di wilayah yang selama ini ditandai dengan sembilan garis putus-putus atau nine-dash line.
"Tak ada dasar hukum bagi China untuk mengklaim hak berdasarkan sejarah terhadap sumber daya di wilayah perairan yang termasuk di dalam 'nine-dash line,'" demikian bunyi keputusan pengadilan tersebut seperti dikutip Reuters.
Klaim China ditandai dengan sembilan garis putus-putus, atau nine-dash line, meliputi ratusan pulau, terumbu karang dan wilayah perairan yang tumpang-tindih dengan Filipina, Taiwan, Malaysia, Brunei, dan Vietnam.
China kerap menangkap ikan di wilayah yang masuk dalam garis imajiner itu atas dasar historis, meskipun daerah tersebut masuk dalam zona ekonomi eksklusif negara lain.
Dalam siaran pers berisi rangkuman hasil keputusan tersebut, para hakim mengatakan bahwa klaim China atas sumber daya berdasarkan sejarah itu tidak sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hukum Laut (UNCLOS).
Dilansir Reuters, keputusan ini dapat dianggap sebagai kemenangan bagi Filipina yang mengajukan tuntutan ini ke Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag pada 2013 lalu.
Dalam keputusan setebal 497 halaman tersebut, para hakim juga menyebutkan bahwa patroli aparat penegak hukum di sekitar wilayah sengketa Laut China Selatan juga dapat berisiko kecelakaan dengan kapal penangkap ikan Filipina.
Akibatnya, terjadi kerusakan terhadap terumbu karang. Kerusakan ini tidak dapat diperbaiki dengan konstruksi.
China sebagai pihak yang sejak awal sudah memboikot kasus ini, mengatakan tidak akan mematuhi keputusan pengadilan tersebut.
Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Yasay, pun meminta semua pihak untuk menahan diri dan tenang dalam menanggapi keputusan ini.
"Para ahli kami mempelajari keputusan ini dengan hati-hati dan teliti. Kami meminta semua pihak untuk menahan diri dan tenang. Filipina menekankan penghormatan kami terhadap keputusan penting ini," ujar Yasay dalam jumpa pers.
China Tolak Hasil Arbitrase Laut China Selatan
Pengadilan arbitrase juga memutuskan bahwa pulau buatan China tidak memberikan hak zona ekonomi eksklusif bagi Beijing. (Reuters/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/Handout)
China menolak hasil keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) atas tuntutan Filipina mengenai sengketa Laut China Selatan.
"Menanggapi hasil Pengadilan Arbitrase mengenai Laut China Selatan atas permintaan Filipina, Kementerian Luar Negeri China mendeklarasikan bahwa hasil ini tidak sah dan tak mengikat. China juga tak menerima dan mengakuinya," demikian bunyi pernyataan Kemlu China melalui siaran persnya, Selasa (12/7).
Salah satu hasil keputusan itu menyebutkan bahwa pengadilan menolak klaim China atas hak ekonomi di wilayah yang selama ini ditandai dengan sembilan garis putus-putus atau nine-dash line.
Selain itu, pengadilan juga memutuskan bahwa pulau buatan China tidak memberikan hak zona ekonomi eksklusif bagi Beijing.
Selama ini, China membangun pulau buatan di wilayah Kepulauan Spratly, wilayah ZEE yang tumpang tindih dengan sejumlah negara, termasuk Filipina. Melalui tuntutan ini, Filipina meminta pengadilan memutuskan sejauh mana sebuah negara dapat mengeksploitasi sumber daya di perairan.
Dalam hasil keputusan tersebut, para hakim di pengadilan merujuk pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut (UNCLOS). Dalam konvensi tersebut dijelaskan bahwa setiap pulau memiliki zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut dan landas kontinen.
Namun, "Bebatuan yang tidak memiliki habitat manusia atau kehidupan ekonomi sendiri tidak memiliki zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen."
Atas dasar tersebut, pengadilan menyimpulkan bahwa, "semua yang ada di Kepulauan Spratly (termasuk, contohnya, Itu Aba, Thitu, West York Island, Spratly Island, North-East Cay, South-West Cay, merupakan 'bebatuan' yang tidak memberikan zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen."
Namun, China kembali menampik keputusan ini dan mengatakan bahwa Beijing memiliki hak zona ekonomi eksklusif atas di wilayah Spratly.
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, pun mengatakan bahwa hasil pengadilan ini justru memperburuk tensi dan konfrontasi. (stu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.