Senin, 22 September 2025

Analisis Mengapa Indonesia Beli Jet Tempur, Kapal Perang Siluman, dan Rudal Turkiye

Salah Satunya Transfer Teknologi https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvY2VQJdvTEFOvacbp_xftc_jl4HEnVfng-RC4gpdHPsUPB7q2DyOCmiojUT0NvPwl1vXdkuPDqWG2tGtYRND7lY5PKkHm6yuHB9mY0_HtBal1hrg8cVasdGkBDuzwgJttEgYLErKjMJdf_ipAVv5wqYUcnHiLTefcMJ7Bt3IRCKQ8OcPV670YODptF7Bw/s3000/316167.jpgPesawat generasi kelima KAAN Turkiye (AA)

Langkah negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, membeli jet tempur hingga sistem rudal dari Turki telah menjadi berita utama media-media internasional. Yang digarisbawahi adalah Turki sebagai pemasok baru di lanskap pertahanan Asia Tenggara akhir-akhir ini.

Pengumuman kontrak senjata Turki, pengiriman, dan pengerahannya oleh Indonesia, Malaysia, dan Filipina telah menyoroti sumber senjata non-tradisional ini bagi negara-negara Asia Tenggara, yang sebelumnya cenderung bergantung pada sistem buatan Barat.

Para analis mengatakan konvergensi berbagai faktor membuat senjata Turki menarik.

Ini termasuk keterjangkauan, platform siap tempur yang disertai manfaat tambahan transfer teknologi, skema produksi bersama, dan lebih sedikit ikatan politik karena Ankara mencari lebih banyak pasar.

Namun, para pakar juga memperingatkan potensi tantangan seperti pemeliharaan dan interoperabilitas dengan senjata lain.

Khairul Fahmi, seorang analis militer di Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) yang berbasis di Jakarta, mengatakan kepada Channel News Asia (CNA) bahwa negara-negara Asia Tenggara harus memandang produk Turki sebagai bagian dari portofolio pertahanan mereka, dan bukan sebagai pengganti tunggal bagi pemasok lain.

Ukuran keberhasilan kerja sama ini bukan hanya berapa banyak platform yang dibeli, tetapi bagaimana kesiapan tempur, ketersediaan sistem, dan kemampuan jangka panjang untuk mengoperasikan dan memeliharanya dapat dipertahankan,” ujarnya.

Senada dengan itu, Jamil Ghani, kandidat doktor di S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Singapura, mengatakan kepada CNA bahwa kemitraan baru dengan Turki ini tidak akan menggantikan pemasok tradisional dalam semalam.

Namun, kemitraan ini menambah kompleksitas baru pada lanskap pertahanan kawasan—baik dari segi kapabilitas maupun lindung nilai strategis,” kata Jamil, yang bidang penelitiannya meliputi kebijakan pertahanan luar negeri dan nasional Malaysia.

  Ekspansi Global Senjata Turki 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjx9Xo_GyurHe73eE1u5rf9OuCCFFUdVIMQ-WfddjhO8A8qCZFK_cflL9-rzEFr4S9JXBxO-f7Q8Cg6_u03XnlsHsnXyoaJA5UcC_VJnhFa5MflK_paGIEfv9DqemgK_SgrwhAdtALqpdBG_P_rgvXmj552ddVPaQfEnirdVCv2WBDhP672Zsg2vjMWe-es/s2048/KHAN%20TBM_1753096844593.jpegg
Rudal balistik KHAN telah tiba di Indonesia (Yusuf Emir Isik)
Turki dengan cepat memperluas pengaruhnya dalam industri persenjataan, dengan permintaan untuk sistem pertahanannya—terutama drone dan kapal Angkatan Laut—datang dari importir utama seperti Arab Saudi, Qatar, Oman, dan Uni Emirat Arab.

Pangsa ekspor senjata Turki di dunia telah meningkat dari 0,8 persen antara tahun 2015 hingga 2019 menjadi 1,7 persen antara tahun 2020 hingga 2024, menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI)—sebuah lembaga internasional independen yang didedikasikan, antara lain, untuk penelitian konflik.

Lima eksportir senjata terbesar antara tahun 2020 hingga 2024 adalah Amerika Serikat, Prancis, Rusia, China, dan Jerman. Kelima negara tersebut menyumbang 72 persen dari seluruh ekspor senjata global.

Industri senjata Turki telah mengalami pertumbuhan yang pesat dalam dekade terakhir, dengan ekspor yang meroket dari USD 1,6 miliar pada tahun 2013 menjadi USD 7,2 miliar yang memecahkan rekor tahun lalu, seiring dengan upaya Turki untuk menjadi pemain pertahanan global utama dan mitra penting bagi negara-negara yang ingin mendiversifikasi pengadaan militer mereka.

Belakangan ini, negara-negara Asia Tenggara juga menjadi bagian dari perbincangan tersebut.

Pada bulan Februari, Indonesia menandatangani kesepakatan untuk pengadaan 60 unit drone Bayraktar TB3 dan sembilan drone Akinci dari Baykar milik Turki, yang mencakup pembentukan usaha patungan dengan perusahaan Indonesia Republikorp untuk membangun pabrik drone di negara kepulauan ini.

Lima bulan kemudian, Indonesia pada bulan Juli menandatangani kontrak untuk dua fregat siluman kelas Istif dari grup galangan kapal Turki; TAIS Shipyards.

Pada bulan yang sama, Indonesia menandatangani "kontrak implementasi" untuk membeli 48 unit jet tempur KAAN dari Turki. Meskipun detail keuangannya belum diumumkan, dilaporkan bahwa kontrak tersebut bernilai USD 10 miliar, salah satu kontrak pertahanan terbesar yang pernah diraih Indonesia.

Indonesia tidak hanya akan mengamankan peralatan militer berteknologi tinggi, tetapi juga mendapatkan peluang signifikan dalam mengembangkan kapasitas industri pertahanan dalam negerinya,” menurut Kementerian Pertahanan Indonesia.

KAAN adalah pesawat tempur nasional pertama Turki, dan telah menyelesaikan penerbangan perdananya pada Februari 2024, tetapi produksi massal diperkirakan baru akan dimulai pada tahun 2028.

Kementerian Pertahanan Turki menyebut jet tersebut sebagai pesawat generasi kelima dan mengatakan akan ditenagai oleh dua mesin General Electric F-110, yang juga digunakan pada jet Lockheed Martin F-16 generasi keempat.

Rencana Indonesia untuk pesawat KAAN ini merupakan tambahan dari pesanan 42 unit jet tempur Rafale buatan Prancis senilai USD 8,1 miliar, 24 unit jet tempur dari Boeing, dan 24 unit helikopter angkut dari Lockheed Martin di AS, keduanya dengan nilai yang tidak diungkapkan.

Kemudian pada bulan Agustus, blog-blog pertahanan ramai memberitakan tentang pengerahan sistem rudal balistik KHAN—platform dengan jangkauan 280 km yang dikembangkan oleh produsen senjata Turki, Roketsan—di Tenggarong, Kalimantan Timur, provinsi yang akan menjadi lokasi ibu kota masa depan; Nusantara.

Ini menjadikannya negara pertama di Asia Tenggara yang mengoperasikan sistem balistik taktis modern tersebut secara publik.

Indonesia telah memesan rudal KHAN pada November 2022 dan merupakan kekuatan militer pertama di luar Turki yang memiliki rudal tersebut dalam inventarisnya, ungkap Wakil Manajer Umum Roketsan, Murat Kurtulus, saat itu.

Sementara itu, program Kapal Misi Litoral Batch 2 milik negara tetangga; Malaysia, saat ini sedang berlangsung dengan tiga kapal baru berbasis desain korvet kelas Ada yang sedang dibangun di Turki.

Dalam kerangka kerja sama antarpemerintah, proyek ini dikelola oleh perusahaan pertahanan Turki; STM, dan akan mengintegrasikan berbagai subsistem pertahanan Turki, termasuk meriam Aselsan SMASH 30mm dan sistem rudal antikapal Roketsan Atmaca.

Malaysia juga telah membeli drone ANKA-S MALE yang diperkirakan akan digunakan di Pulau Labuan di lepas Laut China Selatan.

Menteri Pertahanan Malaysia Mohamed Khaled Nordin mengatakan pada bulan Juli bahwa pihaknya menargetkan transfer teknologi pertahanan dari Turki di beberapa bidang yang telah diidentifikasi pada akhir tahun 2024.

Dia menambahkan bahwa transfer teknologi sangat penting untuk mengembangkan industri pertahanan Malaysia, yang dipimpin oleh perusahaan-perusahaan lokal, terutama di bidang-bidang seperti sistem manajemen, pemeliharaan, perbaikan, dan perombakan persenjataan angkatan laut, serta pengoperasian pesawat nirawak.

Sementara itu, Filipina telah menerima enam unit helikopter serang T129 ATAK buatan Turki—dengan pasangan terakhir ditugaskan pada Mei 2024.

Dilaporkan bahwa Filipina telah menandatangani kesepakatan senilai USD 270 juta pada tahun 2020.

Menurut laporan berita lokal, helikopter ini dapat menjalankan berbagai misi, termasuk pertempuran dan serangan presisi, dengan kemampuan untuk beroperasi baik siang maupun malam dalam kondisi cuaca buruk.

Helikopter serang khusus ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan operasional tempur PAF (Angkatan Udara Filipina) dan mengatasi kesenjangan kemampuan yang teridentifikasi dalam peperangan perkotaan,” kata PAF dalam sebuah pernyataan pada 2024.

Jamil dari RSIS mencatat bahwa perusahaan pertahanan Turki kini menjadi peserta tetap di pameran pertahanan regional seperti pameran Defence Service Asia Exhibition and Conference 2024 di Kuala Lumpur, tempat produsen seperti Aselsan dan STM memamerkan sistem-sistem baru.

Dia juga merujuk pada Langkawi International Maritime and Aerospace Exhibition 2025, di mana 17 perusahaan Turki berpartisipasi dan menandatangani berbagai Nota Kesepahaman (MoU) dengan mitra-mitra Malaysia serta memberikan paparan berkelanjutan di seluruh kawasan, termasuk kepada delegasi Thailand dan Singapura.

  Mengapa Perubahan Ini Terjadi? 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCgiUeNMcnHTMchpPhflwmLFTYBi0PdXmLhKGpXP5IXMdlOFoOmveQjQzeL5xh5eYlRkyN9im9lmv93vCKe_1mmYW3FgLo5tbMSC3IpzKeXCPg4C26uFmHk7eadJXvIAxfGwMFUV-5GmXaEwhBVmAcjttyd51srTOslMRjGRXzgSup0RCoYQRZE_JQ5Xkd/s686/UCAV_TB3_ANKA_Akinci_76_n.jpg
Obrolan Angkringan. (KERIS reborn)
Jadi, apa motivasi utama yang mendorong negara-negara Asia Tenggara untuk semakin banyak memperoleh platform dan teknologi militer dari Turki, memperluas jangkauannya melampaui pemasok tradisional, antara lain, seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia?

Abdul Rahman Yaakob—seorang peneliti di Southeast Asia Program, Lowy Institute—mengatakan bahwa dalam kasus Indonesia, embargo senjata AS antara tahun 1999 hingga 2005 berdampak pada pemikiran strategis negara ini.

Embargo tersebut diberlakukan karena dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh militer Indonesia, terutama selama krisis Timor Leste.

Bagi Angkatan Bersenjata Indonesia, diversifikasi pemasok senjata merupakan strategi penting untuk memastikan mereka memiliki pasokan senjata yang stabil dan aman, serta tidak bergantung pada kekuatan tertentu,” kata Rahman.

Dia menambahkan bahwa keterikatan dengan teknologi asing merupakan kriteria utama ketika Jakarta memutuskan platform mana yang akan diakuisisi.

Dalam jangka panjang, Jakarta berharap dapat mengakses teknologi canggih dari mitra eksternal untuk mengembangkan industri pertahanannya sendiri. Dalam hal ini, kita telah melihat Turki setuju untuk berbagi teknologi platform militer dengan Indonesia, terutama di bidang drone dan rudal, misalnya,” ujarnya.

Kesepakatan Indonesia untuk 48 unit jet tempur KAAN mencakup transfer teknologi, perakitan lokal, dan peran industri bagi PT Dirgantara dan PT Republik Aero Dirgantara, yang memungkinkan produksi bersama.

PT Dirgantara adalah perusahaan kedirgantaraan milik negara, sementara PT Republik Aero Dirgantara adalah perusahaan pertahanan swasta.

Rahman mengatakan bahwa Turki juga bekerja sama dengan Malaysia untuk mentransfer teknologi militer di bidang sistem manajemen serta pemeliharaan, perbaikan, dan perombakan persenjataan Angkatan Laut.

Biaya merupakan faktor utama lainnya, sambung Rahman, yang meyakini bahwa Malaysia dan Indonesia memiliki anggaran pertahanan yang terbatas dan banyak sistem persenjataan yang mahal.

Sementara itu, Jamil mengatakan bahwa platform Turki—khususnya kendaraan udara tak berawak (UAV) Bayraktar TB2, yang diperkirakan sekitar USD 5 juta per unit—jauh lebih murah daripada MQ-9 Reaper Amerika, yang dilaporkan berharga USD 30 juta per unit.

Hal ini membuat mereka (Bayraktar TB2) secara luas dianggap hemat biaya sekaligus menawarkan kemampuan operasional,” ujarnya.

Analis pertahanan Lam Choong Wah dari Universitas Malaya mengatakan bahwa Malaysia beralih ke Turki karena pertimbangan politik, merujuk pada persahabatan antara Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Bagi Malaysia, terdapat pula unsur tambahan berupa kepercayaan politik dan identitas keagamaan bersama yang memperkuat hubungan jangka panjang. Hubungan politik merupakan alasan utama untuk setiap kesepakatan senjata,” ujarnya kepada CNA.

Senada dengan Lam, Khairul mengatakan bahwa fleksibilitas politik yang ditawarkan Turki, tanpa banyak ikatan politik, membuatnya lebih selaras dengan model kebijakan luar negeri yang dianut banyak negara di kawasan tersebut.

Kerja sama ini mendorong strategi multi-mitra sehingga negara-negara Asia Tenggara tidak harus bergantung pada satu pemasok atau blok tertentu,” ujarnya.

  Tantangan Berlimpah bagi Indonesia 
Namun, meskipun pengadaan senjata Turki tampak menarik, para analis menyoroti beberapa kekhawatiran utama yang dapat mempersulit integrasi jangka panjang dan kesiapan operasional.

Khairul mengatakan bahwa tantangan utama bagi Indonesia dan Malaysia adalah integrasi platform baru ke dalam inventaris yang sangat beragam, yang mencakup peralatan pertahanan Barat, Rusia, dan China.

Hal ini dapat menyebabkan masalah interoperabilitas,” ujarnya.

Rahman sependapat dan mengatakan Indonesia kemungkinan akan menghadapi masalah kritis dalam mengintegrasikan dan memelihara sistem baru tersebut, seraya mempertanyakan bagaimana pesawat KAAN akan beroperasi dengan Sukhoi Su-30 Rusia dan F-16 Amerika yang masih digunakan Angkatan Udara Indonesia.

Dia menambahkan bahwa masalah lain yang mungkin timbul adalah biaya pemeliharaan, yang seringkali diabaikan oleh Malaysia dan Indonesia.

"Banyak pesawat atau platform mahal bahkan tidak dapat beroperasi secara optimal dalam jangka panjang jika tidak dirawat dengan baik," ujarnya, memperingatkan.

Lam menambahkan bahwa faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam hal pemeliharaan adalah banyak komponen penting dalam persenjataan Turki, seperti avionik, mesin, dan sistem radar, masih bergantung pada pemasok dari AS, Inggris, dan Eropa.

Dia mempertanyakan apakah perusahaan-perusahaan Turki akan mampu memberikan dukungan untuk komponen-komponen ini atau perlukah kembali ke produsen peralatan asli.

Jamil mengatakan bahwa kekhawatiran yang sah telah memengaruhi bagaimana kesepakatan dipandang dan disusun.

Dia menunjukkan bahwa jet tempur KAAN—yang melakukan penerbangan perdananya pada Februari 2024—masih dalam tahap prototipe dan pengerahan operasional penuh diperkirakan akan dilakukan akhir dekade ini.

Dia mengatakan calon pembeli kemungkinan akan menuntut pengiriman bertahap, demonstrasi kinerja dalam kondisi yang relevan, paket dukungan yang kuat, dan garansi.

Dia menambahkan bahwa terdapat juga risiko seputar ketergantungan pada komponen non-asli seperti mesin, yang dapat dikenakan pembatasan lisensi atau ekspor.

Faktor-faktor ini dapat menyebabkan beberapa negara melakukan lindung nilai—mempertahankan sistem yang lebih tua dalam layanan atau memperoleh alternatif yang telah terbukti selain (jet tempur) KAAN hingga keandalan dan beban pemeliharaannya dipahami dengan baik,” ujarnya.

Khairul mengatakan bahwa karena jet KAAN belum diuji, negara-negara selain Indonesia sebaiknya berhati-hati dan melihat kinerjanya di dunia nyata sebelum berkomitmen untuk membelinya.

Sebaliknya, sistem yang telah teruji di medan perang, seperti Bayraktar TB2 dan UAV Akinci, lebih mudah diterima. Jadi, dalam jangka pendek, saya pikir negara-negara di kawasan ini akan lebih memilih sistem yang telah teruji sambil terus memantau proyek-proyek baru seperti (jet tempur) KAAN untuk jangka panjang,” ujarnya. (mas)

  sindonews 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...