Dari teroris sampai sengketa dagang.
Duane bukan pejabat tinggi negara. Bukan teroris. Bukan pula musuh negeri Amerika Serikat. Sosoknya jauh dari kesan berbahaya. Dia hanya seorang warga biasa negeri adidaya itu. Merintis hidup sebagai pengacara di Mayer Brown, sebuah lembaga hukum di kota Chicago. Nama Duane, juga tidak begitu mencorong.
Tapi pria berkacamata ini masuk radar National Security Agency (NSA), badan intelijen di negeri Barrack Obama itu. Dan semua itu karena rokok dan udang. Rupanya, Duane didapuk Jakarta menjadi pengacara dalam sengketa dagang dengan Washington. Sengketa soal rokok kretek dan udang yang dilarang keras masuk pasar negeri itu. Dan Amerika Serikat sekuat tenaga memenangkan sengketa ini. Menyadap semua pembicaraan Duane dengan perwakilan Indonesia. Kasus ini terjadi tahun 2010.
Para telik sandi di NSA boleh dibilang mujur. Rekaman percakapan itu disetor oleh badan intelijen dari negara sahabat, Australian Signals Directorat (ASD). Badan itulah yang di penghujung tahun kemarin, dituding sebagai biang keladi dari kisruhnya hubungan Indonesia dengan Australia. Mereka menyadap percakapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejumlah menteri, dan juga Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Rupanya Australia dan Amerika Serikat bahu membahu menyadap pembicaraan petinggi sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia. Aksi mereka kemudian diketahui dunia, setelah Edward Snowden, mantan anggota NSA yang kini menetap di Moskow, membocorkannya kepada media massa.
Penyadapan terhadap Duane dan wakil pemerintah Indonesia, misalnya, diketahui setelah Edward Snowden kembali membeberkan dokumen rahasia milik NSA tahun 2012. Dokumen itu dipublikasi harian New York Times. Ditulis awal pekan lalu, Sabtu 15 Februari 2014.
Dan inilah bocoran itu. Sekitar tiga tahun lalu, wakil pemerintah Indonesia - yang hingga kini masih disebut anonim – bercakap-cakap dengan Duane lewat sambungan telepon internasional. Percakapan itu terkait sengketa perdagangan udang dan rokok kretek.
Percakapan itu tanpa sengaja tersadap oleh intelijen ASD. Badan intelijen yang beberapa karyawannya juga merupakan mantan karyawan NSA ini, kemudian melaporkan "hasil tangkapannya" kepada NSA Cabang Canberra. Merasa mendapat buruan besar, para intel itu kemudian mengabarkan kepada markas pusat NSA di Fort Meade, Maryland. Mereka juga meminta arahan.
Bocoran percakapan ini tampaknya sungguh penting bagi Amerika Serikat. Dan itu terlihat dari kecepatan mereka merespon laporan dari Canberra itu. Hari itu juga, markas NSA di Maryland memberi restu kepada agen Australia untuk terus menyadap pembicaraan Duane. Dengan alasan, informasi itu penting bagi konsumen Amerika Serikat.
Yang mencenggangkan, kepada NSA, para agen intelijen ASD mengaku bahwa selama ini mereka dapat mengakses data milik PT Indosat Tbk (Indosat) dalam jumlah besar. Dan sebagaimana luas diketahui bahwa Indosat adalah salah satu perusahaan telekomunikasi besar di tanah air.
Kemampuan mengakses ini, begitu bunyi tulisan di New York Times, dipakai untuk menyadap komunikasi, termasuk percakapan para pejabat di sejumlah kementerian di Indonesia.
Dan tampaknya para agen intelijen di ASD royal menyetor informasi kepada NSA. Dalam dokumen lain yang diterbitkan NSA pada tahun 2013, disebutkan bahwa mereka sanggup masuk ke jaringan milik PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel). Para agen di ASD mengklaim telah mendapatkan hampir 1,8 juta kunci induk enkripsi, yang dipakai untuk melindungi percakapan.
Telkomsel dan Indosat memang merupakan operator terbesar di tanah air. Data pengguna telepon seluler pada tahun 2012 menunjukkan bahwa Telkomsel mempunyai 212 juta pelanggan. Menguasai sekitar 62 persen pangsa pasar. Sementara Indosat memiliki 52 juta pelanggan, atau 15 persen dari pasar. Jika digabung, kedua operator ini menguasai kurang lebih 77 persen pelanggan seluler di Indonesia.
Diprotes
Bocoran dokumen terbaru itu, kembali memantik protes keras dari tanah air. Australia dikecam. Perlakuan mereka dinilai tidak semanis bahasa diplomasi yang menguar di media massa. Dokumen yang susul menyusul dibocorkan Snowden, juga membantah klaim badan intelijen Australia, bahwa penyadapan hanyalah menyasar jaringan teroris.
Mendapat kecaman dari sejumlah kalangan di Indonesia, Perdana Menteri Tony Abbott berkilah. Penyadapan itu, katanya, bukan untuk tujuan komersil. Dia menegaskan, "Kami menggunakannya untuk menegakkan nilai-nilai kami. Untuk melindungi rakyat kami dan rakyat negara lain."
Penjelasan Abbott ini tentu saja membuka pintu perdebatan yang panjang. Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, mempertanyakan hubungan sengketa dagang itu dengan keamanan negara. "Yang sulit saya pahami, bagaimana bisa konflik dagang udang dapat berimbas terhadap keamanan nasional Australia?" ujar Marty keheranan.
Marty mengaku sangat kecewa dengan aksi Australia yang benar-benar doyan mencampuri urusan negara lain. Masing-masing negara, kata Marty, “Seharusnya saling mendengarkan dan tidak menguping pembicaraan orang lain.”
Para agen di NSA dan Australian Signals Directorat, memilih bungkam soal bocoran laporan penyadapan itu. Mereka juga menolak menjelaskan apakah informasi yang melibatkan pengacara dari Mayer Brown, disampaikan kepada pejabat atau negosiator perdagangan AS demi memenangkan sengketa dengan Indonesia.
Sejak Bom Bali
Sesungguhnya sudah lama Indonesia jadi sasaran intel Australia. Kian intensif sejak pengemboman di Bali tahun 2002. Yang menewaskan 202 orang. Di mana 88 orang di antaranya merupakan turis dari Negeri Kangguru itu. Sejumlah media mengabarkan bahwa demi memburu informasi jaringan teroris itu, NSA dan ASD membangun fasilitas intelijen di Alice Spring, Australia.
Setengah dari intel di Alice Spring adalah agen NSA. Mereka didatangkan dari Amerika. Mereka fokus pada penyadapan di Asia. Sasaran utamanya dua. Indonesia dan China. Negara-negara seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini juga disadap. Cara kerja mereka tentu saja canggih.
Bacalah dokumen NSA yang dibocorkan Snowden ini. Dalam sebuah memo pada tahun 2003, dipaparkan bagaimana para agen NSA mengajari mitranya dari Australia mengintersepsi layanan telekomunikasi berbasis satelit di Indonesia. Intersepsi itu dilakukan melalui Shoal Bay Naval Receiving Station, fasilitas intersepsi satelit yang berlokasi dekat Darwin.
Para agen NSA dan Australia juga mengakses panggilan telepon dan lalu-lintas Internet yang dilakukan menggunakan kabel bawah laut yang beroperasi melalui dan ke Singapura. Sebuah kerja intelijen yang bisa mencemaskan banyak negara.
Seperti halnya Australia, penjelasan Amerika Serikat atas penyadapan ini juga tidak memadai. Untuk tidak menyebutnya sekedar ngeles. Dengarlah penjelasan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry, ketika ditanya soal penyadapan terhadap Duane itu. Jawaban ini disampaikan ketika John Kerry, berkunjung ke Jakarta, Senin 17 Februari 2014.
Aksi penyadapan itu, katanya, tidak mungkin dilakukan untuk kepentingan perdagangan Amerika Serikat. Isu penyadapan ini telah ditanggapi serius oleh Presiden AS Barack Obama. Dia menambahkan, “Kami menjunjung tinggi privasi setiap warga negara sebagai kebebasan sipil yang harus dilindungi, dan giat mempertahankan keamanan warga negara dari ancaman besar terorisme.”
Telkomsel-Indosat Membantah
Dokumen NSA, yang dibocorkan Snowden kepada New York Times itu, menyebutkan bahwa sasaran ASD adalah Telkomsel dan Indosat. Tapi manajemen kedua operator itu menegaskan bahwa keamanan jaringan mereka sudah berlapis. Tidak mudah disusupi.
"Kalau penyadapan itu terjadi di lingkungan infrastruktur masih bisa kami monitor. Tapi, kalau sudah di luar itu, atau over the air, jujur saja kami sulit memantaunya," kata Adita Irawati, Vice President Corporate Communication Telkomsel, saat dikonfirmasi VIVAnews di Jakarta, 20 Februari 2014.
Ketika dikonfirmasi apakah betul 1,8 juta kode enkripsi- sebagaimana ditulis New York Times- berhasil diretas atau didekripsi NSA, Adita tegas membantah. Dia menegaskan bahwa keamanan jaringan seluler disusun berlapis. Dan tentu dienkripsi agar tidak mudah disusupi. Adita juga membantah keras bahwa 1,8 juta kode enkripsi berhasil diretas.
Tiap nomor telepon yang melakukan panggilan, katanya, mempunyai satu kode unik enkripsi. Jadi, data yang dipaparkan di dokumen NSA itu, “Tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tidak ada istilah master key di lingkungan telco," tegas Adita.
Kabar soal penyadapan itu, lanjutnya, hanya diketahui dari media massa. Belum ada informasi resmi yang masuk ke perusahaan. Sejauh ini Telkomsel hanya merujuk pada Peraturan Menteri Kominfo No 11/2006. Yang mengatur tentang lawful interception atau penyadapan informasi secara sah. “Sebagai bagian dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap suatu tindak pidana," terang Adita.
Senada dengan Telkomsel, Indosat juga menegaskan bahwa tidak mungkin penyadapan itu dilakukan lewat jaringan mereka. Dalam keterangan resmi yang diterima VIVAnews, 20 Februari 2014, Division Head Public Relations Indosat, Adrian Prasanto, tegas menjawab, "Mustahil jika kami menjalin kerja sama dengan penegak hukum dari luar Indonesia, baik itu ASD atau NSA. Itu jelas melanggar hukum. Lalu lintas telekomunikasi yang masuk ke Amerika Serikat dikategorikan sebagai lalu lintas asing."
Valid-kah?
Jurubicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Gatot S Dewa Broto, sangat menyayangkan informasi simpang siur yang dihembus kantor berita New York Times, sebagai "corong" Snowden dalam menyiarkan bocoran dokumen NSA kali ini.
Gatot mempertanyakan validitas laporan New York Times itu. “Kalau validitasnya masih dipertanyakan, artinya belum sah. Kami tidak bisa tindak lanjuti. Tidak bisa ambil action. Semua informasi ada di media luar sana," kata Gatot, saat dihubungi VIVAnews melalui pesawat telepon, 20 Februari 2014.
Aksi sadap-menyadap ini, lanjutnya, telah masuk ke ranah hubungan diplomatik. Hubungan antara Indonesia-Australia dan Indonesia-AS. Masuk domain Kementerian Luar Negeri. Sama dengan kasus penyadapan oleh Australia kemarin. “Respons kami ditunjukkan dengan sikap Bapak Presiden SBY dan Kementerian Luar Negeri. Kami menghindari duplikasi informasi yang tidak selaras," tegas Gatot.
Soal teknik penyadapan, Gatot menduga, penyadapan yang terjadi modusnya sama. Umumnya sudah ditarget. Tidak asal menyadap. Mereka tidak menyadap seluruh pelanggan. “Jika targetnya adalah pejabat, tentu lebih sulit. Karena rata-rata enkripsi telah diterapkan oleh Lembaga Sandi Negara," tutur pria kelahiran Yogyakarta 53 tahun lalu itu.
Kecuali, kata Gatot, pejabat negara itu tidak patuh. Karena komunikasi yang sifatnya rahasia tentu akan dilindungi oleh Lemsaneg.
Duane bukan pejabat tinggi negara. Bukan teroris. Bukan pula musuh negeri Amerika Serikat. Sosoknya jauh dari kesan berbahaya. Dia hanya seorang warga biasa negeri adidaya itu. Merintis hidup sebagai pengacara di Mayer Brown, sebuah lembaga hukum di kota Chicago. Nama Duane, juga tidak begitu mencorong.
Tapi pria berkacamata ini masuk radar National Security Agency (NSA), badan intelijen di negeri Barrack Obama itu. Dan semua itu karena rokok dan udang. Rupanya, Duane didapuk Jakarta menjadi pengacara dalam sengketa dagang dengan Washington. Sengketa soal rokok kretek dan udang yang dilarang keras masuk pasar negeri itu. Dan Amerika Serikat sekuat tenaga memenangkan sengketa ini. Menyadap semua pembicaraan Duane dengan perwakilan Indonesia. Kasus ini terjadi tahun 2010.
Para telik sandi di NSA boleh dibilang mujur. Rekaman percakapan itu disetor oleh badan intelijen dari negara sahabat, Australian Signals Directorat (ASD). Badan itulah yang di penghujung tahun kemarin, dituding sebagai biang keladi dari kisruhnya hubungan Indonesia dengan Australia. Mereka menyadap percakapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejumlah menteri, dan juga Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Rupanya Australia dan Amerika Serikat bahu membahu menyadap pembicaraan petinggi sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia. Aksi mereka kemudian diketahui dunia, setelah Edward Snowden, mantan anggota NSA yang kini menetap di Moskow, membocorkannya kepada media massa.
Penyadapan terhadap Duane dan wakil pemerintah Indonesia, misalnya, diketahui setelah Edward Snowden kembali membeberkan dokumen rahasia milik NSA tahun 2012. Dokumen itu dipublikasi harian New York Times. Ditulis awal pekan lalu, Sabtu 15 Februari 2014.
Dan inilah bocoran itu. Sekitar tiga tahun lalu, wakil pemerintah Indonesia - yang hingga kini masih disebut anonim – bercakap-cakap dengan Duane lewat sambungan telepon internasional. Percakapan itu terkait sengketa perdagangan udang dan rokok kretek.
Percakapan itu tanpa sengaja tersadap oleh intelijen ASD. Badan intelijen yang beberapa karyawannya juga merupakan mantan karyawan NSA ini, kemudian melaporkan "hasil tangkapannya" kepada NSA Cabang Canberra. Merasa mendapat buruan besar, para intel itu kemudian mengabarkan kepada markas pusat NSA di Fort Meade, Maryland. Mereka juga meminta arahan.
Bocoran percakapan ini tampaknya sungguh penting bagi Amerika Serikat. Dan itu terlihat dari kecepatan mereka merespon laporan dari Canberra itu. Hari itu juga, markas NSA di Maryland memberi restu kepada agen Australia untuk terus menyadap pembicaraan Duane. Dengan alasan, informasi itu penting bagi konsumen Amerika Serikat.
Yang mencenggangkan, kepada NSA, para agen intelijen ASD mengaku bahwa selama ini mereka dapat mengakses data milik PT Indosat Tbk (Indosat) dalam jumlah besar. Dan sebagaimana luas diketahui bahwa Indosat adalah salah satu perusahaan telekomunikasi besar di tanah air.
Kemampuan mengakses ini, begitu bunyi tulisan di New York Times, dipakai untuk menyadap komunikasi, termasuk percakapan para pejabat di sejumlah kementerian di Indonesia.
Dan tampaknya para agen intelijen di ASD royal menyetor informasi kepada NSA. Dalam dokumen lain yang diterbitkan NSA pada tahun 2013, disebutkan bahwa mereka sanggup masuk ke jaringan milik PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel). Para agen di ASD mengklaim telah mendapatkan hampir 1,8 juta kunci induk enkripsi, yang dipakai untuk melindungi percakapan.
Telkomsel dan Indosat memang merupakan operator terbesar di tanah air. Data pengguna telepon seluler pada tahun 2012 menunjukkan bahwa Telkomsel mempunyai 212 juta pelanggan. Menguasai sekitar 62 persen pangsa pasar. Sementara Indosat memiliki 52 juta pelanggan, atau 15 persen dari pasar. Jika digabung, kedua operator ini menguasai kurang lebih 77 persen pelanggan seluler di Indonesia.
Diprotes
Bocoran dokumen terbaru itu, kembali memantik protes keras dari tanah air. Australia dikecam. Perlakuan mereka dinilai tidak semanis bahasa diplomasi yang menguar di media massa. Dokumen yang susul menyusul dibocorkan Snowden, juga membantah klaim badan intelijen Australia, bahwa penyadapan hanyalah menyasar jaringan teroris.
Mendapat kecaman dari sejumlah kalangan di Indonesia, Perdana Menteri Tony Abbott berkilah. Penyadapan itu, katanya, bukan untuk tujuan komersil. Dia menegaskan, "Kami menggunakannya untuk menegakkan nilai-nilai kami. Untuk melindungi rakyat kami dan rakyat negara lain."
Penjelasan Abbott ini tentu saja membuka pintu perdebatan yang panjang. Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, mempertanyakan hubungan sengketa dagang itu dengan keamanan negara. "Yang sulit saya pahami, bagaimana bisa konflik dagang udang dapat berimbas terhadap keamanan nasional Australia?" ujar Marty keheranan.
Marty mengaku sangat kecewa dengan aksi Australia yang benar-benar doyan mencampuri urusan negara lain. Masing-masing negara, kata Marty, “Seharusnya saling mendengarkan dan tidak menguping pembicaraan orang lain.”
Para agen di NSA dan Australian Signals Directorat, memilih bungkam soal bocoran laporan penyadapan itu. Mereka juga menolak menjelaskan apakah informasi yang melibatkan pengacara dari Mayer Brown, disampaikan kepada pejabat atau negosiator perdagangan AS demi memenangkan sengketa dengan Indonesia.
Sejak Bom Bali
Sesungguhnya sudah lama Indonesia jadi sasaran intel Australia. Kian intensif sejak pengemboman di Bali tahun 2002. Yang menewaskan 202 orang. Di mana 88 orang di antaranya merupakan turis dari Negeri Kangguru itu. Sejumlah media mengabarkan bahwa demi memburu informasi jaringan teroris itu, NSA dan ASD membangun fasilitas intelijen di Alice Spring, Australia.
Setengah dari intel di Alice Spring adalah agen NSA. Mereka didatangkan dari Amerika. Mereka fokus pada penyadapan di Asia. Sasaran utamanya dua. Indonesia dan China. Negara-negara seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini juga disadap. Cara kerja mereka tentu saja canggih.
Bacalah dokumen NSA yang dibocorkan Snowden ini. Dalam sebuah memo pada tahun 2003, dipaparkan bagaimana para agen NSA mengajari mitranya dari Australia mengintersepsi layanan telekomunikasi berbasis satelit di Indonesia. Intersepsi itu dilakukan melalui Shoal Bay Naval Receiving Station, fasilitas intersepsi satelit yang berlokasi dekat Darwin.
Para agen NSA dan Australia juga mengakses panggilan telepon dan lalu-lintas Internet yang dilakukan menggunakan kabel bawah laut yang beroperasi melalui dan ke Singapura. Sebuah kerja intelijen yang bisa mencemaskan banyak negara.
Seperti halnya Australia, penjelasan Amerika Serikat atas penyadapan ini juga tidak memadai. Untuk tidak menyebutnya sekedar ngeles. Dengarlah penjelasan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry, ketika ditanya soal penyadapan terhadap Duane itu. Jawaban ini disampaikan ketika John Kerry, berkunjung ke Jakarta, Senin 17 Februari 2014.
Aksi penyadapan itu, katanya, tidak mungkin dilakukan untuk kepentingan perdagangan Amerika Serikat. Isu penyadapan ini telah ditanggapi serius oleh Presiden AS Barack Obama. Dia menambahkan, “Kami menjunjung tinggi privasi setiap warga negara sebagai kebebasan sipil yang harus dilindungi, dan giat mempertahankan keamanan warga negara dari ancaman besar terorisme.”
Telkomsel-Indosat Membantah
Dokumen NSA, yang dibocorkan Snowden kepada New York Times itu, menyebutkan bahwa sasaran ASD adalah Telkomsel dan Indosat. Tapi manajemen kedua operator itu menegaskan bahwa keamanan jaringan mereka sudah berlapis. Tidak mudah disusupi.
"Kalau penyadapan itu terjadi di lingkungan infrastruktur masih bisa kami monitor. Tapi, kalau sudah di luar itu, atau over the air, jujur saja kami sulit memantaunya," kata Adita Irawati, Vice President Corporate Communication Telkomsel, saat dikonfirmasi VIVAnews di Jakarta, 20 Februari 2014.
Ketika dikonfirmasi apakah betul 1,8 juta kode enkripsi- sebagaimana ditulis New York Times- berhasil diretas atau didekripsi NSA, Adita tegas membantah. Dia menegaskan bahwa keamanan jaringan seluler disusun berlapis. Dan tentu dienkripsi agar tidak mudah disusupi. Adita juga membantah keras bahwa 1,8 juta kode enkripsi berhasil diretas.
Tiap nomor telepon yang melakukan panggilan, katanya, mempunyai satu kode unik enkripsi. Jadi, data yang dipaparkan di dokumen NSA itu, “Tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tidak ada istilah master key di lingkungan telco," tegas Adita.
Kabar soal penyadapan itu, lanjutnya, hanya diketahui dari media massa. Belum ada informasi resmi yang masuk ke perusahaan. Sejauh ini Telkomsel hanya merujuk pada Peraturan Menteri Kominfo No 11/2006. Yang mengatur tentang lawful interception atau penyadapan informasi secara sah. “Sebagai bagian dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap suatu tindak pidana," terang Adita.
Senada dengan Telkomsel, Indosat juga menegaskan bahwa tidak mungkin penyadapan itu dilakukan lewat jaringan mereka. Dalam keterangan resmi yang diterima VIVAnews, 20 Februari 2014, Division Head Public Relations Indosat, Adrian Prasanto, tegas menjawab, "Mustahil jika kami menjalin kerja sama dengan penegak hukum dari luar Indonesia, baik itu ASD atau NSA. Itu jelas melanggar hukum. Lalu lintas telekomunikasi yang masuk ke Amerika Serikat dikategorikan sebagai lalu lintas asing."
Valid-kah?
Jurubicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Gatot S Dewa Broto, sangat menyayangkan informasi simpang siur yang dihembus kantor berita New York Times, sebagai "corong" Snowden dalam menyiarkan bocoran dokumen NSA kali ini.
Gatot mempertanyakan validitas laporan New York Times itu. “Kalau validitasnya masih dipertanyakan, artinya belum sah. Kami tidak bisa tindak lanjuti. Tidak bisa ambil action. Semua informasi ada di media luar sana," kata Gatot, saat dihubungi VIVAnews melalui pesawat telepon, 20 Februari 2014.
Aksi sadap-menyadap ini, lanjutnya, telah masuk ke ranah hubungan diplomatik. Hubungan antara Indonesia-Australia dan Indonesia-AS. Masuk domain Kementerian Luar Negeri. Sama dengan kasus penyadapan oleh Australia kemarin. “Respons kami ditunjukkan dengan sikap Bapak Presiden SBY dan Kementerian Luar Negeri. Kami menghindari duplikasi informasi yang tidak selaras," tegas Gatot.
Soal teknik penyadapan, Gatot menduga, penyadapan yang terjadi modusnya sama. Umumnya sudah ditarget. Tidak asal menyadap. Mereka tidak menyadap seluruh pelanggan. “Jika targetnya adalah pejabat, tentu lebih sulit. Karena rata-rata enkripsi telah diterapkan oleh Lembaga Sandi Negara," tutur pria kelahiran Yogyakarta 53 tahun lalu itu.
Kecuali, kata Gatot, pejabat negara itu tidak patuh. Karena komunikasi yang sifatnya rahasia tentu akan dilindungi oleh Lemsaneg.
Dihalau dari Negeri Kanguru
Penyadapan, sengketa dagang, manusia perahu.
Sungguh nestapa nasib Yousif Ibrahim. Datang jauh dari negeri Sudan, lalu diborgol di Australia Utara. Di laut lepas. Di laut ganas yang beribu mil jauhnya dari negeri leluhur. Dihina. Dihajar. Lalu dihalau para tentara Australia. Dan kini dia terdampar pada sebuah penginapan di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Awal Januari 2014 itu, bersama 40 orang lain, Yousif nekat mengarungi laut lepas. Menuju Australia. Mereka datang ke sana hendak mengadu hidup. Menjauh dari kisruhnya nasib di negeri Sudan. Rombongan ini menyewa kapal dari pesisir selatan Indonesia.
Sukses melewati gulungan gelombang ganas, mereka dihadang keganasan pasukan Australia. Ketika memasuki pesisir utara negeri Kanguru itu, kapal mereka dicegat. Tangan mereka diborgol. Ada pula yang dihajar dengan sepatu. Kepada wartawan dari Channel News Asia, Yousif mengisahkan lara di laut lepas itu.
Dihukum dengan cara yang menyakitkan. Empat imigran yang minta ijin ke toilet dipaksa memegang pipa panas. Bukan hanya melepuh, tangan mereka terbakar. Di laut lepas seperti itu, dahaga tak terkira. Tapi para serdadu itu tak memberi air ketika lidah sudah kelu. “Mereka memanggil kami secara tidak manusiawi, seperti pengungsi ilegal, monyet dari Afrika," ujar pria berusia 28 tahun itu.
Semula, lanjutnya, kapal yang mereka tumpangi mendarat di sebuah pulau. Mereka merapat sebab empat imigran jatuh ke laut, sesudah kapal kecil itu diamuk badai. Di pulau itulah mereka dikepung pada 19 Desember 2013. Dipaksa kembali ke kapal. Para imigran itu menolak. Dan jawabannya adalah kekerasan.
Salah seorang imigran yang berusaha lari, dipukul dengan sepatu. “Mereka punya pistol dan senjata. Kami takut," kata Yousif dari penginapan di Kupang itu. Sesudah kembali ke kapal, tentara Australia menggiring mereka kembali ke wilayah Indonesia. Empat hari perjalanan. Digiring 3 kapal angkatan laut negeri itu. Mereka tiba di Pulau Rote pada Senin, 6 Januari 2014.
Derita para “manusia perahu” itu dibenarkan oleh Hidayat, seorang polisi di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. "Memang benar ada luka bakar di tangan mereka," katanya. Kepada kantor berita Reuters para imigran itu mengaku disodorkan peta oleh aparat Australia. Sebuah peta menuju perairan Indonesia.
Peta itu menunjukkan arah ke Pulau Rote. Daratan terdekat dari posisi mereka, sekitar 13 mil ke arah barat laut dari perairan Australia. Cap pada peta itu tertanda tanggal 18 Desember 2013. Para tentara Australia itu dikabarkan sempat masuk jauh ke perairan Indonesia.
Yousif dan sejumlah imigran – yang umumnya berasal dari Sudan dan Somalia itu – adalah korban pertama dari kebijakan baru pemerintah negeri kanguru itu. Media masa Australia menjuluki metode ini sebagai push-back policy. Dorong balik kapal imigran masuk perairan Indonesia secara paksa.
Metode “kekerasan” ini ditempuh pemerintah Australia, sesudah hubungannya dengan Jakarta memanas di penghujung tahun lalu itu. Indonesia marah besar setelah diketahui intelijen negeri itu menyadap percakapan sejumlah petinggi Indonesia. Percakapan sejumlah politisi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Memanasnya hubungan Jakarta dengan Canberra, menyebabkan pemerintah Indonesia “lepas tangan” dalam perkara imigran. Bertahun-tahun sebelumnya, Australia mengandalkan Indonesia mencegah para imigran masuk negeri itu. Strategi ini sukses bertahun-tahun.
Ribuan imigran – umumnya dari wilayah konflik di Afganistan, Sudan, Suriah, dan lain-lain – gagal melaju ke negeri itu, berkat kerjakeras aparat Indonesia. Kerjasama menanggani pendatang illegal itu diikat dalam Perjanjian Lombok, yang disepakati kedua pemerintahan pada 2006. Kerjasama itu diusik oleh terbongkarnya aksi penyadapan tadi.
Penyadapan itu dilakukan Badan Intelijen Australia- Australia Security Defence. Sayangnya pemerintahan Tonny Abbott tidak memberi penjelasan memuaskan soal aksi para intelijen itu. Permohonan maaf saja tidak ada. Jakarta keras beraksi.
Selain menarik pulang Duta Besar, Nadjib Riphat Kesoema dari Australia, Indonesia juga menjatuhkan sejumlah "sanksi". Penghentian kerjasama berbagi informasi intelijen dan kemitraan di sektor kepolisian dan militer. Hentikan kerjasama dalam penanggulangan arus imigran gelap ke Australia.
Sanksi terakhir itu jelas pukulan telak bagi Canberra. Salah seorang diplomat kepada VIVAnews, mengibaratkan sanksi itu seperti "tsunami" bagi pemerintah Australia. Sebab, pemerintahan Abbott, sudah sesumbar kepada rakyatnya, mencegah imigran gelap adalah program utama.
Enam Langkah dari Jakarta
Jakarta bukannya tak mau menyehatkan hubungan dengan Australia. Tapi demi mencegah terulangnya upaya penyadapan, Indonesia memberi enam syarat. Enam resep “kesehatan” hubungan itu disampaikan Presiden Yudhoyono pada 26 November 2013.
Langkah pertama, pejabat kedua negara harus bertemu. Mereka harus membicarakan secara mendalam sejumlah masalah yang sensitif, setelah penyadapan itu terkuak.
Langkah kedua, pemerintah Indonesia dan Australia harus membahas protocol, juga kode etik demi mengantisipasi penyadapan terulang.
Langkah ketiga, rancangan protokol dan kode etik itu akan diperiksa sendiri oleh SBY. Dan protokol tersebut, ini adalah langkah keempat, harus disahkan pemimpin kedua negara, termasuk Perdana Menteri Abbott.
Langkah kelima, masing-masing pemerintah harus membuktikan bahwa protokol dan kode etik benar-benar dikerjakan. Perlu dievaluasi dalam kurun waktu tertentu.
Dan langkah keenam adalah kedua negara, khususnya Indonesia, bisa memiliki kembali kepercayaan, asal protokol tersebut bisa berjalan konsisten.
Ketegangan diplomatik itu sesungguhnya bisa diredakan dengan enam langkah itu. Dan demi memenuhi langkah pertama, Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, datang ke Jakarta untuk berbicara dengan Menlu Marty Natalegawa pada Desember 2013.
Tapi hasilnya kurang memuaskan. Meski kedua Menlu sudah bertemu, pembicaraan soal protokol dan kode etik kurang jelas. Menlu Bishop hanya mengutarakan bahwa Canberra sudah setuju untuk merumuskan aturan main. Cuma itu. “Kami bersama dengan pemerintah Indonesia terus memperkuat hubungan bilateral dan membawanya secara lebih substantif di masa depan," kata Bishop secara diplomatis seperti dikutip kantor berita Reuters.
Belum tuntas masalah penyadapan percakapan sejumlah petinggi itu, kini muncul badai baru. Media massa internasional ramai mengabarkan dokumen bocoran lanjutan dari Edward Snowden.
Intelijen Australia, begitu bunyi laporan itu, tidak saja menyadap percakapan para petinggi Indonesia, tapi juga memonitor percakapan ponsel para pelanggan dua operator telekomunikasi utama di negeri ini: Telkomsel dan Indosat. Aksi penyadapan ini merisaukan dan dikecam banyak orang.
Onak duri hubungan kedua negara tampaknya kian banyak. Belakangan Australia mengaku sudah berkali-kali melanggar batas laut Indonesia, saat menghalau paksa kapal-kapal para imigran. Sudah enam kali melanggar. Semenjak 1 Desember 2013 hingga 20 Januari 2014.
Kisruh yang susul menyusul itu tentu saja mengunci upaya normalisasi. Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, mengaku bahwa upaya itu jalan di tempat. "Hingga saat ini kami masih terhenti di langkah pertama. Saya mencoba untuk bergerak dari poin satu, tetapi belum selesai," kata Natalegawa kepada para wartawan usai menerima kedatangan tamunya dari AS, Menlu John Kerry, di Jakarta pada 17 Februari lalu.
Upaya normalisasi ini, lanjutnya, harus berhulu dari kejelasan sikap Australia. Apakah Indonesia dilihat sebagai kawan atau musuh. Australia seharusnya meminta dokumen sengketa dagang itu secara baik-baik. "Dengan senang hati saya akan berikan semua dokumen yang mereka butuhkan. Tidak ada gunanya menyadap," tegas Marty.
Sengketa dagang yang dimaksudkan Marty itu, merujuk pada laporan harian New York Times pada Minggu, 16 Februari 2014. Media itu menulis bahwa agen intelijen DSD memata-matai komunikasi pejabat RI di Washington DC dengan pengacara yang disewa pemerintah untuk menangani sengketa dagang udang dan tembakau. Laporan tersebut bersumber dari dokumen mantan kontraktor NSA, Edward Snowden pada Februari 2013.
Marty mengingatkan Australia, semua kebijakan diambil oleh Pemerintahan Tony Abbott justru mengorbankan hal yang lebih besar. Hubungan bilateral terganggu. Memulihkan hubungan itu, hanya perlu niat baik dan penjelasan yang memadai sebagai tetangga.
Tapi seperti yang sudah-sudah, pemerintah Australia menolak berkomentar soal aksi penyadapan, seperti yang dibocorkan Snowden lewat media massa itu. Tidak membantah. Tidak juga membenarkan. "Kami tidak mengomentari masalah operasi intelijen," begitu jawaban Abbott saat ditanya soal bocoran terbaru dari Snowden itu. Sebagaimana dikutip ZDNet.com, Minggu 16 Februari 2014, ketika ditemui di Bourke, New South Wales, Abbott cuma berujar hasil penyadapan tidak bermaksud "untuk merugikan negara lain."
Dia mengaku mengunakan hasil sadapan itu demi kepentingan negara-negara sahabat Australia. “Menggunakannya untuk menegakkan nilai-nilai kami. Melindungi rakyat kami dan rakyat negara lain," kata Abbott. Dia menegaskan bahwa negerinya tidak akan mengunakan hasil sadapan itu untuk kepentingan bisnis.
Kerjasama Militer Terganggu
Para petinggi Australia mengaku, hubungan yang memburuk belakangan ini, sudah menganggu kerjasama militer yang sudah terjalin baik. Demi menghalau para "manusia perahu," Australia berkali-kali terpaksa menerobos masuk ke perairan Indonesia.
Dan inilah pengakuan Panglima Pasukan Pertahanan Australia, Jenderal David Hurley. Pelanggaran batas itu sungguh menjadi beban berat. Menguji hubungan baik kedua negara. Kepada New Straits Times, Hurley mengatakan bahwa saat ini kerja sama militer dua negara tengah melemah.
Melemahnya kerjasama militer itu, bukan saja buruk bagi kedua negara, tetapi juga sungguh buruk bagi para pencari suaka seperti Yousif. Meski dia sungguh jauh dari urusan sengketa penyadapan dan perdagangan itu. Mimpi mereka cuma satu. Hidup layak. Jauh dari perang. Dan demi semua itu, harta benda sudah melayang.
Sesudah mendengar pengakuan Yousif itu, Australia kemudian panen hujatan. Termasuk dari UNHCR. Tapi dengarlah jawaban Menteri Imigrasi Australia, Scott Morrison, ini. Tentara Australia, katanya, sudah melakukan tugas mereka dengan tingkat profesionalitas yang tinggi. Integritas terjaga. Dan tentu saja keberanian.
Telkomsel Usul Diproses ke PBB
Juru Bicara PT Tekomsel,
Adita Irawati mengatakan bahwa terkait dengan dugaan keterlibatan
Telkomsel dalam penyadapan sejumlah pejabat di Indonesia yang dilakukan
oleh Australia dan Amerika Serikat, lembaganya mengusulkan kepada
Kementrian Komunikasi dan Informatika agar permasalahan ini dapat dibawa
ke forum International Telecommunications Union (ITU) sebagai badan
telekomunikasi dunia di bawah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Langkah itu agar dugaan penyadapan ini bisa diselesaikan oleh pihak yang lebih berwenang dan didapatkan pembahasan dan rekomendasi yang tepat. “Hal ini karena penyadapan yang dilakukan salah satunya oleh Australia ini, juga merupakan anggota ITU,” ujar Adita dalam keterangan tertulis, Minggu, 23 Februari 2014.
Dalam usulan kepada Kementrian Komunikasi dan Informatika, Telkomsel menjelaskan posisi perusahaannya dalam permasalahan penyadapan dan sistem keamanan yang telah diterapkan selama ini. Adita mengatakan, terkait dengan permasalahan penyadapan, Telkomsel selalu merujuk pada ketentuan dan perundangan yang berlaku.
“Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, Telkomsel hanya dapat melakukan kerjasama dengan empat aparat penegak hukum dan satu lembaga yaitu Badan Intelejen Negara dalam membantu dan menyediakan data bagi kegiatan penyadapan yang diperlukan,” ujar Adita.
Dalam pengamanan jaringan, Telkomsel telah melakukan berbagai hal antara lain adalah sistem pengamanan jaringan Telkomsel telah mengikuti dan sesuai dengan GSM Security Standard yang dikeluarkan oleh 3GPP/ETSI dan ITU (International Telecommunication Union) serta ketentuan teknis yang diatur dalam FTP 2000 (Fundamental Technical Plan).
Secara internal melalui keputusan direksi, telah diatur kebijakan pengelolaan keamanan juga diatur mengenai informasi yang berisi standar dan prosedur mengenai pengamanan jaringan telekomunikasi baik secara akses fisik maupun kesisteman.
Langkah itu agar dugaan penyadapan ini bisa diselesaikan oleh pihak yang lebih berwenang dan didapatkan pembahasan dan rekomendasi yang tepat. “Hal ini karena penyadapan yang dilakukan salah satunya oleh Australia ini, juga merupakan anggota ITU,” ujar Adita dalam keterangan tertulis, Minggu, 23 Februari 2014.
Dalam usulan kepada Kementrian Komunikasi dan Informatika, Telkomsel menjelaskan posisi perusahaannya dalam permasalahan penyadapan dan sistem keamanan yang telah diterapkan selama ini. Adita mengatakan, terkait dengan permasalahan penyadapan, Telkomsel selalu merujuk pada ketentuan dan perundangan yang berlaku.
“Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, Telkomsel hanya dapat melakukan kerjasama dengan empat aparat penegak hukum dan satu lembaga yaitu Badan Intelejen Negara dalam membantu dan menyediakan data bagi kegiatan penyadapan yang diperlukan,” ujar Adita.
Dalam pengamanan jaringan, Telkomsel telah melakukan berbagai hal antara lain adalah sistem pengamanan jaringan Telkomsel telah mengikuti dan sesuai dengan GSM Security Standard yang dikeluarkan oleh 3GPP/ETSI dan ITU (International Telecommunication Union) serta ketentuan teknis yang diatur dalam FTP 2000 (Fundamental Technical Plan).
Secara internal melalui keputusan direksi, telah diatur kebijakan pengelolaan keamanan juga diatur mengenai informasi yang berisi standar dan prosedur mengenai pengamanan jaringan telekomunikasi baik secara akses fisik maupun kesisteman.
BIN Minta Indosat dan Telkomsel Kooperatif
"Kami mengharapkan keberpihakan keduanya, Indosat dan Telkomsel, untuk terus membantu kami," kata Marciano ketika ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin, 24 Februari 2014. Dia juga mengatakan terus berkoordinasi dengan mitra BIN yang ada di Amerika dan Australia terkait penyadapan ini. Namun Marciano enggan membongkar hasil penelusuran terkait kasus penyadapan ini.
Menurut Marciano, negara akan terus memperbarui alat pengamanan, sehingga dapat mencegah penyadapan. Dia juga meminta pengamanan di alur masuk dan keluar data serta informasi. BIN juga menjalin kerja sama dengan lembaga intelejen dan pengamanan lain, seperti Lembaga Sandi Negara.
Dua pekan lalu, New York Times dan Canberra Times melaporkan dugaan penyadapan 1,8 juta pelanggan Telkomsel dan Indosat oleh NSA dan badan intelijen Australia. Laporan ini didasarkan pada bocoran mantan anggota NSA, Edward Snowden, yang menyebutkan ada spionase massal dan pengumpulan data dari dua operator tersebut.
Tulisan tersebut membuat DPR terperanjat serta berencana memanggil Telkomsel dan Indosat. Kalangan pengusaha meminta pemerintah mengusut laporan tersebut. Pemerintah mengancam menutup operator seluler yang terbukti terlibat dalam penyadapan ilegal.
♞ Vivanews | Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.