Lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Inggris itu memberikan nilai buruk untuk Indonesia terkait indeks korupsi di sektor pertahanan.
"Tidak benar," kata Syafrie, kepada wartawan, sebelum menjadi narasumber pada sebuah diskusi bertajuk Urgensi Penguatan Sistem Pertahanan Indonesia, di Jakarta, Senin, 11 Februari 2013.
Syafrie menjelaskan, seluruh anggaran pertahanan Indonesia telah diaudit secara proporsional dan profesional oleh lembaga lembaga independen, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Hasilnya, BPK menyatakan anggaran Kementerian Pertahanan adalah "wajar dengan pengecualian". Penilaian tersebut akan terus ditingkatkan hingga berstatus "wajar tanpa pengecualian".
Selain itu, imbuh Syafrie, seluruh laporan keuangan Kementerian Pertahanan dilaporkan kepada Pemerintah dan ditembuskan ke DPR. Ia mengakui memang ada yang perlu diperbaiki dari laporan itu karena ditemukan permasalahan-permasalahan administratif. Tetapi hal itu bukan masalah besar karena pihaknya segera memperbaiki.
Laporan Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan Pelaksanaan Pembangunan pun menyebutkan bahwa Kementerian Pertahanan masuk dalam 10 besar pengguna anggaran paling maksimal. "Jadi, dengan data yang ada dan penjelasan dari lembaga yang independen, observasi (survei) itu tidak benar, karena tak didukung data yang akurat."
"Prinsip akuntabilitas dan transparansi ini kita tegakkan, bersama komunitas akuntan yang disediakan negara, yakni BPKP, kemudian mengadakan interaksi dengan KPK dalam rangka prevensi," imbuh Syafrie, dalam diskusi yang digelar Yellow Forum for Young Leader itu.
Transparency International (TI) memberikan nilai E untuk Indonesia dalam indeks korupsi di sektor pertahanan. Nilai tersebut adalah nilai dari skala A hingga F. A adalah nilai terbaik dan F adalah terburuk. Negara lain yang mendapat nilai E adalah Afghanistan, Irak, Uganda, Zimbabwe, dan Filipina. Negara yang mendapat F antara lain Libya, Mesir, Kamerun.
Hanya dua negara dari 82 negara yang disurvei yang mendapat nilai A, yaitu Jerman dan Australia. Negara adidaya Amerika Serikat mendapat nilai B.
Dalam laporannya, TI menyebutkan bahwa sektor pertahanan Indonesia dikuasai oleh kartel partai politik melalui anggota dewan yang duduk di Komisi I DPR, yang mengawasi masalah pertahanan, komunikasi dan hubungan luar negeri.
Militer Indonesia juga disebut-sebut menjadi bekingan industri pertambangan dan kehutanan bahkan sampai terlibat dalam bisnis narkotika dan perjudian. Transparansi dalam tubuh militer juga dikritik oleh TI. Menurut TI, tidak ada mekanisme pengawasan yang bisa mengawasi anggaran-anggaran “siluman”.
Di dalam tubuh militer disinyalir budaya penyuapan, upeti, dan “asal bapak senang” masih kuat. Tidak ada mekanisme perlindungan terhadap whistle blower dan tidak ada pendidikan anti korupsi. Di samping itu, kedekatan personal atau faksional masih sangat berpengaruh dalam kenaikan jabatan di tingkat senior.
Meski pengadaan barang dan jasa dilakukan secara terbuka tetapi korupsi tetap terjadi. Hal ini karena tender dilakukan sendiri oleh angakatan bersenjata dan kementerian pertahanan. Pengawasan tender tersebut dilakukan oleh pemerintah seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Bank Indonesia, yang tidak sampai ke publik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai belum berani menjamah korupsi di sektor pertahanan.(umi)
♞ VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.