Ilustrasi KFX/IFX [MBDA] ★
Korea Selatan (Korsel) dan Indonesia mencoba menyelesaikan masalah proyek patungan jet tempur KF-21/IF-21 yang berlarut-larut. Setidaknya 7 negosiator Seoul telah berada di Jakarta sejak Rabu (10/11/2021) untuk berunding.
Pesawat yang dikenal sebagai jet tempur Boramae ditujukan untuk menggantikan pesawat tempur McDonnell Douglas F-4 Phantom II dan Northrop F-5 milik Angkatan Udara Korea Selatan.
KF-21 Boramae adalah pesawat generasi 4,5 yang setara dengan F-16 Amerika Serikat (AS) yang terbaru. Ini merupakan jet tempur pertama yang dikembangkan di dalam negeri Korea Selatan.
Harapan tinggi bahwa penyelesaian akan dicapai minggu ini setelah pemerintah Indonesia mengirim 30 insinyur ke Korea Selatan pada bulan Agustus, sebuah tanda perhatian baru dari Jakarta terhadap proyek tersebut. Sebelumnya, para insinyur itu dipanggil pulang pada awal pandemi COVID-19.
Kang Eun-ho, kepala Administrasi Program Akuisisi Pertahanan (DAPA)—badan pengadaan senjata negara Korea Selatan—tiba di Jakarta pada Selasa malam dengan enam negosiator.
Negosiasi akan berlangsung dari Rabu hingga Kamis (11/11/2021) sore, dan berlanjut hingga Jumat jika perlu.
Indonesia, menurut laporan surat kabar JongAng Daily, meminta untuk mengurangi bagiannya dalam investasi pengembangan KF-21 sebesar 5 persen dan untuk transfer teknologi lebih dari yang ditetapkan dalam perjanjian awal.
Pengembangan KF-21 telah disebut sebagai proyek militer paling mahal dalam sejarah Korea Selatan, dengan banderol harga sekitar 8,5 triliun won (USD 7,8 miliar) untuk pengembangannya saja. Menurut perjanjian awal, sekitar 1,6 triliun won, atau 20 persen, harus dibayar oleh Indonesia.
Indonesia berencana memproduksi 48 unit jet tempur KF-21/IF-21 secara lokal setelah menerima satu prototipe dan data teknis.
Namun, Indonesia telah menunda pembayaran sejak paruh kedua tahun 2017.
Dalam kunjungan kenegaraan ke Korea pada September 2018, Presiden Indonesia Joko Widodo meminta kepada Presiden Moon Jae-in pengurangan 5 persen bagian Indonesia dari 20 persen menjadi 15 persen.
Kontribusi Indonesia yang sudah jatuh tempo saat ini mencapai 800 miliar won.
Melalui negosiasi ulang sejak Oktober 2018, kedua negara mempersempit perbedaan mereka atas rasio kontribusi 20 persen Indonesia saat ini, menyetujui pembayaran dalam beberapa bentuk lain.
Namun, pengembangan bersama jet tempur itu ditangguhkan pada Oktober 2019 saat Prabowo Subianto ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan Indonesia setelah 110 insinyur Indonesia yang mengerjakan proyek tersebut dipanggil pulang di tengah pandemi COVID-19.
Kang memimpin delegasi ke Jakarta pada September 2020, ketika dia menjadi wakil ketua DAPA. Namun, dia gagal merundingkan kembali syarat pengembangan bersama KF-21 meski telah bertemu dengan Prabowo.
Indonesia mengisyaratkan perubahan hatinya pada tahun lalu dan mengirim delegasi pertahanan, termasuk Prabowo, untuk menghadiri peresmian prototipe jet tempur baru itu pada 9 April di Sacheon, Gyeongsang Utara.
Indonesia juga mengirim 30 staf teknis yang berpartisipasi dalam pengembangan jet tempur itu ke Korea Selatan pada akhir Agustus, dan berencana untuk mengirim lebih banyak staf teknis jika negosiasi berhasil.
Jika penyelesaian masalah ini tercapai, pemerintah Indonesia kemungkinan akan mulai membayar iurannya secara mencicil. (min)
Korea Selatan (Korsel) dan Indonesia mencoba menyelesaikan masalah proyek patungan jet tempur KF-21/IF-21 yang berlarut-larut. Setidaknya 7 negosiator Seoul telah berada di Jakarta sejak Rabu (10/11/2021) untuk berunding.
Pesawat yang dikenal sebagai jet tempur Boramae ditujukan untuk menggantikan pesawat tempur McDonnell Douglas F-4 Phantom II dan Northrop F-5 milik Angkatan Udara Korea Selatan.
KF-21 Boramae adalah pesawat generasi 4,5 yang setara dengan F-16 Amerika Serikat (AS) yang terbaru. Ini merupakan jet tempur pertama yang dikembangkan di dalam negeri Korea Selatan.
Harapan tinggi bahwa penyelesaian akan dicapai minggu ini setelah pemerintah Indonesia mengirim 30 insinyur ke Korea Selatan pada bulan Agustus, sebuah tanda perhatian baru dari Jakarta terhadap proyek tersebut. Sebelumnya, para insinyur itu dipanggil pulang pada awal pandemi COVID-19.
Kang Eun-ho, kepala Administrasi Program Akuisisi Pertahanan (DAPA)—badan pengadaan senjata negara Korea Selatan—tiba di Jakarta pada Selasa malam dengan enam negosiator.
Negosiasi akan berlangsung dari Rabu hingga Kamis (11/11/2021) sore, dan berlanjut hingga Jumat jika perlu.
Indonesia, menurut laporan surat kabar JongAng Daily, meminta untuk mengurangi bagiannya dalam investasi pengembangan KF-21 sebesar 5 persen dan untuk transfer teknologi lebih dari yang ditetapkan dalam perjanjian awal.
Pengembangan KF-21 telah disebut sebagai proyek militer paling mahal dalam sejarah Korea Selatan, dengan banderol harga sekitar 8,5 triliun won (USD 7,8 miliar) untuk pengembangannya saja. Menurut perjanjian awal, sekitar 1,6 triliun won, atau 20 persen, harus dibayar oleh Indonesia.
Indonesia berencana memproduksi 48 unit jet tempur KF-21/IF-21 secara lokal setelah menerima satu prototipe dan data teknis.
Namun, Indonesia telah menunda pembayaran sejak paruh kedua tahun 2017.
Dalam kunjungan kenegaraan ke Korea pada September 2018, Presiden Indonesia Joko Widodo meminta kepada Presiden Moon Jae-in pengurangan 5 persen bagian Indonesia dari 20 persen menjadi 15 persen.
Kontribusi Indonesia yang sudah jatuh tempo saat ini mencapai 800 miliar won.
Melalui negosiasi ulang sejak Oktober 2018, kedua negara mempersempit perbedaan mereka atas rasio kontribusi 20 persen Indonesia saat ini, menyetujui pembayaran dalam beberapa bentuk lain.
Namun, pengembangan bersama jet tempur itu ditangguhkan pada Oktober 2019 saat Prabowo Subianto ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan Indonesia setelah 110 insinyur Indonesia yang mengerjakan proyek tersebut dipanggil pulang di tengah pandemi COVID-19.
Kang memimpin delegasi ke Jakarta pada September 2020, ketika dia menjadi wakil ketua DAPA. Namun, dia gagal merundingkan kembali syarat pengembangan bersama KF-21 meski telah bertemu dengan Prabowo.
Indonesia mengisyaratkan perubahan hatinya pada tahun lalu dan mengirim delegasi pertahanan, termasuk Prabowo, untuk menghadiri peresmian prototipe jet tempur baru itu pada 9 April di Sacheon, Gyeongsang Utara.
Indonesia juga mengirim 30 staf teknis yang berpartisipasi dalam pengembangan jet tempur itu ke Korea Selatan pada akhir Agustus, dan berencana untuk mengirim lebih banyak staf teknis jika negosiasi berhasil.
Jika penyelesaian masalah ini tercapai, pemerintah Indonesia kemungkinan akan mulai membayar iurannya secara mencicil. (min)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.