Berteman Laut Pasang, Puting Beliung, dan Dingin Mencekam UJUNG TOMBAK: Anggota Pasmar-1 Surabaya yang menjadi Satuan Tugas Marinir Pengamanan Pulau Terluar menjaga Kepulauan Fani. (Pasmar-1 Surabaya for Jawa Pos)
KONFLIK perbatasan negara di Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Mei lalu mengusik Praka Mar Roby Eka Sanjaya. Langkah Malaysia membangun mercusuar di perairan Indonesia membuat staf intelijen Pasmar 1 Surabaya itu prihatin. Luasnya wilayah laut Indonesia memang belum sebanding dengan jumlah personel keamanan dari unsur TNI.
Kondisi tersebut mengingatkan Roby ketika tergabung dalam Satuan Tugas Marinir Pengamanan Pulau Terluar (Satgas Mar Pamputer) tiga tahun lalu. Kala itu dia bersama 29 prajurit baret ungu lainnya diterjunkan menjaga Kepulauan Fani.
Kepulauan itu terdiri atas tiga pulau. Yang terluas adalah Pulau Fani. Lalu, ada Pulau Igi dan Pulau Miarin. Secara administratif, mereka masuk Kabupaten Raja Ampat. Kepulauan itu juga berbatasan dengan perairan Kepulauan Palau.
Wartawan koran ini melintasi gugusan pulau itu pada akhir Agustus 2014. Kesempatan tersebut didapat saat ada patroli maritim bersama Pusat Penerbangan TNI-AL dengan pesawat Cassa menjelang rangkaian Sail Raja Ampat.
Saat air laut surut, tiga pulau terlihat dihubungkan sebuah jembatan panjang dari kayu. Begitu laut pasang tertinggi, jembatan tersebut bisa tidak terlihat dan jarak antarpulau lebih jauh.
"Sekitar enam bulan bertugas di pulau terluar menjadi tantangan tersendiri" tutur Roby. Sebanyak 30 anggota satgas didominasi Batalyon Infanteri (Yonif) 5 Marinir yang bermarkas di Ujung, Pabean Cantikan. Yonif itu berada di bawah Brigade Infanteri 1 Marinir Gedangan, Pasmar 1 Surabaya.
Satgas di Pulau Fani dikomandani Kapten Mar Wachit. Lalu, ada dua prajurit dari Pasmar 1, Roby dan Praka Mar Fani Andri Santoso. Personel Batalyon Komunikasi dan Elektronika 1 Marinir adalah Serma Mar Abuwono dan Kopda Mar Bejo Susanto. Dari Batalyon Kesehatan 1 Marinir ada Koptu Mar Gandi dan KLS Agus Kelik. Dua batalyon itu di bawah Resimen Bantuan Tempur 1 Karangpilang, Pasmar 1 Surabaya.
"Sebulan sebelum berangkat, anggota satgas wajib mengikuti pratugas," tegas Wachit. Sebab, mereka harus ”perang” di medan yang berbeda. Terbiasa berdinas di kota dapat membuat anggota kaget kalau tidak ada persiapan. Pratugas itu dilaksanakan di Pusat Latihan Pasukan Pendarat Komando Latih Marinir (Kolatmar) Gunungsari dan Pusat Latihan Pendaratan Khusus Kolatmar Grati, Pasuruan.
Sebagian besar pulau terluar punya garis pantai dan karang yang agak jauh dari daratan. Selain itu, belum semua punya fasilitas dermaga, baik yang paten maupun yang apung. Cuaca di kawasan bibir Samudra Pasifik tersebut juga dikenal kurang bersahabat dan cenderung ekstrem. Perlu kecakapan pendaratan dari kapal pengantar atau perahu yang berukuran tidak terlalu besar. Banyaknya barang bawaan, baik satuan maupun pribadi, mengharuskan setiap pendaratan punya teknik keseimbangan.
Kecakapan pendaratan juga diperlukan saat menurunkan perbekalan logistik. Setengah tahun bertugas, mereka dipasok beras belasan kuintal dari pos komando taktis Sorong. Waktunya tiga bulan sekali, bahkan bisa molor. Itu bergantung pada cuaca dan keberanian nelayan mengirim sembako. Ketinggian gelombang air laut banyak membuat kapal perintis berpikir ulang. "Biasanya, hanya nelayan pemburu hiu bernyali tinggi yang nekat membantu," timpal Roby.
Saat pendaratan, material maupun beras tidak boleh sampai terjatuh ke air. Selama pratugas di Gunungsari maupun Grati, mereka dituntut menguasai teknik pendaratan. Salah satunya melintasi titian keseimbangan papan kayu memanjang yang digantung dengan tambang di kiri dan kanannya. Pratugas semakin berat saat diuji bertahan hidup. Dalam simulasi, mereka dipaksa survive tanpa bekal. Prajurit dituntut memaksimalkan potensi alam Gunungsari dan Grati.
Keterbatasan air tawar mengharuskan mereka menandon air tatlaka hujan. Jika hujan tidak turun, solusi lain adalah menampung air laut dalam galian atau dengan wadah penyaringan.
Kondisi alam memang ekstrem. Saat air pasang, jarak pos hanya sekitar 4 meter dari laut. Saat badai dan angin puting beliung tiba, para anggota tawakal sembari mengamankan diri dari berbagai kemungkinan. Hawa dingin ketika tengah malam-dini hari serta panas saat siang terik menjadi hal biasa yang dihadapi.
Meski dibekali beras untuk keperluan tiga bulan sekali, beras bisa lebih cepat habis. Penyebabnya bukan konsumsi yang melebihi takaran. Tetapi, serangan hewan pengerat berupa tikus pulau membuat jatah beras prajurit berkurang. Pantangan adat yang melarang membunuh tikus membuat anggota berusaha mematuhi kearifan lokal tersebut.
"Pernah suatu waktu karena sudah jengkel, kami berondongi tikus itu dengan tembakan. Tidak lama setelah siang itu, terasa ada gempa dan badai lumayan besar," kenang prajurit yang 3 Oktober nanti genap 28 tahun tersebut. Kebetulan pada saat bersamaan, beberapa rekannya memanjat pohon kelapa. Akibat gempa sesaat itu, personel yang hendak mengambil buah kelapa terjatuh. Untungnya, mereka tidak cedera parah. Sebuah pohon besar dengan diameter sepanjang keliling enam orang yang melingkari pohon tersebut juga tumbang.
Pantangan lain yang berlaku di pulau terluar itu adalah membakar seafood jenis kepiting seperti rajungan maupun lobster. Ikan jenis lain diperbolehkan. Belum ada alasan rasional yang menjelaskan larangan tersebut.
Kepulauan Fani yang dikenal sebagai habitat ikan karang dan berbagai biota laut membuat prajurit sejatinya tidak sampai kehabisan pengisi atau pengganjal perut dari rasa lapar. Hanya, masalah selera makan acap menghinggapi mereka.
Penyakit yang dapat muncul kemudian biasanya rasa jenuh dan bosan. Beruntung, mereka memiliki berbagai objek untuk melawan perasaan yang kadang menggelayut di pikiran itu. Untuk membunuh kejenuhan dan rasa bosan, olahraga menjadi salah satu aktivitas yang dapat mengusir dan menyalurkan waktu. "Di pos jaga tersedia beberapa perkakas sederhana untuk membuat badan lebih fit," kenang suami Nurul Chasanah yang berputra Alfatif Dirga Sanjaya itu.
Wachit menambahkan, ada kebanggaan sebagai prajurit penjaga pulau terluar. Sebab, mereka termasuk berada di garda terdepan dalam mengamankan tanah air. Enam bulan jauh dari peradaban menjadi momentum lebih untuk mengenali jati diri dan Tuhan. Semangat yang membara menjadi komitmen tidak akan ada lagi kisah tragis seperti dialami Sipadan dan Ligitan yang jatuh ke pelukan negeri jiran Malaysia. "NKRI adalah harga mati," tegasnya. (suryo eko/c6/dos)
KONFLIK perbatasan negara di Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Mei lalu mengusik Praka Mar Roby Eka Sanjaya. Langkah Malaysia membangun mercusuar di perairan Indonesia membuat staf intelijen Pasmar 1 Surabaya itu prihatin. Luasnya wilayah laut Indonesia memang belum sebanding dengan jumlah personel keamanan dari unsur TNI.
Kondisi tersebut mengingatkan Roby ketika tergabung dalam Satuan Tugas Marinir Pengamanan Pulau Terluar (Satgas Mar Pamputer) tiga tahun lalu. Kala itu dia bersama 29 prajurit baret ungu lainnya diterjunkan menjaga Kepulauan Fani.
Kepulauan itu terdiri atas tiga pulau. Yang terluas adalah Pulau Fani. Lalu, ada Pulau Igi dan Pulau Miarin. Secara administratif, mereka masuk Kabupaten Raja Ampat. Kepulauan itu juga berbatasan dengan perairan Kepulauan Palau.
Wartawan koran ini melintasi gugusan pulau itu pada akhir Agustus 2014. Kesempatan tersebut didapat saat ada patroli maritim bersama Pusat Penerbangan TNI-AL dengan pesawat Cassa menjelang rangkaian Sail Raja Ampat.
Saat air laut surut, tiga pulau terlihat dihubungkan sebuah jembatan panjang dari kayu. Begitu laut pasang tertinggi, jembatan tersebut bisa tidak terlihat dan jarak antarpulau lebih jauh.
"Sekitar enam bulan bertugas di pulau terluar menjadi tantangan tersendiri" tutur Roby. Sebanyak 30 anggota satgas didominasi Batalyon Infanteri (Yonif) 5 Marinir yang bermarkas di Ujung, Pabean Cantikan. Yonif itu berada di bawah Brigade Infanteri 1 Marinir Gedangan, Pasmar 1 Surabaya.
Satgas di Pulau Fani dikomandani Kapten Mar Wachit. Lalu, ada dua prajurit dari Pasmar 1, Roby dan Praka Mar Fani Andri Santoso. Personel Batalyon Komunikasi dan Elektronika 1 Marinir adalah Serma Mar Abuwono dan Kopda Mar Bejo Susanto. Dari Batalyon Kesehatan 1 Marinir ada Koptu Mar Gandi dan KLS Agus Kelik. Dua batalyon itu di bawah Resimen Bantuan Tempur 1 Karangpilang, Pasmar 1 Surabaya.
"Sebulan sebelum berangkat, anggota satgas wajib mengikuti pratugas," tegas Wachit. Sebab, mereka harus ”perang” di medan yang berbeda. Terbiasa berdinas di kota dapat membuat anggota kaget kalau tidak ada persiapan. Pratugas itu dilaksanakan di Pusat Latihan Pasukan Pendarat Komando Latih Marinir (Kolatmar) Gunungsari dan Pusat Latihan Pendaratan Khusus Kolatmar Grati, Pasuruan.
Sebagian besar pulau terluar punya garis pantai dan karang yang agak jauh dari daratan. Selain itu, belum semua punya fasilitas dermaga, baik yang paten maupun yang apung. Cuaca di kawasan bibir Samudra Pasifik tersebut juga dikenal kurang bersahabat dan cenderung ekstrem. Perlu kecakapan pendaratan dari kapal pengantar atau perahu yang berukuran tidak terlalu besar. Banyaknya barang bawaan, baik satuan maupun pribadi, mengharuskan setiap pendaratan punya teknik keseimbangan.
Kecakapan pendaratan juga diperlukan saat menurunkan perbekalan logistik. Setengah tahun bertugas, mereka dipasok beras belasan kuintal dari pos komando taktis Sorong. Waktunya tiga bulan sekali, bahkan bisa molor. Itu bergantung pada cuaca dan keberanian nelayan mengirim sembako. Ketinggian gelombang air laut banyak membuat kapal perintis berpikir ulang. "Biasanya, hanya nelayan pemburu hiu bernyali tinggi yang nekat membantu," timpal Roby.
Saat pendaratan, material maupun beras tidak boleh sampai terjatuh ke air. Selama pratugas di Gunungsari maupun Grati, mereka dituntut menguasai teknik pendaratan. Salah satunya melintasi titian keseimbangan papan kayu memanjang yang digantung dengan tambang di kiri dan kanannya. Pratugas semakin berat saat diuji bertahan hidup. Dalam simulasi, mereka dipaksa survive tanpa bekal. Prajurit dituntut memaksimalkan potensi alam Gunungsari dan Grati.
Keterbatasan air tawar mengharuskan mereka menandon air tatlaka hujan. Jika hujan tidak turun, solusi lain adalah menampung air laut dalam galian atau dengan wadah penyaringan.
Kondisi alam memang ekstrem. Saat air pasang, jarak pos hanya sekitar 4 meter dari laut. Saat badai dan angin puting beliung tiba, para anggota tawakal sembari mengamankan diri dari berbagai kemungkinan. Hawa dingin ketika tengah malam-dini hari serta panas saat siang terik menjadi hal biasa yang dihadapi.
Meski dibekali beras untuk keperluan tiga bulan sekali, beras bisa lebih cepat habis. Penyebabnya bukan konsumsi yang melebihi takaran. Tetapi, serangan hewan pengerat berupa tikus pulau membuat jatah beras prajurit berkurang. Pantangan adat yang melarang membunuh tikus membuat anggota berusaha mematuhi kearifan lokal tersebut.
"Pernah suatu waktu karena sudah jengkel, kami berondongi tikus itu dengan tembakan. Tidak lama setelah siang itu, terasa ada gempa dan badai lumayan besar," kenang prajurit yang 3 Oktober nanti genap 28 tahun tersebut. Kebetulan pada saat bersamaan, beberapa rekannya memanjat pohon kelapa. Akibat gempa sesaat itu, personel yang hendak mengambil buah kelapa terjatuh. Untungnya, mereka tidak cedera parah. Sebuah pohon besar dengan diameter sepanjang keliling enam orang yang melingkari pohon tersebut juga tumbang.
Pantangan lain yang berlaku di pulau terluar itu adalah membakar seafood jenis kepiting seperti rajungan maupun lobster. Ikan jenis lain diperbolehkan. Belum ada alasan rasional yang menjelaskan larangan tersebut.
Kepulauan Fani yang dikenal sebagai habitat ikan karang dan berbagai biota laut membuat prajurit sejatinya tidak sampai kehabisan pengisi atau pengganjal perut dari rasa lapar. Hanya, masalah selera makan acap menghinggapi mereka.
Penyakit yang dapat muncul kemudian biasanya rasa jenuh dan bosan. Beruntung, mereka memiliki berbagai objek untuk melawan perasaan yang kadang menggelayut di pikiran itu. Untuk membunuh kejenuhan dan rasa bosan, olahraga menjadi salah satu aktivitas yang dapat mengusir dan menyalurkan waktu. "Di pos jaga tersedia beberapa perkakas sederhana untuk membuat badan lebih fit," kenang suami Nurul Chasanah yang berputra Alfatif Dirga Sanjaya itu.
Wachit menambahkan, ada kebanggaan sebagai prajurit penjaga pulau terluar. Sebab, mereka termasuk berada di garda terdepan dalam mengamankan tanah air. Enam bulan jauh dari peradaban menjadi momentum lebih untuk mengenali jati diri dan Tuhan. Semangat yang membara menjadi komitmen tidak akan ada lagi kisah tragis seperti dialami Sipadan dan Ligitan yang jatuh ke pelukan negeri jiran Malaysia. "NKRI adalah harga mati," tegasnya. (suryo eko/c6/dos)
★ jpnn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.