Penambahan Skuadron Udara Hingga 2019 Sukhoi TNI AU [Jeff Prananda]
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara mendukung visi pemerintah mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Untuk itu, perwujudan rencana strategis TNI AU ke depan diprioritaskan pada penguatan kedirgantaraan yang terkait kemaritiman.
”Misalnya, kita ingin mengadakan intai strategis. Dengan kemampuan kontrol dan komando, dari atas kita sudah bisa mengawasi udara dan laut dengan duduk di satu pesawat itu,” kata Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna di sela-sela Rapat Pimpinan TNI AU di Mabes TNI AU, Cilangkap, Jakarta, Rabu (4/2). Agus mengungkapkan, pesawat intai strategis TNI AU akan terintegrasi dengan kekuatan intai taktis TNI Angkatan Laut sehingga dapat bergerak simultan dalam sebuah operasi gabungan.
Agus mengatakan, Indonesia membutuhkan tiga pesawat intai strategis untuk memantau wilayah barat, tengah, dan timur. Pesawat intai strategis yang ada juga tengah ditingkatkan agar bisa memantau wilayah udara dalam radius 330 kilometer (km).
Pesawat tersebut berfungsi sebagai ”radar terbang” yang berpatroli memantau wilayah di bawah tanggung jawabnya. Awak pesawat akan segera melaporkan temuan yang mencurigakan untuk segera ditindaklanjuti dengan skuadron pesawat tempur dan kapal-kapal TNI AL terdekat.
”Ini sudah ada di renstra (rencana strategis) sampai 2019,” kata Agus.
Perkembangan doktrin maritim dunia hakikatnya juga menyangkut perkembangan doktrin dirgantara. Kebijakan yang akan diperjuangkan TNI AU adalah penerapan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defence Identification Zone/ADIZ) yang menjadi payung perlindungan, baik untuk maritim maupun dirgantara. ”ADIZ harus ditetapkan di seluruh wilayah kedaulatan Indonesia sampai Zona Ekonomi Eksklusif,” kata Agus.
Rapim TNI AU dihadiri lebih kurang 306 pejabat setingkat komandan satuan TNI AU di seluruh Indonesia. Hadir pada kegiatan tersebut Wakil KSAU Marsekal Madya Bagus Puruhito, Wakil Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional Marsekal Madya Dede Rusamsi, Kepala Badan SAR Nasional Marsdya FHB Soelistyo, dan pejabat teras TNI AU lainnya.
Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsma Hadi Tjahjanto mengatakan, dalam renstra hingga 2019, TNI AU merencanakan pembuatan 11 skuadron tempur, 6 skuadron transpor, 4 skuadron helikopter, 2 skuadron VVIP, 2 skuadron pesawat intai, dan 2 skuadron pesawat tanpa awak. Terkait dengan penyebaran lokasi pesawat-pesawat ini juga telah disiapkan. Adapun jumlah setiap skuadron bergantung pada kemampuan negara.
Sementara itu, Kepala Badan SAR Nasional Marsdya, FHB Soelistyo menagatakan, belajar dari proses evakuasi AirAsia QZ 8501 yang tengah dilakukan, Basarnas membutuhkan peralatan SAR bawah air. Alat-alat deteksi bawah air juga harus ditingkatkan untuk efektivitas operasi kemanusiaan.
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara mendukung visi pemerintah mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Untuk itu, perwujudan rencana strategis TNI AU ke depan diprioritaskan pada penguatan kedirgantaraan yang terkait kemaritiman.
”Misalnya, kita ingin mengadakan intai strategis. Dengan kemampuan kontrol dan komando, dari atas kita sudah bisa mengawasi udara dan laut dengan duduk di satu pesawat itu,” kata Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna di sela-sela Rapat Pimpinan TNI AU di Mabes TNI AU, Cilangkap, Jakarta, Rabu (4/2). Agus mengungkapkan, pesawat intai strategis TNI AU akan terintegrasi dengan kekuatan intai taktis TNI Angkatan Laut sehingga dapat bergerak simultan dalam sebuah operasi gabungan.
Agus mengatakan, Indonesia membutuhkan tiga pesawat intai strategis untuk memantau wilayah barat, tengah, dan timur. Pesawat intai strategis yang ada juga tengah ditingkatkan agar bisa memantau wilayah udara dalam radius 330 kilometer (km).
Pesawat tersebut berfungsi sebagai ”radar terbang” yang berpatroli memantau wilayah di bawah tanggung jawabnya. Awak pesawat akan segera melaporkan temuan yang mencurigakan untuk segera ditindaklanjuti dengan skuadron pesawat tempur dan kapal-kapal TNI AL terdekat.
”Ini sudah ada di renstra (rencana strategis) sampai 2019,” kata Agus.
Perkembangan doktrin maritim dunia hakikatnya juga menyangkut perkembangan doktrin dirgantara. Kebijakan yang akan diperjuangkan TNI AU adalah penerapan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defence Identification Zone/ADIZ) yang menjadi payung perlindungan, baik untuk maritim maupun dirgantara. ”ADIZ harus ditetapkan di seluruh wilayah kedaulatan Indonesia sampai Zona Ekonomi Eksklusif,” kata Agus.
Rapim TNI AU dihadiri lebih kurang 306 pejabat setingkat komandan satuan TNI AU di seluruh Indonesia. Hadir pada kegiatan tersebut Wakil KSAU Marsekal Madya Bagus Puruhito, Wakil Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional Marsekal Madya Dede Rusamsi, Kepala Badan SAR Nasional Marsdya FHB Soelistyo, dan pejabat teras TNI AU lainnya.
Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsma Hadi Tjahjanto mengatakan, dalam renstra hingga 2019, TNI AU merencanakan pembuatan 11 skuadron tempur, 6 skuadron transpor, 4 skuadron helikopter, 2 skuadron VVIP, 2 skuadron pesawat intai, dan 2 skuadron pesawat tanpa awak. Terkait dengan penyebaran lokasi pesawat-pesawat ini juga telah disiapkan. Adapun jumlah setiap skuadron bergantung pada kemampuan negara.
Sementara itu, Kepala Badan SAR Nasional Marsdya, FHB Soelistyo menagatakan, belajar dari proses evakuasi AirAsia QZ 8501 yang tengah dilakukan, Basarnas membutuhkan peralatan SAR bawah air. Alat-alat deteksi bawah air juga harus ditingkatkan untuk efektivitas operasi kemanusiaan.
♞ Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.