ilustrasi - Seorang personel TNI AD mencium perut istrinya yang sedang hamil sesaat akan diberangkatkan sebagai pasukan Pengamanan Perbatasan. Foto pada 21 Oktober 2014 (arsip/ANTARA FOTO/Basri Marzuki) ☠
Matahari masih semangat memancarkan sinarnya ketika rombongan wartawan dari Jakarta mendatangi satuan tugas pengamanan perbatasan RI-Malaysia di Pos Long Nawang.
Untuk tiba di pos perbatasan tersebut tidaklah mudah. Dari Bandara Internasional Juwata di Tarakan, kami harus terbang selama 90 menit dengan menggunakan pesawat kecil pilatus hingga ke Bandar Udara Long Ampung di Kabupaten Malinau.
Dari Long Ampung, perjalanan diteruskan melalui jalur darat sejauh 46 kilometer dengan melewati kondisi jalanan tanah dan berbatu.
Sepanjang perjalanan yang berkelok-kelok, sang pengendara "taksi" tak henti berkomunikasi melalui radio panggil yang dipasang di dekat roda kemudi.
Jangan dibayangkan taksi di daerah perbatasan berbentuk sedan, menggunakan argometer dan memiliki supir yang berseragam.
Taksi yang dimaksud di Long Nawang adalah kendaraan roda empat gardan ganda berjenis "truck pick-up", seperti Mitsubishi Triton atau Toyota Hilux, dengan sebuah radio panggil di dekat roda kemudi. Radio panggil itu menjadi alat berkomunikasi antarpengendara ketika melewati jalan tersebut.
"Radio ini sangat membantu sekali, orang yang ada di depan bisa memberi tahu kalau ada kendaraan proyek yang lalu lalang atau ada motor lewat, jadi kita bisa lebih waspada," kata Ihin, warga Desa Long Nawang yang lima tahun terakhir bermatapencaharian sebagai supir taksi.
Selama dua jam di perjalanan yang menegangkan, akhirnya tiba pada sebuah gerbang berbendera Indonesia di sisi kiri dan Malaysia di sisi kanan.
Lima meter di sisi kiri gerbang tersebut berdiri sebuah bangunan kayu dengan plang "Satgas Pamtas RI-Malaysia, Pos Long Nawang, Yonif 527/Baladibya Yudha", serta tulisan "NKRI Harga Mati" di bawahnya.
Adalah empat dari 15 anggota Batalyon Infanteri 527/BY yang saat itu sedang berjaga di pos. Mereka adalah Sertu Heri Nuryanto, Praka Halik Baso, Praka Furchon Jajuli dan Praka Achmad Susanto.
Sementara ke-11 rekan mereka sedang berada di Kecamatan Kayan Hilir untuk mempersiapkan kegiatan upacara peringatan detik-detik proklamasi dalam rangka HUT Republik Indonesia ke-70.
Sembilan Bulan
Dengan keterbatasan kondisi di pos tersebut, ke-15 anggota Yonif 527 tinggal selama sembilan bulan untuk menjaga 800-an patok perbatasan yang menjadi tanggung jawab mereka.
Patroli perbatasan untuk menjaga patok-patok tersebut dilakukan setiap tiga bulan sekali. Karena mereka baru dua bulan ditempatkan di Pos Long Nawang, maka anggota Yonif 527/BY itu belum melakukan patroli pemeriksaan patok-patok perbatasan.
Mereka mulai bertugas di Pos Long Nawang sejak Juni dan dijadwalkan mengakhiri masa tugasnya hingga April 2016 mendatang.
Pos yang mereka tempati berupa rumah panggung dari kayu berukuran sekitar 20x10 meter yang terbagi menjadi lima ruang. Di bagian terdepan pos tersebut ada teras yang digunakan oleh tentara perbatasan tersebut berjaga siang dan malam.
Kemudian di belakangnya ada ruang tamu dan satu ruang kesehatan yang hanya terdapat satu lemari kayu kecil untuk menyimpan cairan infus dan peralatan P3K. Meskipun dinamakan ruang kesehatan, di dalamnya tidak ada ranjang untuk berbaring bagi pasien.
"Kalau kami sakit ya harus mengobati diri sendiri, menyuntik sendiri, bahkan tak jarang cairan infus itu langsung kami minum," kata Praka Halik Baso.
Untuk makan sehari-hari, biasanya mereka berbelanja bahan pokok di kota untuk keperluan satu bulan. Jika ingin makan daging, sesekali mereka berburu kancil di hutan.
Praka Furchon yang bertugas memasak makanan di Pos. Apa pun masakannya, para serdadu itu siap melahapnya hingga tidak bersisa.
Selain keterbatasan keperluan sehari-hari, mereka juga terbatas menerima informasi dari luar karena tidak ada televisi dan jarngan telekomunikasi yang sangat lemah.
Mereka harus berjalan menanjak sekitar 20 meter hingga terdapat sebuah pondok kayu yang berdiri satu meter di atas tanah, demi mendapatkan sinyal telepon.
Dari atas sinyal pondok itu pun mereka tidak serta merta mendapatkan sinyal telekomunikasi, terkadang telepon genggam mereka harus digantung di posisi tertentu sehingga tersambung dengan kerabat mereka di Jawa.
"Kadang-kadang kalau kangen istri dan anak di rumah tinggal jalan ke pondok saja, kalau beruntung ya bisa menelepon mereka, sekedar melepas kangen saja. Itu kenapa kami menyebutkan Pondok Cinta," cerita Sertu Heri.
Seluruh kegiatan sehari-hari mereka lakukan di Pos Pamtas Long Nawang tersebut, kecuali untuk mandi dan buang hajat.
Untuk membersihkan badan dan buang air, mereka melakukannya di seberang pos yang masuk wilayah negara bagian Serawak, Malaysia.
Hanya berjarak tujuh meter dari pos, terdapat sebuah kubangan yang menampung air hujan. Di dekatnya dibangun papan kayu yang dikelilingi terpal sebagai tempat mereka mandi.
"Beginilah keadaan di sini, makan di Indonesia tapi buang air di Malaysia. Ya anggap saja seperti diasingkan selama sembilan bulan. Tetapi demi tugas negara untuk menjaga tanah Indonesia, kami siap menjalaninya," kata Heri.
Membangun dari Pinggiran
Kondisi wilayah perbatasan menjadi salah satu agenda percepatan pembangunan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla dalam program Nawacita mereka.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan dalam kurun waktu tiga tahun pertama pemerintahan Kabinet Kerja, pemerintah akan bekerja memperbaiki kondisi daerah perbatasan.
Pengelolaan daerah perbatasan berada di bawah kendali Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang menurut Mendagri selama empat tahun belakangan ini belum memperlihatkan kemajuan dalam membangun perbatasan.
"Sejak BNPP dibentuk empat tahun ini belum banyak terlihat progress, terbukti hanya 16 persen anggaran pembangunan yang dapat terealisasi dari seluruh anggaran yang ada. Maka untuk menjadi skala prioritas ada plafon Rp16 triliun untuk infrastruktur," kata Tjahjo.
Oleh karena itu, dimulai dari tahun 2015 yang akan menjadi awal perubahan wajah perbatasan, pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp 16 triliun setiap tahunnya untuk membangun kawasan pinggiran negeri.
Dia berharap percepatan pembangunan di wilayah perbatasan dapat berlangsung sesuai target Pemerintah yakni dalam kurun waktu tiga tahun.
"Mudah-mudahan ini dioptimalkan bahwa target tiga tahun percepatan pembangunan ini selesai. Kawasan perbatasan harus menjadi kawasan penunjang ekonomi, penunjang keamanan oleh anggota TNI yang lebih solid. Khususnya di Malinau, Sebatik, Nunukan, NTT dan Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia," jelasnya.
Pembangunan kawasan perbatasan diarahkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur guna membuka keterisolasian di wilayah perbatasan.
Di tahap pertama, BNPP memprioritaskan 50 dari 187 kecamatan yang ditetapkan sebagai lokasi prioritas (lokpri). Sebanyak 187 kecamatan tersebut berada di 41 kabupaten-kota yang terdapat di 13 provinsi.
Kecamatan Kayan Hulu, yang terdapat lima desa yakni Long Betaoh, Long Payau, Long Temuyat, Nawang Baru dan Long Nawang, pun akhirnya ditetapkan sebagai lokpri bertepatan pada perayaan HUT RI ke-70.
"Desa dan kecamatan terdepan yang berada di kawasan perbatasan seperti di Kecamatan Kayan Hulu ini memiliki peran startegis. Oleh karena itu BNPP telah menetapkannya sebagai lokpri yang harus ditangani secara khusus dan segera," katanya.
Pembangunan wilayah perbatasan tentu tidak dapat terwujud jika pola berpikir pemerintah dan masyarakat masih menganggap wilayah tersebut sebagai daerah terpencil.
"Mind-set" itu harus diubah dengan menempatkan area perbatasan sebagai garda depan dan pintu gerbang menuju wilayah Indonesia yang kaya akan sumber daya dan berbudaya.
Matahari masih semangat memancarkan sinarnya ketika rombongan wartawan dari Jakarta mendatangi satuan tugas pengamanan perbatasan RI-Malaysia di Pos Long Nawang.
Untuk tiba di pos perbatasan tersebut tidaklah mudah. Dari Bandara Internasional Juwata di Tarakan, kami harus terbang selama 90 menit dengan menggunakan pesawat kecil pilatus hingga ke Bandar Udara Long Ampung di Kabupaten Malinau.
Dari Long Ampung, perjalanan diteruskan melalui jalur darat sejauh 46 kilometer dengan melewati kondisi jalanan tanah dan berbatu.
Sepanjang perjalanan yang berkelok-kelok, sang pengendara "taksi" tak henti berkomunikasi melalui radio panggil yang dipasang di dekat roda kemudi.
Jangan dibayangkan taksi di daerah perbatasan berbentuk sedan, menggunakan argometer dan memiliki supir yang berseragam.
Taksi yang dimaksud di Long Nawang adalah kendaraan roda empat gardan ganda berjenis "truck pick-up", seperti Mitsubishi Triton atau Toyota Hilux, dengan sebuah radio panggil di dekat roda kemudi. Radio panggil itu menjadi alat berkomunikasi antarpengendara ketika melewati jalan tersebut.
"Radio ini sangat membantu sekali, orang yang ada di depan bisa memberi tahu kalau ada kendaraan proyek yang lalu lalang atau ada motor lewat, jadi kita bisa lebih waspada," kata Ihin, warga Desa Long Nawang yang lima tahun terakhir bermatapencaharian sebagai supir taksi.
Selama dua jam di perjalanan yang menegangkan, akhirnya tiba pada sebuah gerbang berbendera Indonesia di sisi kiri dan Malaysia di sisi kanan.
Lima meter di sisi kiri gerbang tersebut berdiri sebuah bangunan kayu dengan plang "Satgas Pamtas RI-Malaysia, Pos Long Nawang, Yonif 527/Baladibya Yudha", serta tulisan "NKRI Harga Mati" di bawahnya.
Adalah empat dari 15 anggota Batalyon Infanteri 527/BY yang saat itu sedang berjaga di pos. Mereka adalah Sertu Heri Nuryanto, Praka Halik Baso, Praka Furchon Jajuli dan Praka Achmad Susanto.
Sementara ke-11 rekan mereka sedang berada di Kecamatan Kayan Hilir untuk mempersiapkan kegiatan upacara peringatan detik-detik proklamasi dalam rangka HUT Republik Indonesia ke-70.
Sembilan Bulan
Dengan keterbatasan kondisi di pos tersebut, ke-15 anggota Yonif 527 tinggal selama sembilan bulan untuk menjaga 800-an patok perbatasan yang menjadi tanggung jawab mereka.
Patroli perbatasan untuk menjaga patok-patok tersebut dilakukan setiap tiga bulan sekali. Karena mereka baru dua bulan ditempatkan di Pos Long Nawang, maka anggota Yonif 527/BY itu belum melakukan patroli pemeriksaan patok-patok perbatasan.
Mereka mulai bertugas di Pos Long Nawang sejak Juni dan dijadwalkan mengakhiri masa tugasnya hingga April 2016 mendatang.
Pos yang mereka tempati berupa rumah panggung dari kayu berukuran sekitar 20x10 meter yang terbagi menjadi lima ruang. Di bagian terdepan pos tersebut ada teras yang digunakan oleh tentara perbatasan tersebut berjaga siang dan malam.
Kemudian di belakangnya ada ruang tamu dan satu ruang kesehatan yang hanya terdapat satu lemari kayu kecil untuk menyimpan cairan infus dan peralatan P3K. Meskipun dinamakan ruang kesehatan, di dalamnya tidak ada ranjang untuk berbaring bagi pasien.
"Kalau kami sakit ya harus mengobati diri sendiri, menyuntik sendiri, bahkan tak jarang cairan infus itu langsung kami minum," kata Praka Halik Baso.
Untuk makan sehari-hari, biasanya mereka berbelanja bahan pokok di kota untuk keperluan satu bulan. Jika ingin makan daging, sesekali mereka berburu kancil di hutan.
Praka Furchon yang bertugas memasak makanan di Pos. Apa pun masakannya, para serdadu itu siap melahapnya hingga tidak bersisa.
Selain keterbatasan keperluan sehari-hari, mereka juga terbatas menerima informasi dari luar karena tidak ada televisi dan jarngan telekomunikasi yang sangat lemah.
Mereka harus berjalan menanjak sekitar 20 meter hingga terdapat sebuah pondok kayu yang berdiri satu meter di atas tanah, demi mendapatkan sinyal telepon.
Dari atas sinyal pondok itu pun mereka tidak serta merta mendapatkan sinyal telekomunikasi, terkadang telepon genggam mereka harus digantung di posisi tertentu sehingga tersambung dengan kerabat mereka di Jawa.
"Kadang-kadang kalau kangen istri dan anak di rumah tinggal jalan ke pondok saja, kalau beruntung ya bisa menelepon mereka, sekedar melepas kangen saja. Itu kenapa kami menyebutkan Pondok Cinta," cerita Sertu Heri.
Seluruh kegiatan sehari-hari mereka lakukan di Pos Pamtas Long Nawang tersebut, kecuali untuk mandi dan buang hajat.
Untuk membersihkan badan dan buang air, mereka melakukannya di seberang pos yang masuk wilayah negara bagian Serawak, Malaysia.
Hanya berjarak tujuh meter dari pos, terdapat sebuah kubangan yang menampung air hujan. Di dekatnya dibangun papan kayu yang dikelilingi terpal sebagai tempat mereka mandi.
"Beginilah keadaan di sini, makan di Indonesia tapi buang air di Malaysia. Ya anggap saja seperti diasingkan selama sembilan bulan. Tetapi demi tugas negara untuk menjaga tanah Indonesia, kami siap menjalaninya," kata Heri.
Membangun dari Pinggiran
Kondisi wilayah perbatasan menjadi salah satu agenda percepatan pembangunan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla dalam program Nawacita mereka.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan dalam kurun waktu tiga tahun pertama pemerintahan Kabinet Kerja, pemerintah akan bekerja memperbaiki kondisi daerah perbatasan.
Pengelolaan daerah perbatasan berada di bawah kendali Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang menurut Mendagri selama empat tahun belakangan ini belum memperlihatkan kemajuan dalam membangun perbatasan.
"Sejak BNPP dibentuk empat tahun ini belum banyak terlihat progress, terbukti hanya 16 persen anggaran pembangunan yang dapat terealisasi dari seluruh anggaran yang ada. Maka untuk menjadi skala prioritas ada plafon Rp16 triliun untuk infrastruktur," kata Tjahjo.
Oleh karena itu, dimulai dari tahun 2015 yang akan menjadi awal perubahan wajah perbatasan, pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp 16 triliun setiap tahunnya untuk membangun kawasan pinggiran negeri.
Dia berharap percepatan pembangunan di wilayah perbatasan dapat berlangsung sesuai target Pemerintah yakni dalam kurun waktu tiga tahun.
"Mudah-mudahan ini dioptimalkan bahwa target tiga tahun percepatan pembangunan ini selesai. Kawasan perbatasan harus menjadi kawasan penunjang ekonomi, penunjang keamanan oleh anggota TNI yang lebih solid. Khususnya di Malinau, Sebatik, Nunukan, NTT dan Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia," jelasnya.
Pembangunan kawasan perbatasan diarahkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur guna membuka keterisolasian di wilayah perbatasan.
Di tahap pertama, BNPP memprioritaskan 50 dari 187 kecamatan yang ditetapkan sebagai lokasi prioritas (lokpri). Sebanyak 187 kecamatan tersebut berada di 41 kabupaten-kota yang terdapat di 13 provinsi.
Kecamatan Kayan Hulu, yang terdapat lima desa yakni Long Betaoh, Long Payau, Long Temuyat, Nawang Baru dan Long Nawang, pun akhirnya ditetapkan sebagai lokpri bertepatan pada perayaan HUT RI ke-70.
"Desa dan kecamatan terdepan yang berada di kawasan perbatasan seperti di Kecamatan Kayan Hulu ini memiliki peran startegis. Oleh karena itu BNPP telah menetapkannya sebagai lokpri yang harus ditangani secara khusus dan segera," katanya.
Pembangunan wilayah perbatasan tentu tidak dapat terwujud jika pola berpikir pemerintah dan masyarakat masih menganggap wilayah tersebut sebagai daerah terpencil.
"Mind-set" itu harus diubah dengan menempatkan area perbatasan sebagai garda depan dan pintu gerbang menuju wilayah Indonesia yang kaya akan sumber daya dan berbudaya.
☠ Antara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.